Menerima diri sendiri. Pikirkan tentang hal yang memalukan atau sesuatu yang kurang bisa kita terima. Lalu, merenunglah dengan mengambil perspektif sosok imajiner yang arif dan menyayangi kita sepenuhnya tersebut.
Oleh
Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Sudah satu tahun berlalu, kita masih menghadapi situasi sulit yang belum terlihat jelas titik terangnya. Meski situasi eksternal sangat menyulitkan, tidak jarang kita mengarahkan kekecewaan atau kemarahan kepada diri sendiri. Kita menyesali diri “bukan anak yang baik” dan “tidak merawat orangtua dengan baik” setelah orang tua meninggal. Mungkin juga menilai diri “lamban”, “bodoh”, dan “tidak berguna” karena bisnis tidak berjalan baik.
Untuk dapat menjalani hidup dengan positif dan produktif, kita perlu menerima dan menyayangi diri dengan berbagai kekuatan dan keterbatasan kita. Oleh karenanya, beberapa pendekatan konseling dan terapi psikologis memberikan perhatian khusus pada ditumbuhkan atau dikuatkannya belas kasih pada diri (self-compassion) untuk membantu individu keluar dari suara diri negatif.
Saya menemukan beberapa latihan yang sederhana dan menarik dari situs Kristin Neff, https://self-compassion.org/category/exercises/ yang dapat membantu pembaca untuk menumbuhkan belas kasih pada diri. Untuk tulisan ini, saya akan mengutipkan dengan bebas dua teknik saja.
Bagian dari hidup
Pertama, kita perlu mencari waktu tenang bagi diri sendiri, bisa pagi, malam, atau kapan saja ketika kita merasa tertekan dan memerlukan suasana tenang tersebut. Dalam keadaan tenang, kita memikirkan kembali hal yang sangat menyulitkan dari hidup kita. Dapat terkait dengan pandemi covid-19 ataupun hal lain.
Ketika memikirkan itu, mungkin batin kita, bahkan ada bagian-bagian dari tubuh kita yang terasa tidak nyaman. Misalnya napas menjadi berat, atau bahkan kita tidak mampu menahan tangis.
Kita lalu berkata pada diri sendiri: “Ini memang waktu yang sangat sulit untuk dihadapi,” atau “Sungguh aku merasa sangat tertekan.” Dengan demikian, kita secara sengaja membuat diri menyadari apa yang terjadi.
Lalu kita berkata “Penderitaan adalah bagian dari kehidupan” atau kalimat senada. Misalnya, “Orang-orang lain juga mengalami hal yang sama dengan saya”, “Saya tidak sendiri,” atau “Semua manusia berjuang untuk mengatasi masalahnya masing-masing”.
Pernyataan ini mengarahkan kita pada kesadaran mengenai kondisi kemanusiaan yang dialami oleh semua, atau setidaknya banyak orang, bukan hanya kita sendiri.
Kita dapat meletakkan tangan kita di dada kita, merasakan kehangatan dari tangan dan sentuhan lembut tangan kita di dada. Silakan menemukan sendiri sentuhan yang menenangkan bagi diri sendiri.
Kita kemudian dapat berkata lagi pada diri sendiri: “Bagaimana aku dapat menunjukkan kebaikan dan kasih sayang pada diriku sendiri?” Temukan frase pendek yang terasa menenangkan dan tepat untuk kita, misalnya, “Aku perlu bersabar pada diriku sendiri,”, “Ya Tuhan bantu aku menerima diriku sendiri,”, atau “Aku memaafkan diriku sendiri untuk perasaan-perasaan kacau yang muncul menghadapi situasi yang sangat sulit ini.”
Penerimaan tanpa syarat
Memang tidak ada manusia yang sempurna. Mereka yang mampu berbahagia adalah yang dapat menerima diri dalam ketidaksempurnaan itu.
Untuk itu, hal lain yang dapat dilakukan adalah membayangkan ‘sosok imajiner’ yang menerima kita apa adanya dan memberikan kasih sayang sepenuhnya pada kita dalam ketidaksempurnaan yang ada. Sosok yang dipilih dapat berbeda untuk satu dan orang lain. Ada yang memilih sosok sahabat imajiner, orangtua yang bijak, ibu kandung yang telah tiada dan dalam kehidupan nyata mungkin belum sempat ditemui, atau bahkan memilih sosok Tuhan itu sendiri.
Pikirkan hal yang mengecewakan, memalukan, atau sulit kita terima dari diri kita. Apa yang kita pikirkan dan rasakan mengenai hal itu? Setelahnya, merenunglah dengan mengambil perspektif sosok imajiner yang arif dan menyayangi kita sepenuhnya tersebut.
Bayangkan bahwa ia sepenuhnya menerima kekuatan dan keterbatasan kita, dan dapat memberikan penjelasan yang membuat batin kita menjadi lebih tenang.
Tulislah surat dari perspektif sosok imajiner yang penuh penerimaan dan kasih sayang tersebut. Bagaimana ia secara bijak menenangkan dan memberikan penjelasan?
Apakah mungkin ada sejarah keluarga yang menyebabkan kita saat ini berada dalam situasi yang tak terhindarkan? Apakah kita dilahirkan dalam keterbatasan sosial-ekonomi yang cukup menyulitkan untuk dapat menjalin pergaulan seluas mungkin? Ataukah kita memang dilahirkan bukan sebagai orang yang super kreatif dan inovatif, dan hal itu perlu diterima karena kita juga memiliki sisi-sisi positif lain?
Penjelasannya bukan bermaksud menyalahkan pihak lain, tetapi menunjukkan penerimaan akan rasa sakit yang ada, sambil menghadirkan juga perspektif yang berbeda, yang menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia biasa. Bila ada kesalahan yang kita lakukan, ia juga menunjukkan penerimaan terhadap kesalahan tersebut, sambil membuka pemahaman baru.
Barangkali ia juga menyarankan perubahan-perubahan tanpa bersikap menghakimi. Perubahan apa yang disarankannya, dan sepertinya memang dapat dan baik untuk kita upayakan?
Apakah kita dapat memperbaiki sesuatu? Apakah ada yang dapat dilakukan dengan cara berbeda? Adakah nilai-nilai, prioritas, atau pendekatan baru yang baik untuk kita ambil?
Setelah selesai menuliskan surat tersebut, kita dapat mengambil waktu untuk melakukan hal lain terlebih dulu. Setelah itu carilah waktu untuk membaca kembali surat tersebut dengan perlahan, mencerna pesan yang disampaikannya. Ia mengajari kita untuk mengasihi diri sendiri.
Latihan-latihan memberikan belas kasih pada diri sendiri semoga dapat membantu kita menerima yang tidak dapat diubah, dan memperjuangkan apa yang dapat diperbaiki.
Dengan tiadanya penghakiman pada diri sendiri maupun orang lain, latihan tersebut semoga juga sekaligus dapat membantu kita menjalin hubungan yang lebih baik dengan lingkungan.