RUU BPIP dan Institusionalisasi Pancasila
Institusionalisasi Pancasila penting dilakukan agar Pancasila menjadi dasar pijakan peraturan perundang-undangan, kebijakan publik dan tata kelola lembaga negara.
Rancangan Undang Undang tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Masuknya RUU BPIP disertai dengan keluarnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dari Prolegnas tersebut.
Hal ini patut disyukuri, sebab ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo mengajukan RUU ini pada tahun lalu, beberapa kalangan menolak. Alasannya, karena RUU tersebut dinilai sama dengan RUU HIP yang kontroversial. Padahal dua RUU ini sangat berbeda.
Pertama, RUU HIP berhasrat menyusun sebuah tafsir tentang Pancasila dengan menentukan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila. Sendi pokok merujuk pada keadilan sosial.
Baca juga: Darurat Pancasila
Satu hal yang bersifat debatable karena Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila (1977) misalnya, menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya. Sementara itu ciri pokok Pancasila diisi gagasan Soekarno tentang Trisila.
Yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Padahal, Trisila ini merupakan perasan nilai dari ide Pancasila 1 Juni yang menempatkan ketuhanan sebagai sila kelima.
Dalam kaitan ini, RUU BPIP tidak berhasrat menyusun tafsir tersebut.
Dalam kaitan ini, RUU BPIP tidak berhasrat menyusun tafsir tersebut. Dalam Pasal 1 Ayat (1) draf RUU ini dinyatakan bahwa Pancasila adalah dasar dan ideologi negara yang rumusan sila-silanya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945, yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Dengan definisi ini, maka Pancasila yang dimaksud oleh RUU BPIP ialah Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Bukan rumusan Pancasila pra-pengesahan, misalnya rumusan 1 Juni 1945 atau rumusan 22 Juni 1945. Tentu Pasal Sendi Pokok dan Ciri Pokok Pancasila sudah tak termaktub dalam RUU ini.
Kedua, RUU BPIP tidak akan mengacaukan hierarki sistem hukum nasional karena ia tidak mengatur tentang hakikat Pancasila, tetapi mengenai upaya pembinaan ideologi Pancasila.
Baca juga: Keluar dari Darurat Pancasila
Pembinaan tersebut didefinisikan sebagai kegiatan yang dimaksudkan untuk melaksanakan, menanamkan dan menjaga nilai-nilai Pancasila agar ditegakkan dan diterapkan oleh seluruh penyelenggara negara dan masyarakat di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, ruang lingkup dari RUU ini ialah proses atau kegiatan penanaman nilai-nilai Pancasila. Pancasila yang mana? Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) di atas.
Selanjutnya RUU ini lebih banyak mengatur upaya pembinaan Pancasila yang selama ini telah dilakukan oleh BPIP. RUU BPIP sendiri merupakan upaya menaikkan landasan hukum BPIP, dari Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018 tentang BPIP menjadi UU.
Kebijakan Pancasila
Penyusunan RUU BPIP menandai langkah baru dalam penguatan Pancasila. Yakni penguatan Pancasila yang tidak terhenti pada sosialisasi, edukasi, dan internalisasi, tetapi juga institusionalisasi.
Mengapa? Karena RUU ini akan menjadi UU yang memayungi semua proses penguatan Pancasila tersebut.
Hal ini terkait dengan tugas BPIP sebagaimana Pasal 3 Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018, yakni melakukan koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian pembinaan Pancasila bersama kementerian dan lembaga negara. Artinya, berbagai program penguatan Pancasila yang telah dilakukan kementerian/lembaga, akan disinkronisasikan oleh BPIP.
Dalam kaitan ini, berbagai kebijakan memang telah ditelorkan dalam rangka sosialisasi, edukasi dan internalisasi Pancasila. UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD mengamanatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk menyosialisasikan Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini yang melahirkan program Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang kini berubah menjadi Empat Pilar MPR RI.
Yang dimaksud sosialisasi di sini ialah pengenalan kembali Pancasila secara massal dan insidental tanpa internalisasi yang kontinu.
Hal sama terdapat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemerintah Daerah dalam Aktualisasi Pancasila, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No 71 Tahun 2012 tentang Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Berbagai kebijakan ini mendasari kegiatan sosialisasi Pancasila. Yang dimaksud sosialisasi di sini ialah pengenalan kembali Pancasila secara massal dan insidental tanpa internalisasi yang kontinu.
Hal ini yang berusaha disempurnakan oleh pendidikan Pancasila. UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah menetapkan Pancasila sebagai mata kuliah wajib. Satu hal yang belum dilakukan untuk pendidikan dasar, menengah dan atas. Untuk jenjang pendidikan ini, Pancasila hanya dimasukkan ke dalam nomenklatur Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Baca juga: Darurat atas Darurat Pancasila
Akan tetapi Pancasila sendiri belum ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Adapun proses internalisasi Pancasila saat ini mulai berjalan namun belum maksimal. BPIP sendiri telah menginisiasi. Salah satunya pembudayaan Pancasila melalui tradisi dan kearifan lokal masyarakat.
Berbagai tradisi yang hidup di masyarakat, dimunculkan sebagai manifestasi dari budaya Pancasila. Namun hingga saat ini, BPIP belum menghidupkan kembali Pendidikan dan Pelatihan Pancasila, meski tidak perlu mengulangi Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Jika sosialisasi bersifat insidental dan massal, sedangkan pendidikan formal Pancasila terjebak dalam rutinitas pendidikan formal. Maka Diklat Pancasila semestinya bisa melakukan internalisasi yang lebih intim dan kontinu.
Institusionalisasi
Hal penting dalam pembinaan Pancasila ialah institusionalisasi Pancasila. Jika internalisasi mengacu pada “penyuntikan” Pancasila ke dalam individu manusia, maka institusionalisasi mengacu pada “pembenaman” Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan publik serta tata kelola lembaga negara.
Inilah yang menjadi sasaran utama dari RUU BPIP sebagai UU penguatan Pancasila dalam struktur kenegaraan.
Baca juga: Pancasila
Sayangnya untuk melakukan institusionalisasi Pancasila, dua tantangan mengadang. Pertama, belum dijadikannya Pancasila sebagai dasar bagi penyusunan Naskah Akademik suatu UU. Hal ini disebabkan oleh hal yang lebih mendasar lagi, yakni belum disusunnya “pedoman teoretik Pancasila” bagi Naskah Akademik tersebut. Sebagaimana disayangkan Yudi Latif dalam Revolusi Pancasila (2015), Pancasila belum disusun menjadi bangunan teoretik yang akan bermanfaat bagi penyusunan UU.
Kedua, Pancasila belum dijadikan “batu uji” dalam judicial review. Selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) menempatkan UUD sebagai “batu uji” tersebut. Padahal Pasal 2 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Jika Pancasila tidak dijadikan “batu uji”, bagaimana ia bisa mengoreksi peraturan hukum yang ada?
Tantangan institusionalisasi, juga internalisasi, edukasi dan sosialisasi Pancasila inilah yang harus dijawab oleh RUU BPIP.
Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila.