Infeksi SARS-CoV-2 berpotensi memicu respons kekebalan tubuh yang tidak terkendali. Akibatnya, bisa terjadi pembekuan darah pada pembuluh darah kapiler di berbagai organ tubuh, sehingga mengancam jiwa.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Gagal pernapasan akut dan sepsis menjadi penyebab utama kematian pada Covid-19. Peradangan akibat infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan alveoli, tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam darah, kolaps. Paru terendam cairan merembes dari pembuluh darah sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Secara kasatmata, penderita akan sulit bernapas dan kekurangan oksigen dalam tubuh.
Infeksi juga bisa menimbulkan sepsis, respons kekebalan tubuh yang tidak terkendali. Salah satunya, memicu aktivasi pembekuan darah sehingga terbentuk gumpalan darah di pembuluh darah kapiler di seluruh tubuh sekaligus menyebabkan perdarahan. Kondisi ini bisa mengancam jiwa.
Dalam laporan di jurnal Scientific Reports, 2 Oktober 2020, Kaige Wang dan kolega dari China menganalisis data klinis dan laboratorium dari 77 pasien yang meninggal akibat Covid-19 di Rumah Sakit Renmin milik Universitas Wuhan, pada 1 Februari-7 Maret 2020.
Hasil pemeriksaan laboratorium, antara lain, berupa peningkatan protein yang diproduksi oleh organ hati sebagai respons terhadap peradangan (C-reactive protein/CRP), dehidrogenase asam laktat, D-dimer dan asam laktat, serta penurunan limfosit (salah satu jenis sel darah putih).
D-dimer menjadi pembicaraan setelah Dahlan Iskan menuliskan pengalaman sebagai penyintas Covid-19. D-dimer merupakan salah satu hasil penguraian bekuan darah. Saat terluka, tubuh merespons dengan membuat darah membeku di sekitar luka. Setelah perdarahan terhenti, sistem tubuh akan menguraikan bekuan darah.
Sourav Biswas dan kolega dari Universitas Shoolini, India, pada jurnal Medical Hypotheses, 6 November 2020, menulis, terdapat bekuan darah di pembuluh kapiler di paru, jantung, hati, dan ginjal, dari otopsi pasien Covid-19. Lebih dari 33 persen pasien Covid-19 yang kritis dilaporkan mengalami pembekuan darah sangat tinggi atau peningkatan kadar D-dimer.
Menurut peneliti, mekanisme pembekuan darah ibarat pedang bermata dua. Pada luka luar, pembekuan sangat penting untuk mencegah kehilangan darah. Namun, pada infeksi SARS-CoV-2, cedera pembuluh darah akibat ikatan protein paku virus dengan reseptor sel tubuh memicu pembekuan darah sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah yang meluas ke setiap organ.
Penelitian Robert Brodsky dari Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins dan tim juga menemukan, protein paku pada virus korona baru mengaktifkan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang bisa merusak jaringan sehat.
Bisa memprediksi
D-dimer disebut normal jika kadarnya kurang dari 500 nanogram per mililiter (ng/ml). Kadar D-dimer meningkat seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 50 tahun. Selain akibat infeksi dan pembekuan darah internal, D-dimer meningkat pada kehamilan, kanker, gangguan autoimun, perokok, luka parah atau baru dioperasi. Selain itu juga pada pasien lanjut usia dan pasien terus berbaring.
Pada pasien Covid-19, kadar D-dimer berkorelasi dengan keparahan penyakit dan merupakan prediksi yang dapat diandalkan untuk kematian.
Penelitian Yumeng Yao dan kolega dari Universitas Fudan, China, dalam Journal of Intensive Care, 10 Juli 2020, menyatakan, ada korelasi signifikan antara kadar D-dimer dan tingkat keparahan penyakit berdasarkan area paru yang terkena, indeks oksigenasi, serta stadium klinis menurut pedoman sementara. Kadar D-dimer lebih dari 2.400 ng/ml bisa memprediksi kematian dengan sensitivitas 88,2 persen dan spesifisitas 71,3 persen.
Hal serupa dinyatakan Jeffrey Berger dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas New York, Amerika Serikat, di Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology, 25 Agustus 2020.
Dari penelitian pada 2.377 penderita Covid-19 yang dirawat di Rumah Sakit New York antara 1 Maret-8 April 2020 didapatkan, pasien dengan D-dimer lebih dari 2.000 ng/ml berisiko menjadi kritis (66 persen), tersumbat pembuluh darah (37,8 persen), cedera ginjal akut (58,3 persen), dan meninggal (47 persen).
Covid-19 merupakan kondisi koagulopati (pembekuan darah) dan D-dimer menunjukkan kaitan antara Covid-19 dan kefatalan penyakit.
”Penelitian ini menambah bukti bahwa Covid-19 merupakan kondisi koagulopati (pembekuan darah) dan D-dimer menunjukkan kaitan antara Covid-19 dan kefatalan penyakit,” demikian Berger dan tim.
Disebutkan, pasien dengan D-dimer tinggi umumnya memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, kolesterol tinggi, gangguan jantung, ataupun penyakit ginjal kronis.
Sebelumnya, Fei Zhou dan kolega dari Akademi Kedokteran China di Beijing, dalam The Lancet, 28 Maret 2020, melaporkan, kadar D-dimer lebih dari 1.000 ng/ml menyebabkan risiko kematian. Hal itu didapat dari studi kohort retrospektif pasien rawat inap di Rumah Sakit Jinyintan dan Rumah Sakit Paru, Wuhan, yang sembuh ataupun meninggal hingga 31 Januari 2020.
Menurut Yu Zuo dari Universitas Michigan dan kolega di Science Translational Medicine, 18 November 2020, virus memicu produksi antibodi yang beredar melalui darah. Antibodi itu menyerang sel dan memicu pembekuan darah di arteri, vena, dan pembuluh kapiler.
Tim mengukur delapan jenis antibodi antifosfolipid dari 172 pasien Covid-19 di rumah sakit. Ternyata antibodi tersebut terdapat pada 52 persen sampel serum pasien.
Titer lebih tinggi dari antibodi dikaitkan dengan hiperaktivitas neutrofil (salah satu jenis sel darah putih), jumlah trombosit (keping darah yang berperan dalam pembekuan) lebih tinggi, dan gangguan pernapasan lebih parah. Injeksi antibodi dari serum pasien Covid-19 terbukti mempercepat penyumbatan vena pada tikus percobaan.
”Orang-orang dengan tingkat otoantibodi tinggi mengalami kondisi lebih buruk dalam fungsi pernapasan. Antibodi menyebabkan peradangan bahkan pada sel-sel sehat,” kata Yu Zuo, Guru Besar Penyakit Dalam dan Reumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Michigan, AS.
Pembekuan darah umumnya diatasi dengan antikoagulan atau antitrombosis. Studi retrospektif di China yang melibatkan 449 pasien Covid-19 menunjukkan kematian lebih rendah pada pasien yang mendapat terapi pencegahan (profilaksis) dengan heparin dibandingkan pasien yang tidak menerima antikoagulan.
Berdasarkan data yang terbatas, Perhimpunan Trombosis dan Hemostasis Internasional merekomendasikan strategi antikoagulasi dosis profilaksis rutin dengan heparin setelah penilaian risiko perdarahan dilakukan secara cermat.