Penyakit ebola muncul lagi di Afrika Barat. Meski jauh, Indonesia perlu mewaspadai, mengingat pernah ditemukan virus ebola pada orangutan di Kalimantan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali, Guinea Afrika melaporkan kembalinya epidemi ebola.
Organisasi Kesehatan Dunia Regional Afrika (WHO AFRO) menyatakan, 14 Februari 2021, otoritas kesehatan di Guinea mengumumkan epidemi ebola di Desa Gouéké, Prefektur N\'Zerekore. Dari investigasi awal, seorang perawat fasilitas kesehatan meninggal pada 28 Januari 2021. Usai pemakaman, enam orang melaporkan gejala mirip ebola. Dua di antaranya meninggal, empat lain dirawat di rumah sakit.
Hingga Selasa (16/2/2021), Guinea mencatat 10 kasus terduga ebola dan lima kasus meninggal. Ratusan kontak erat di N\'Zerekore dan Conakry diidentifikasi. Republik Demokratik Kongo juga mengumumkan kasus positif di Butembo dan mengidentifikasi 70 kontak erat.
Penyakit atau demam berdarah ebola pertama kali muncul sebagai wabah tahun 1976 di Nzara, Sudan Selatan, dan Yambuku, Kongo. Saat itu, tak kurang dari 1.850 orang terjangkit, 1.200 orang meninggal dunia.
Penyakit infeksi akut itu menular lewat kontak dengan darah, cairan tubuh, urine, ataupun tinja penderita. Inkubasi virus berlangsung dua hingga 21 hari. Gejalanya demam tinggi, nyeri otot, sakit tenggorokan, lemah, muntah, dan diare. Dalam banyak kasus, terjadi kegagalan multi organ, perdarahan hebat dan kematian.
Ada empat subtipe virus ebola, yakni Zaire, Sudan, Pantai Gading, dan Bundibugyo yang menyerang manusia, ebola Reston yang ditemukan pada primata serta ebola Bombali pada kelelawar.
Pada epidemi hebat di Afrika Barat (2014-2016), terjadi 28.000 kasus, termasuk 11.000 kematian. Wabah berawal di Guinea, melintasi perbatasan ke Sierra Leone dan Liberia. WHO dan mitra telah membangun kapasitas tenaga kesehatan setempat dalam merespons ebola. “WHO mendukung dengan menyiapkan pengujian, pelacakan kontak, dan struktur pengobatan serta merespons secara cepat,” ujar Direktur WHO AFRO Matshidiso Moeti. Januari 2021, WHO bersama Dana PBB untuk Anak (Unicef), Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), dan Dokter Lintas Batas (MSF) juga mengumumkan pengadaan persediaan vaksin untuk ebola.
Bagaimana dengan Indonesia? Tahun 2015, sempat ada kekhawatiran ebola masuk Indonesia. Dua tenaga migran dari Jawa Timur mengeluhkan demam tinggi sepulang dari Liberia, sehingga dirawat di ruang isolasi. Untung, pemeriksaan contoh darah menunjukkan hasil negatif ebola.
Namun, hasil penelitian Universitas Airlangga, dan Kementerian Pertanian, Indonesia, bersama Universitas Hokkaido, Jepang, yang dimuat di jurnal Plos One, 18 Juli 2012, mendapatkan, 65 dari 353 contoh serum darah orangutan Kalimantan yang dikumpulkan tahun 2005-2006 positif virus ebola. Lima sampel positif terhadap subtipe Asia, virus Reston. Sedangkan 60 sampel justru positif terhadap subtipe Afrika, yakni virus Zaire, Sudan, Pantai Gading, dan Bundibugyo.
Untuk itu Indonesia perlu waspada. Prinsip kehati-hatian dan langkah penanggulangan harus dilakukan sejak dini. Mereka yang datang dari wilayah epidemi ebola perlu diperiksa seksama. Kita perlu belajar dari pandemi Covid-19 yang kurang diwaspadai saat awal, akhirnya sulit dikendalikan.