Datangnya hujan tidak selalu berarti berkah karena hujan sering juga diikuti bencana banjir dan longsor. Saatnya kita menghentikan perusakan lingkungan, merancang perbaikan, dan mengurangi pertambahan jumlah penduduk.
Oleh
WINDORO ADI
·5 menit baca
Perayaan tahun baru China, Imlek, baru saja usai. Warga Tionghoa di seluruh dunia menandai Imlek sebagai pesta musim semi setelah melewati musim dingin. Menjelang Imlek, kalangan petani mulai memanen sebagian hasil bumi mereka. Tepat saat Imlek, bunga-bunga Meihua yang menurut kepercayaan ditanam Dewi Kwan Im ramai bermekaran di sela datangnya hujan.
Bagi masyarakat Tionghoa di mana pun, hujan menandai datangnya berkah. Hujan mengakhiri hutan dan ladang yang beku oleh musim dingin. Di negara-negara tropis yang hanya mengenal dua musim, hujan datang menggemburkan kembali tanah yang tandus, terutama pada sebagian hutan yang terbakar karena kemarau panjang. Hujan kembali mengairi sawah dan ladang. Memenuhi kembali kantong-kantong mata air di dalam tanah. Membuat hutan kembali lagi bersemi.
Akan tetapi, di Indonesia beberapa tahun belakangan ini hujan nyaris tidak lagi bermakna berkah, tetapi bencana, banjir dan longsor. Banjir dan longsor kian sering terjadi setelah hampir 50 tahun lalu penggundulan hutan mulai berlangsung masif.
Sebagian hutan dibabat, disulap menjadi perkebunan sawit. Keanekaragaman hayati dan sebagian ekosistem terganggu, rusak, hilang. Bagian lain hutan rusak oleh pembukaan lahan-lahan tambang. Sebagian lagi rusak oleh kawasan permukiman baru. Kawasan hutan di perbukitan diwarnai tumbuhnya permukiman padat yang tak lagi mengindahkan keselamatan lingkungan.
Di pantai, hutan bakau (mangrove) yang bermanfaat menahan abrasi dibabat, diurug. Di atas lahan urugan didirikan tempat tempat wisata, hotel, penginapan, restoran, dan arena rekreasi publik. Meluasnya lingkungan perkotaan membuat lingkungan persawahan, rawa, dan kawasan resapan air lainnya disulap menjadi kawasan permukiman—rumah darat, rusunami, rusunawa, dan apartemen.
Pembangunan sejumlah kawasan kota satelit baru yang sebagian besar tergolong mewah dan lengkap di pinggiran kota besar sering kali tidak memiliki sistem pembuangan air limbah, dan hanya mengandalkan sungai, atau bahkan saluran saluran pembuangan lama yang mendangkal karena nyaris tidak pernah dikeruk.
Bendungan-bendungan kehilangan sebagian fungsinya menata air pada musim hujan dan kemarau demi kebutuhan pengairan sawah dan ladang, serta persediaan air minum. Pada saat kemarau, cadangan air di bendungan nyaris kosong. Sementara pada musim hujan ekstrem, bendungan terancam jebol karena arus air dari sungai atau drainase (saluran pembuangan) datang sangat cepat setelah hulu kehilangan sebagian hutan dan membuat bendungan meluap.
Tentu saja hal itu mudah terjadi karena di hulu, kawasan hutan yang mampu ikut memengaruhi resapan air hujan ke tanah rusak atau nyaris hilang. Oleh karena itu, ada baiknya rencana pembangunan bendungan harus satu paket dengan langkah reboisasi di hulu. Atau, pembangunan bendungan diawali dengan pengamanan kawasan hutan yang lebih ketat.
Ketika sungai tak lagi mampu menahan arus air hujan yang datang dari hulu, ketika sungai tak lagi mampu menahan arus air hujan yang datang dari saluran-saluran pembuangan, banjir pun datang. Banjir reda bukan lagi karena air mengalir menuju muara, melinkan karena air meresap ke tanah. Tak heran apabila menunggu air surut kini lebih lama. Sebab, sebagian besar permukaan tanah sudah tertutup aspal, beton, bata, batu, dan semen. Di sisi lain, pemerintah daerah banyak yang gagal merancang sistem drainase kota yang menyeluruh.
Pertambahan penduduk
Perusakan lingkungan yang menyebabkan banjir dan longsor selain karena perilaku manusia, juga disebabkan pertambahan penduduk yang pesat. Kebutuhan lahan untuk permukiman bertambah, sebaliknya luas lahan untuk hutan, kebun, dan daerah resapan air berkurang. Selain itu, persebaran penduduk relatif belum merata.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, setiap tahun 4,8 juta anak lahir di Tanah Air. Hal ini diperburuk dengan kebijakan pemerintah pusat ataupun daerah yang sering kali tidak konsisten menyangkut peruntukan, penataan, dan perawatan lahan terkait dengan pelestarian lingkungan.
Inilah yang kemudian terjadi. Di Desa dan Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (Jatim), Minggu (14/2/2021) petang, terjadi tanah longsor. Sebanyak 23 warga dilaporkan hilang, 2 tewas, dan beberapa rumah rusak berat.
Banjir pun melanda kabupaten ini, yaitu di Kelurahan Ploso, Jatirejo, dan Payaman di Kecamatan Nganjuk, dan Desa Sukorejo, di Kecamatan Loceret. Di Kecamatan Bangli, air hujan menggenangi Desa Satak, Tambaka, Kalianyar, Kalirejo, dan Masangan. Di Desa Bandaran dan Desa Prodo Kecamatan Winongan tergenang, sedangkan di Desa Kebrukan, Kecamatan Grati, terjadi banjir.
Di Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Selasa (12/1/2021), jalan penghubung Jorong Kayu Jangguik, dan Jorong Taratak, longsor dan ambles. Sekitar 200 keluarga terisolasi. Tanah longsor juga terjadi di Bukik Sileh. Satu jembatan di Kecamatan Lembang Jaya putus setelah diterjang banjir. Cerita serupa dialami di sebagian wilayah di Indonesia.
Bisa diatasi
Bencana banjir dan tanah longsor berbeda dengan bencana gempa bumi atau tsunami. Itu karena bencana banjir dan tanah longsor sebagian disebabkan oleh ulah manusia. Berbeda dengan gempa atau tsunami. Oleh karena itu, bencana banjir dan tanah longsor seharusnya bisa diatasi dengan menghentikan ulah manusia merusak lingkungan serta mengendalikan jumlah pertambahan penduduk. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat akan ikut memermudah usaha mengurangi, bahkan menghentikan bencana banjir dan longsor.
Di Indonesia, kerusakan lingkungan terutama disebabkan perilaku manusia dan lemahnya penegakan hukum yang sering diombang-ambingkan sebagian kalangan elite birokrat, pemerintahan, dan pengusaha. Maka, ketika Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo menegaskan, penegakan hukum tak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas, masyarakat Indonesia setahap demi setahap berharap bisa hidup lebih nyaman tanpa berita banjir dan longsor.
Harapan tersebut tentu saja bisa terwujud apabila kalangan elite menghormati hukum. Maka, ketika banjir dan longsor tak banyak lagi menjadi berita, hujan datang sebagai berkah, dan bukan lagi sebagai bencana.