Kontroversi Kiblat Sebuah Kota
Pada akhirnya, Eiffel dan Garuda Wisnu Kencana bermanfaat atau tidak tergantung dari cara kita mempersepsi kehadirannya di masa kita masih diberi kesempatan untuk hidup.
Ide besar yang menerobos kemapanan nyaris selalu menimbulkan kontroversi. Di tangan seorang seniman genius, ide tak berhenti pada narasi sebuah gagasan, tetapi menjadi karya yang sering kali distigma karena dianggap ”angkuh” dan menyalahi pakem. Dalam logika itu, bolehlah kita sandingkan arsitek Gustave Eiffel dengan pematung Nyoman Nuarta.
Gustave dicemooh habis-habisan karena proposalnya membangun Menara Eiffel dianggap mahal dan aneh, serta menyalahi pakem pendirian bangunan-bangunan tinggi di Perancis. Bahkan, proposalnya membangun menara saat Pameran Universal tahun 1888 di Barcelona, Spanyol, ditolak mentah-mentah pemerintah setempat.
Selain pertimbangan biaya, pada masa itu, banyak ahli, kaum elite, dan pemerintahan berpendapat bahwa bangunan dengan gaya neoklasik atau gotik menjadi gaya yang lumrah. Di Paris sendiri, waktu itu bangunan seperti Arc de Triomphe atau Katedral Gothic telah lama menjadi kiblat pengembangan arsitektur kota.
Proposal Gustave dengan stuktur besi sebagai pembentuk menara dianggap tak memiliki dasar estetis, selain hanya tiang-tiang besi yang berdiri. Apa bedanya dengan tiang listrik? Sekitar 300 seniman Perancis pada 1887 bahkan menandatangani sebuah petisi yang menyatakan, Menara Eiffel ”tidak berguna dan mengerikan!”.
Oleh sebab itu, persetujuan Pemerintah Kota Paris dengan memberikan dana sebesar 1,5 juta frank dari kebutuhan 5 juta frank dinilai sebagai pemborosan. Walaupun kemudian kita tahu, Gustave harus ”mengemis” ke berbagai komunitas masyarakat untuk menyelesaikan pembangunan menara itu.
Tak berhenti di situ, lantaran dianggap ”aneh dan mengerikan”, Pemerintah Kota Paris hanya memberikan izin selama 20 tahun. Setelah masa itu terlampaui, menara harus dibongkar mengingat fungsinya hanya sebatas pintu masuk dari sebuah pameran yang sarat berbau dagang Exposition Universelle.
Pameran ini digelar untuk memperingati 100 tahun Revolusi Perancis. Meski menuai banyak cemooh dan mengundang perdebatan di antara para politisi, akhirnya Menara Eiffel diresmikan pada 31 Maret 1889.
Baca juga: Lawar Penawar Rasa Lapar
Nasib serupa sebenarnya menimpa Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Ungasan, Jimbaran, Bali. Gagasan besar seniman Nyoman Nuarta yang dipublikasi tahun 1990 memancing perdebatan tak henti. Bahkan ketika peletakan batu pertama fondasi patung benar-benar dimulai tahun 1997, perdebatan seolah memuncak.
Nyoman Nuarta tak hanya dicemooh memboroskan anggaran negara di tengah krisis ekonomi dunia, tetapi juga menyalahi berbagai aturan dalam kepercayaan masyarakat Bali.
Para mahasiswa, pakar budaya, dan wakil rakyat seolah bersatu padu untuk menggagalkan pendirian GWK. Pukulan paling telak terhadap GWK ketika patung yang menggunakan Dewa Wisnu sebagai wujud utama patung dianggap bertentangan dengan kosmologi masyakat lokal.
Dalam pedoman pengider-ider jagat yang disebutDewata Nawasanga(kosmologi), Dewa Wisnu sebagai dewa yang merawat keseimbangan alam semesta harus ditempatkan di bagian utara dari arah mata angin. Sementara GWK dirancang berdiri kokoh di bagian selatan Pulau Bali, tepatnya di Bukit Ungasan, Jimbaran.
Pemilihan lokasi itu, kata Nyoman Nuarta, semata-mata mempertimbangkan fungsi lahan. Sejak dulu kawasan bukit kapur di selatan Pulau Bali dikenal sebagai lahan yang tidak produktif.
”Dulu bukit-bukit itu ditinggal begitu saja, banyak pemilik bahkan membagikan tanahnya kepada orang lain dengan cuma-cuma. Itu saking tidak produktifnya,” kata Nuarta, suatu hari di Bandung, Jawa Barat.
Baca juga: Teman Kecil di Pusaran Kebiadaban
Pertimbangan memfungsikan lahan tak produktif itu, katanya, membuat gelegak kesenimannya tertantang. Nuarta ingin membangun satu relasi baru antara lahan kapur, seni, religi, kebudayaan, dan pariwisata.
Patung GWK sendiri menjadi ikon yang menarik seluruh mata rantai relasi baru itu untuk mengembangkan Bali bagian selatan. Oleh sebab itulah, sebelum GWK benar-benar berdiri, Nuarta mengeksplorasi bukit kapur menjadi land-art, sebuah karya seni yang menggunakan lahan sebagai material karya.
Kalau kau, misalnya, memasuki area Lotus Pond dengan paruh burung garuda di bagian atas, kau seolah memasuki sebuah lorong dengan dinding-dinding bukit kapur yang kokoh; yang akan mengantarkanmu menuju dunia baru, dunia yang berbeda dari kesan bukit kapur yang tandus. Di sinilah seperti kau tahu kemudian banyak digelar konser-konser musik berskala internasional.
Bagaimana menjawab soal merusak tatanan kosmologi Bali itu?
”Kiblat mata angin menurut kosmologi itu kaja atau gunung dan tidak sama dengan utara. Masyarakat Denpasar beranggapan kaja itu gunung (utara), sedangkan masyarakat Singaraja karena menganggap gunung itu kaja, tetapi karena kota itu letaknya di seberang gunung, maka kelod (selatan) itu jadi kaja,” kata Nuarta. Jadi, kaja sendiri selalu berkiblat pada gunung, tidak harus selalu berarti utara menurut arah mata angin.
Logika itu menuntun Nuarta untuk membuat interpretasi bahwa arah mata angin menurut kosmologi Bali itu sangat lentur, tergantung dari mana kita melihatnya. Maka itu, berdasarkan petunjuk seorang pendeta Hindu, agar posisi GWK menjadi kaja, didirikanlah patung Dewa Siwa di arah selatan GWK sebagai penanda dewa yang menguasai alam tengah. ”Saya percaya keputusan itu yang membuat GWK akhirnya selesai,” kata Nuarta.
Baca juga: Puisi Amanda Gorman, Mesin Pencuci Kaki dan Tirani
Sebagai orang Bali, Nuarta sangat percaya terhadap tatanan adat istiadat, kepercayaan yang selama ini ia anut. Oleh sebab itulah, sebagai seniman yang bekerja atas dasar rasa estetis, ia juga menjalani laku spiritual dengan melakukan Tirta Yatra (perjalanan suci) ke berbagai pura di Bali. GWK tak hanya soal membangun struktur patung, tetapi juga soal menegakkan nilai-nilai spiritual yang melekat pada sosok Dewa Wisnu.
Sebagai patung dengan ketinggian 121 meter di atas permukaan laut dan bentang sayap Garuda mencapai 64 meter, serta berat mencapai 4.000 ton, dan biaya ratusan miliar rupiah, GWK selalu memancing kontroversi.
Kebakaran yang terjadi di bengkel kerja Nyoman Nuarta dan menghabiskan bagian kepala Dewa Wisnu dibaca sebagai isyarat perjalanan pembuatan patung itu tidak mendapat restu secara spiritual. Hal-hal yang kemudian menyertai pembangunan GWK, seperti konflik di antara para pengelola, investor, serta masyarakat sekitarnya, membuat pembangunan patung ini molor sampai 28 tahun!
Padahal, kalau konsisten dibangun, Nyoman Nuarta memperkirakan GWK selesai dalam tiga tahun.
”Mengapa jadi molor begitu lama?” kataku suatu hari.
”Ongkos sosialnya jauh lebih mahal,” jawab Nuarta singkat.
”Maksudnya?”
”Banyak hal di luar pekerjaan teknis.”
”Pro-kontra atau spiritual?”
”Keduanya. Kita harus urai satu per satu, dibutuhkan kesabaran untuk mewujudkan ide besar seperti ini.”
”Anda frustrasi?”
”Ada masa di mana kita seperti ngambul, ingin ngambek. Namun, saya niatkan ini sebagai kontribusi saya kepada dunia kebudayaan. Saya sabar, sejak rambut gondrong sampai botak, saya jalani terus, ha-ha-ha,” ujar Nuarta dalam satu perjalanan tirta yatra ke Pulau Menjangan, Bali barat.
Kontroversi seputar pembangunan GWK menyisakan jejak justru pada bagian dada dan kepala Dewa Wisnu yang sampai kini masih berdiri. Pada area pedestal pertama, bagian atas Wisnu dipancangkan sebagai penanda pengembangan kawasan bukit kapur.
Setidaknya, masyarakat pariwisata mulai mengagendakan GWK sebagai destinasi wisata baru. Tetapi ketika investor mengambil alih GWK secara penuh, bagian dari Dewa Wisnu itu tidak dipindahkan, Nuarta justru membuat patung yang sama sekali baru.
”Biar saja sebagai tanda bahwa GWK telah melampaui pasang surut saat pembangunannya,” tutur Nuarta.
Baca juga: Paradoks Ayam Pembawa Keberuntungan
Kini GWK berdiri perkasa dan telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 22 September 2018 setelah melewati masa konstruksi selama 28 tahun! Bagi Nuarta, penyelesaian patung itu ibarat utang budinya kepada Bali. ”Selama ini saya telah banyak diberi oleh Bali, maka saya serahkan GWK kepada masyarakat Bali,” katanya.
Jika dibandingkan Eiffel yang dikunjungi lebih dari 7 juta orang setiap tahun, GWK (mungkin) baru mencapai sejuta orang setiap tahun. Setidaknya, keduanya telah merunut situasi dan kondisi yang sama, meretas jalan berliku untuk kemudian lahir sebagai ikon baru di sebuah kota.
Eiffel akhirnya batal dibongkar dan dijual sebagai besi tua karena pemerintah kota memahami sejarah dan kegunaannya bagi sebuah kota. Benar saja, menara setinggi lebih dari 300 meter itu kemudian menjelma menjadi ikon kota Paris. Berkunjung ke Paris belum lengkap jika tidak melihat Menara Eiffel. Hampir seluruh poster, T-shirt, serta cendera mata dari Paris menampilkan kemegahan menara di tepi Sungai Seine itu.
Apakah hal yang sama bisa terjadi pada GWK?
Dalam cita-cita penciptanya, Nyoman Nuarta, GWK harus hadir sebagai pusat kebudayaan dunia. Patung GWK hanyalah penanda kawasan yang menjadi jendela untuk melihat kebudayaan dunia secara lebih menyeluruh. ”Setidaknya orang bisa melihat Bali tidak sebatas postcard, tetapi di dalamnya ada kajian-kajian terbaru,” ujar Nuarta.
Nuarta harus mengakui bahwa ketika ia melepas GWK secara total kepada PT Alam Sutera Realty Tbk, kebijakan tentang hal ikhwal tempat itu sebagai pusat kebudayaan terletak di tangan investor. Dia sendiri juga masih ragu, apakah cita-citanya membuat museum di lantai dasar GWK bisa terwujud atau tidak.
”Yang penting patungnya berdiri dulu. Saya makin tua, setidaknya bisa melihat ide besar itu benar-benar menjelma. Itu kan selalu impian seorang seniman,” katanya.
Dia sendiri juga masih ragu, apakah cita-citanya membuat museum di lantai dasar GWK bisa terwujud atau tidak.
Sebelum benar-benar mendarat dari arah barat di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurai Rai, Denpasar, kau bisa melongok ke sebelah kanan jendela pesawat, dalam bayang-bayang awan, patung GWK sudah berdiri di atas perbukitan.
Itulah kiblat Bali yang baru, yang lahir dari rahim estetika kultural masyarakat lokal. Jika dulu wisatawan hanya mengunjungi pura-pura yang sakral, kini mereka juga merasa wajib mengunjungi sebuah karya anak bangsa yang kemegahannya tak kalah dari Menara Eiffel di Paris, Perancis.
Sadar atau tidak, kontroversi dan silang pendapat seputar gagasan-gagasan besar yang menyertai pendirian sebuah monumen telah menjadi bahan bakar yang justru makin membuat karya itu kian populer di hadapan publik. Eiffel populer karena ia kontroversial. Popularitas GWK makin meningkat justru karena ia terus dibicarakan di ruang-ruang publik oleh masyarakat.
Pada akhirnya, Eiffel dan GWK bermanfaat atau tidak tergantung dari cara kita mempersepsi kehadirannya di masa kita masih diberi kesempatan untuk hidup. Selepas itu, keberadaan keduanya monumental, tidak bisa ditolak, karena mengusung kebenaran realitas yang mungkin terlampau jauh mendahului hidup kita. Bukankah itu tugas seorang seniman?