Membedakan Kritik dan Delik
Suatu ketentuan pidana tidak boleh menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan sehingga diterapkan secara kaku dan berlebihan.
Permintaan Presiden Jokowi agar Polri berhati-hati dalam menyikapi dan menerima laporan atau pengaduan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik patut diapresiasi.
Alasannya, karena kepolisian merupakan satu-satunya institusi penegak hukum yang menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 UU Kepolisian).
Presiden Jokowi juga mengingatkan adanya potensi pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat diterjemahkan secara multitafsir, yaitu dengan semakin banyaknya masyarakat yang saling melaporkan perkaranya, sehingga diperlukan adanya pedoman interpretasi resmi atas pasal-pasal dalam UU ITE dan dikedepankannya penyelesaian secara mediasi (keadilan restoratif). Hal itu ditujukan agar tetap memberikan rasa keadilan dan menghindari penggunaan pasal-pasal elastis (karet).
Misalnya, delik penghinaan/pencemaran nama baik dan ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) secara elektronik.
Permasalahannya, ”perasaan terhina” hanya dapat dirasakan oleh orang/kelompok yang merasa terhina secara subyektif. Perasaan terhina juga bisa muncul dari ”bumbu” yang mewarnai kritik yang disampaikan dalam bentuk kecaman, tanggapan, dan pendapat.
Salah satu esensi dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat.
Selain itu, fenomena yang berkembang saat ini adalah meningkatnya sensitivitas dari ketersinggungan perasaan masyarakat yang seolah sukar membedakan antara kritik dan tindak pidana (delik) berupa penghinaan/pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Salah satu esensi dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani telah dijamin penuh oleh Konstitusi (Pasal 28E Ayat 2 UUD 1945), tentunya dengan mengindahkan pembatasan yang ditetapkan UU (Pasal 28J UUD 1945). Oleh karena itu, menjadi pertanyaan penting, sejauh mana ekspresi dari kebebasan berpendapat dan kritik dapat menjadi suatu delik?
Penghinaan dalam hukum pidana
Penghinaan merupakan perbuatan yang tercela dilihat dari aspek moral, agama, kemasyarakatan, dan HAM (universal). Oleh karena itu, secara teoretis dipandang intrinsically wrong sehingga dilarang (kriminalisasi) di sejumlah negara.
Hal ini karena ada tiga kepentingan yang dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan hukum perseorangan/korban, masyarakat, dan negara.
Menariknya, di setiap negara, pengaturan delik penghinaan tidak seragam karena dipengaruhi sistem sosial-budaya, misalnya di Inggris, yang mengualifikasikan penghinaan/pencemaran nama baik (defamation) justru dalam ranah perdata (ganti rugi).
Menurut Adami Chazawi (2016), penghinaan (beleediging) adalah penyerangan terhadap martabat kehormatan/nama, baik yang bersifat pribadi maupun komunal, sehingga menimbulkan perasaan malu, tersinggung, terhina, rasa tidak senang, benci, tidak puas, sakit hati, amarah, dan suatu penderitaan yang menyiksa batin orang lain.
Pengaturan tindak pidana penghinaan dalam UU yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tegaknya martabat nama baik dan kehormatan, baik bersifat pribadi maupun komunal, demi terjaganya kedamaian dan ketenteraman batin dalam pergaulan masyarakat.
Ketentuan umum (legi generali) mengenai penghinaan terhadap seseorang sebagai obyek (personal) terdapat dalam Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mulai dari Pasal 310 hingga 321, yang memiliki alasan penghapus pidana dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP, yaitu jika dilakukan untuk kepentingan umum atau membela diri.
Adapun penghinaan terhadap kelompok tertentu (komunal) diatur dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, yaitu Pasal 156 KUHP tentang Delik Penghinaan terhadap Golongan Penduduk dan Pasal 156a tentang Penodaan Agama yang merupakan pasal ”sisipan” dari UU PNPS No 1 Tahun 1965.
Dalam perkembangan teknologi yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi di media sosial secara tanpa batas/jarak (borderless) dan tanpa diketahui nama aslinya (anonymous), pengaturan delik penghinaan di dunia maya (computer related crime) diatur dalam Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE tentang delik ujaran kebencian/permusuhan terhadap individu atau kelompok berdasarkan SARA sebagai ketentuan khusus (lex specialis) sehingga penafsirannya haruslah merujuk pada KUHP sebagai legi generali.
Selain itu, terdapat pula delik menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, berupa perbuatan membuat tulisan atau gambar, berpidato atau mengungkapkan kata-kata tertentu, atau mengenakan pada dirinya suatu benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau yang dapat dibaca oleh orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 jo Pasal 4 huruf b angka 1-3 UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Penghinaan dalam RKUHP
Bentuk kesengajaan yang berkaitan erat dengan pembuktian delik penghinaan adalah Kesengajaan dengan Maksud (Opzet Als Oogmerk), artinya sejak dari penerimaan laporan/pengaduan haruslah disidik apakah motif seseorang dalam melakukan perbuatan (penghinaan) dan akibatnya benar-benar dikehendaki oleh si pelaku.
Hal ini sesuai dengan postulat actus reus non facit reum nisi mens sit rea, yang berarti suatu perbuatan tidak dapat membuat seseorang dinyatakan bersalah, kecuali jika sikap batinnya bersalah.
Dalam Pasal 218-219 Rancangan KUHP diatur Tindak Pidana Penyerangan terhadap Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, baik secara lisan maupun tertulis (sarana teknologi), yang dasarnya merupakan penghinaan, yang kini menjadi delik aduan (klacht delicten), artinya hanya presiden dan wakilnya yang punya legal standing mengadu, sebagaimana Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa Umum (Putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006).
Tujuannya untuk melindungi harkat dan martabat presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara, sebagaimana layaknya terhadap kepala negara sahabat dalam Pasal 142 KUHP/226 RKUHP. Ketentuan ini tidak meniadakan atau mengurangi kebebasan berpendapat/mengkritik kebijakan pemerintah, serta memiliki penghapus pidana, yaitu jika dilakukan untuk membela diri atau kepentingan umum.
Selain itu, delik penghinaan terhadap golongan penduduk dan penodaan agama dalam Pasal 242 dan 304 RKUHP juga mengakomodasi pidana denda sebagai alternatif, sekaligus perwujudan asas ultimum remedium, serta telah membedakan dengan tegas antara tindak pidana terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa perancang KUHP telah berupaya memikirkan pengaturan delik tersebut secara ketat sehingga tidak dapat ditafsirkan secara elastis.
Dalam penjelasan Pasal 304 Rancangan KUHP telah diuraikan pula mengenai alasan penghinaan terhadap suatu agama patut dipidana, yaitu karena dinilai tidak menghormati perasaan umat yang menganut suatu agama dan untuk mencegah benturan kelompok masyarakat.
Penjelasan itu juga memberikan contoh yang relevan, misalnya perbuatan yang menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-sifat-Nya, atau menghina nabi/rasul yang dapat menimbulkan keresahan dalam kelompok umat yang bersangkutan.
Dengan adanya penjelasan itu, diharapkan pengaturan dan penerapan dari delik penghinaan, baik yang bersifat umum maupun khusus, di waktu yang akan datang setidak-tidaknya dapat mendekati prinsip nullum crimen sine lege stricta, artinya suatu ketentuan pidana tidak boleh menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan sehingga diterapkan secara kaku dan berlebihan.
(Albert Aries Pengajar FH Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia)