Sebagian negara Timur Tengah ingin mempertahankan pendekatan konfrontatif, tetapi sebagian lagi berkompromi. Mesir, Jordania, Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko, dan Sudan sudah menormalisasi hubungan dengan Israel.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Proses penyelesaian konflik Timur Tengah tampak berputar-putar di tempat ketika Presiden Amerika Serikat Joe Biden mempertegas lagi dukungan AS kepada Israel.
Tak ada terobosan yang ditawarkan pemerintahan baru AS pimpinan Biden kecuali membuat Israel tetap di atas angin. Sementara Palestina kian jauh dibiarkan berada dalam pusaran angin. Segera terbayang kekecewaan bangsa Palestina saat Presiden Biden mempertegas dukungan AS melalui percakapan telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Rabu (17/2/2021).
Presiden Biden memang ingin menyelesaikan konflik Timur Tengah dengan mengajak dialog bersama Israel dan Palestina, tetapi sama sekali tidak menyinggung solusi berupa pembentukan dua negara, Israel dan Palestina.
Israel membentuk negara merdeka tahun 1948 atas dukungan Inggris dan negara Barat lainnya. Namun, upaya Palestina mendirikan negara merdeka dan berdaulat di tanah airnya sendiri terus-menerus dihalang-halangi. Keadaan bertambah runyam karena wilayah bangsa Palestina di Tepi Barat diduduki Israel sejak 1967. Aksi pendudukan membuat upaya Palestina mendirikan negara semakin sulit.
Persoalan tambah rumit karena campur tangan asing. Ketegangan justru bertambah karena AS dan negara Barat lainnya mendukung Israel. Rusia (dulu Uni Soviet) dan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendukung Palestina. Terlepas dari berbagai campur tangan asing, penyelesaian konflik pada dasarnya tetap berpulang pada keinginan dan komitmen bangsa Israel dan Palestina sendiri.
Tidak habis pikir, mengapa Israel dan Palestina tak mampu menyelesaikan persoalan di antara mereka sendiri, yang disebut sama-sama keturunan Semit (Shem, Sam bin Nuh).
Setelah lelah berperang berkali-kali, semestinya keduanya bersama mencari penyelesaian damai. Namun, ternyata, permusuhan dan konflik terkesan dibiarkan berabad-abad, terlebih dalam seratus tahun terakhir. Sungguh absurd! Jika kedua bangsa tidak mampu mengakhiri konfliknya, semestinya kekuatan regional terpanggil menjadi penengah. Namun, negara di kawasan Timteng tak solid, bahkan bertikai, karena berbeda pilihan pendekatan dalam menghadapi Israel.
Sebagian negara di Timteng ingin mempertahankan pendekatan konfrontatif, tetapi sebagian lagi ingin berkompromi. Anggota Liga Arab, seperti Mesir, Jordania, Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko, dan Sudan, sudah menormalisasi hubungan dan kerja sama dengan Israel. Dengan berhubungan dengan Israel, keenam anggota Liga Arab itu bisa memainkan peran lebih besar, seperti menjadi penengah, dalam memperlihatkan kecerdasan diplomatik untuk mengakhiri konflik Timteng sebagai satu arena pertarungan utama geopolitik.
Tak mungkin menjadi penengah dan berperan di arena konflik jika berhubungan dengan Israel atau Palestina saja.