Pendidikan Dokter Spesialis dan Urgensi Reformasi Pendidikan
Di era globalisasi, khususnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekarang, reformasi sistem pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis, sebaiknya segera dilakukan jika kita ingin sejajar negara lain.
Oleh
SUKMAN TULUS PUTRA
·5 menit baca
Kekurangan jumlah dokter spesialis di Indonesia pada masa pandemi Covid-19 ataupun dalam masa normal akhir-akhir ini menarik perhatian banyak pihak. Keadaan ini semakin terasa setelah banyak dokter, termasuk dokter spesialis, gugur dalam menjalankan tugas.
Data menunjukkan ada 303 dokter yang telah gugur karena terpapar Covid-19, termasuk dokter spesialis, beberapa di antaranya guru besar. Sehubungan dengan hal itu, evaluasi dan upaya perbaikan sistem pendidikan dan pembiayaan menjadi sangat penting untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis di Tanah Air.
Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 43.000 dokter spesialis dan sekitar 150.000 dokter umum. Dengan penduduk 270 juta jiwa, jumlah dokter spesialis yang ada dirasakan masih sangat kurang karena kebutuhan jumlah dokter spesialis tiap-tiap pencabangan ilmu berbeda-beda.
Untuk dokter spesialis anak (SpA), misalnya, dibutuhkan sebanyak 15.000 orang untuk melayani sekitar 90 juta anak yang berumur kurang dari 18 tahun, sedangkan saat ini baru ada sekitar 4.800 dokter SpA menurut Ketua Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Aryono Hendarto.
Pernah muncul wacana untuk mengimpor dokter dari luar negeri untuk dokter spesialis atau subspesialis yang memang langka.
Untuk dokter spesialis obstetri ginekologi (SpOG), menurut Wachyu Hadisaputra, Ketua Kolegium Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) saat ini diperlukan 7.200 dokter SpOG untuk melayani 120 juta wanita usia subur (usia 18-37 tahun), sedangkan yang ada baru sebanyak 4.900 dokter SpOG.
Untuk spesialis penyakit paru dan respirasi (SpP), saat ini baru ada 1.300 orang, sedangkan kebutuhan secara nasional menurut Faisal Yunus, Ketua Kolegium Spesialis Paru dan Kedokteran Respirasi, sekitar 2.700 dokter SpP. Demikian pula jumlah dokter spesialis lain, seperti spesialis penyakit dalam (SpPD), spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah (SpJP), spesialis bedah (SpB), spesialis anestesiologi (SpAn), dan beberapa spesialis lain, masih kurang.
Pernah muncul wacana untuk mengimpor dokter dari luar negeri untuk dokter spesialis atau subspesialis yang memang langka. Namun, apakah dengan cara mengimpor dokter tersebut akan dapat mengatasi masalah kekurangan dan maladistribusi dokter spesialis di Tanah Air? Jawabannya belum tentu.
Hal ini disebabkan tidak meratanya penyebaran tenaga dokter spesialis dengan jumlah yang masih kurang diakibatkan oleh berbagai faktor, termasuk sistem pendidikan dokter spesialis yang berbiaya tinggi yang harus ditanggung sendiri oleh resident, serta penyediaan fasilitas/peralatan rumah sakit yang belum memadai di beberapa daerah.
Sistem pendidikan dokter spesialis
Pendidikan spesialis berbasis universitas saat ini mengacu dan mengikuti regulasi yang ada, seperti Peraturan Menteri Riset dan Teknologi/Pendidikan Tinggi No 18 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Pendidikan Kedokteran (SNPK), Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi.
Tidak ada yang salah dengan regulasi tersebut, tetapi perlu evaluasi mendasar karena sangat membatasi jumlah penerimaan peserta program sehubungan dengan adanya ketentuan tentang rasio tenaga pengajar/dosen terhadap mahasiswa dan berbagai ketentuan lain. Selain itu, kapasitas untuk wahana pendidikan yang semuanya dilaksanakan di rumah sakit pendidikan juga jumlahnya terbatas.
Peserta pendidikan spesialis yang dikenal sebagai ”peserta pendidikan dokter spesialis” (PPDS) harus terdaftar sebagai ”mahasiswa” yang wajib membayar SPP Rp 15 juta-Rp 20 juta per semester, bahkan ada yang lebih. Nomenklatur umum untuk PPDS adalah ”resident”. Selama pendidikan 8-9 semester, mereka pasti akan menghabiskan dana ratusan juta rupiah, di samping biaya hidup dan keperluan sehari-hari.
Sangat jelas terjadi seleksi awal terhadap financial support calon peserta yang akan menjadi pertimbangan utama bagi dokter yang akan melanjutkan pendidikan spesialisasi dengan sistem sekarang ini.
Ada calon resident yang sebenarnya mampu dari segi keilmuan dan kompetensi, tetapi harus rela mundur dulu karena keadaan finansial belum mendukung, atau karena melebihi kuota penerimaan.
Dengan melihat hal-hal tersebut, ada benarnya kalau ada yang mengatakan terdapat ”anomali” dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia jika dibandingkan dengan negara maju, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Jerman, bahkan dengan negara-negara Asia lainnya, seperti India, Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Di negara-negara tersebut resident tidak harus membayar biaya pendidikan.
Di negara-negara tersebut resident tidak harus membayar biaya pendidikan. Sebaliknya, mereka dibayar alias mendapat gaji yang cukup karena kenyataannya memang para resident belajar sambil bekerja di rumah sakit. Para resident mempunyai surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP).
Di sisi lain, tidak jarang hak dan kewajiban para resident, seperti kelebihan waktu kerja dan insentif, seakan terabaikan.
Solusi
Ada dua opsi yang mungkin dapat ditempuh.
Pertama, pendidikan dokter spesialis sepenuhnya diserahkan kepada rumah sakit pendidikan dengan fasilitas dan kualifikasi pengajar yang harus memenuhi persyaratan. Mulai dari penerimaan resident hingga pengelolaan administratif seluruhnya diserahkan kepada rumah sakit (hospital based).
Dengan sistem ini dimungkinkan untuk dapat menerima resident lebih banyak. Namun, hal ini memerlukan dana yang banyak dan kolaborasi dengan dukungan kuat organisasi profesi/kolegium.
Kedua, pendidikan spesialis tetap berafiliasi dengan universitas, tetapi harus dilakukan penambahan banyak rumah sakit pendidikan sebagai rumah sakit jejaring sehingga memungkinkan penerimaan resident jauh lebih banyak.
Perencanaan anggaran dari rumah sakit dan kementerian terkait mutlak harus diatur untuk memberikan insentif/honor kepada resident dan membebaskan biaya pendidikan.
Hal ini pernah dikemukakan David Perdanakusuma, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia (MKKI IDI), kepada penulis, dan disebutnya sebagai hybrid system. Opsi ini sangat mungkin dilaksanakan, sekaligus mereformasi sistem pendidikan dokter spesialis saat ini. Tentu saja diperlukan penyusunan regulasi yang memadai.
Di era globalisasi, khususnya di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekarang, reformasi sistem pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis, sebaiknya segera dilakukan jika kita ingin duduk sejajar dengan negara lain di dunia.
Tanpa ada perubahan yang signifikan, dokter spesialis asing dapat masuk ke Indonesia dengan alasan yang sangat masuk akal: dokter spesialis yang ada jumlahnya masih kurang dan belum dapat melayani seluruh rakyat di negeri ini. Semoga tidak terjadi.
(Sukman Tulus Putra, Guru Besar Departemen IKA Fakultas Kedokteran UI, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (2005-2008), dan Council Member of ASEAN Pediatric Federation)