Sudah sangat jelas bahwa permasalahannya adalah ketidakjujuran dalam menyampaikan data diri. Ini adalah sikap tidak sportif. Tidak perlu penafsiran UU yang terlalu rumit, segera kenakan diskualifikasi atau sanksi hukum.
Oleh
Pangeran Toba P Hasibuan
·3 menit baca
Sportivitas adalah sikap yang menunjukkan perilaku etis dan berintegritas, mengakui keunggulan lawan dalam kompetisi ataupun dalam menerima kemenangan. Sportivitas dijunjung tinggi dalam olahraga.
Tidak jarang kita membaca berita jika seorang atlet diketahui menggunakan doping saat bertanding, ia langsung mendapat sanksi diskualifikasi. Namun, jiwa sportivitas semestinya tidak hanya berlaku dalam dunia olahraga, tetapi dijunjung tinggi di setiap kompetisi ataupun kontestasi, termasuk dalam berpolitik.
Di sisi lain, negara kita adalah negara hukum, tidak kurang banyak perangkat hukum dibuat. Namun, hukum yang seharusnya menjadi panduan arah malah sering menjadi hambatan dan membuat sulit bergerak maju.
Ada kejadian baru-baru ini yang dapat menjadi contoh, yaitu pemenang pilkada serentak (9 Desember 2020) dan kini menjadi bupati terpilih di Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Ia baru ketahuan berkewarganegaraan ganda, yaitu Indonesia dan Amerika Serikat.
Pihak Kedutaan Besar AS di Jakarta menyatakan, benar yang bersangkutan adalah warga negara AS (Kompas, 4 Februari 2021) dan tidak ada bantahan dari yang bersangkutan. Namun, KPU dan Bawaslu terkesan gamang menyelesaikan persoalan ini.
Ada yang mengatakan bupati terpilih dilantik dulu baru diberhentikan setelah DPRD menggunakan hak angket. Ada pula yang mengatakan, bupati dilantik dulu jika ada yang keberatan silakan menggugat ke PTUN.
Ada yang berpendapat pelantikan ditunda sampai ada keputusan status kewarganegaraannya. Bahkan, ada juga yang berpendapat bupati dilantik dulu sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap bahwa dia bukan warga negara Indonesia.
Sudah sangat jelas bahwa permasalahannya adalah ketidakjujuran dalam menyampaikan data diri. Ini adalah sikap tidak sportif. Oleh karena itu, tidak perlu penafsiran UU yang terlalu rumit, yang bersangkutan bisa segera dikenai diskualifikasi bahkan sanksi hukum.
Pemerintah dan partai politik harus bisa memperbaiki budaya politik Indonesia menuju tahun politik 2024. Sudah saatnya kita menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas dalam berpolitik dan kehidupan kita sehari-hari.
Pangeran Toba P Hasibuan
Sei Bengawan, Medan 20121
Imlek
Setiap tahun selalu terjadi polemik tentang tahun baru China (Imlek) yang digunakan. Imlek adalah perayaan budaya orang-orang China di seluruh dunia, lintas agama dan lintas negara.
Namun, muncul kontroversi ketika Imlek diklaim sebagai bagian dari agama Khonghucu di Indonesia. Akibatnya, pada pascareformasi, penomoran tahun baru China disesuaikan dengan tahun kelahiran Khonghucu 2021+551.
Di seluruh dunia, penomoran tahun baru China sama dengan tahun Masehi 2021. Kalau mau lebih akurat, seharusnya yang dipakai adalah tahun saat Kaisar Huangdi bertakhta, 2697 SM. Dengan demikian, tahun baru China sekarang adalah 2697+2021.
Kaisar Huangdi alias Kaisar Kuning adalah penguasa yang pertama kali memperkenalkan tahun baru China.
Mengapa di Indonesia berbeda? Ini akibat ketidakpahaman pemerintah dan masyarakat sehingga tahun baru China dianggap identik dengan hari raya Khonghucu. Padahal, di seluruh dunia tak demikian, bahkan di Malaysia dan Singapura.
Tradisi China yang sudah berlangsung ribuan tahun tak hanya terkait dengan Khonghucu, tetapi juga taoisme, etika konfusian, dan Mahayana Buddhis.
Bagaimana dengan kelenteng? Kelenteng sebenarnya adalah tempat beribadah taoisme dan orang China, bukan tempat konfusianism. Tempat ibadah Konghucu adalah lithang dan kongcubio.
Akhir kata, sincun kionghi, thiam hok, thiam siu, ban su ji ie. Gongxie Fachai 2021.