Harus Tetap Hati-hati
Sosialisasi vaksinasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari edukasi protokol kesehatan. Rakyat harus diyakinkan, vaksinasi adalah upaya bersama agar Indonesia selamat dan dan mampu bangkit dari keterpurukan.
Kompas (Jumat, 15/1/2021) menulis ”Euforia Vaksinasi Covid-19 Membahayakan”. Vaksinasi massal yang telah berlangsung bertahap adalah bagian dari kebutuhan manusia, bukan lagi soal ”hak atau kewajiban” seperti narasi yang berkembang saat ini.
Kondisi darurat pandemi dengan klasifikasi ”sangat” mesti disikapi rasional dan tidak emosional. Vaksinasi adalah bagian dari upaya menyelamatkan bangsa dari derita berkepanjangan. Semua negara dan bangsa ingin selamat, tidak ada yang mau punah.
Di satu sisi, antusiasme menanggapi kehadiran vaksin tidak boleh membuat lengah, apalagi menganggap zaman kembali normal. Di sisi lain, masih ada penolakan terhadap vaksin dan ketidakpercayaan atas manfaatnya.
Maka, sosialisasi vaksinasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari edukasi protokol kesehatan, dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan. Rakyat harus diyakinkan, vaksinasi adalah upaya bersama agar Indonesia selamat dan mampu bangkit dari keterpurukan.
Pemantauan dan pengawasan pascavaksinasi tidak boleh kendur. Masyarakat perlu ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan kesehatan, setidaknya di lingkungan keluarga masing-masing. Caranya dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, yang selama ini terbukti ampuh pada mereka yang taat untuk menangkal penularan.
Penting pula ditegaskan, seusai vaksinasi tidak serta-merta tubuh menjadi imun atau kebal terhadap virus. Paling tidak diperlukan waktu 14 hari untuk membentuk antibodi. Persepsi salah bahwa selepas vaksinasi tubuh manusia langsung imun harus diluruskan agar masyarakat tidak menjadi jemawa dan terjadi euforia.
Dengan pembatasan sosial saja, jumlah kasus masih sulit dikendalikan, apalagi setelah ada vaksinasi. Pertahanan terkuat terhadap serangan virus adalah munculnya kesadaran hakiki bahwa virus korona bukan musuh sesaat. Covid-19 telah menjadi ancaman laten bagi warga dunia, yang tak pernah diketahui kapan perginya.
Vaksinasi adalah awal pemulihan sendi-sendi kehidupan manusia, setelah hampir satu tahun kita didera kecemasan dan penderitaan. Bangkit dari keterpurukan adalah harapan kita semua, tetapi kewaspadaan harus tetap dijaga untuk waktu yang panjang.
Budi Sartono Soetiardjo
Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat
Kluster Pengungsi
Gempa kembali mengguncang wilayah Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengungkapkan, ada tujuh gempa yang dirasakan di Sulawesi, Jumat (15/1/2021).
Gempa yang menimbulkan kerusakan bangunan ini membuat banyak orang terpaksa mengungsi. Di tengah pandemi Covid-19 ini, kondisi pengungsian perlu perhatian khusus agar tidak menjadi kluster penularan baru.
Jaga kesehatan dan terapkan protokol kesehatan, jangan sampai menurun.
Wening Cahyani
Klaten, Jawa Tengah
Sosialisasi Masif
Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah dimulai sejak 13 Januari 2021, ditandai Presiden Joko Widodo sebagai penerima vaksin pertama.
Vaksinasi dilaksanakan setelah vaksin Sinovac mendapatkan izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan mendapat sertifikat halal dan suci dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun, masih ada sebagian masyarakat yang menolak vaksinasi. Untuk itulah, upaya sosialisasi dan edukasi perlu dilakukan secara masif. Publik perlu mendapat informasi dengan tepat dan benar sehingga tidak ada lagi kekhawatiran.
Program vaksinasi diharapkan mampu menyudahi pandemi Covid-19. Akan tetapi, proses ini memerlukan waktu yang cukup panjang, sampai kekebalan kelompok (herd immunity) tercapai. Oleh karena itu, protokol kesehatan tidak boleh diabaikan dan tetap harus dipatuhi.
Nurul Aqidah
Desa Babakan Cibatok 1,Cibungbulang, Bogor 16630
Ormas Bikin Resah
Pak Kapolri, tolong tertibkan ormas yang meresahkan. Ormas harusnya menjadi partner pemerintah dengan membantu program pembangunan, mencerdaskan bangsa, dan memberi kritik membangun.
Namun, peristiwa keonaran di kawasan apartemen di Cengkareng, Jakarta Barat, beberapa hari lalu, menunjukkan, ormas saat ini malah lebih banyak menimbulkan keributan dan meresahkan. Aktivitasnya sering menimbulkan gesekan ataupun konflik.
Selain bikin onar, ormas-ormas ini juga sering menjadi organisasi pelindung keamanan ilegal. Sebagai contoh, saya pernah menyaksikan salah satu kapling bangunan di Jalan S Parman Slipi. Tertulis jelas: ”Lahan ini dalam pengawasan ... (ormas tertentu)”.
Kita semua percaya bahwa pemerintah tidak boleh kalah dengan pihak mana pun. Karena pemerintah sudah membubarkan FPI, tentu Kapolri baru tidak kesulitan menertibkan ormas-ormas lain yang meresahkan.
Selamat bertugas untuk Bapak Listyo Sigit Prabowo.
Syaiful Rachman
Jalan Kelapa Hibrida, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur
Tabungan Dorman
Saya menabung di BNI Mayestik sesudah pensiun sebagai PNS. Rekening pertama nomor 6483xxx dan rekening kedua 14805xxx.
Beberapa kali saya mengambil bunga dari tabungan itu. Namun, sejak 2011, saya tidak mengambil bunga tabungan sampai Mei 2019.
Baru-baru ini saya kirim anak saya mengambil bunga tabungan selama sembilan tahun. Ternyata, menurut petugas BNI Mayestik, tabungan saya dorman atau tidur. Karena itu, bunga tidak bisa diambil.
Saya tidak tahu arti dorman. Mohon penjelasan, mengapa tabungan saya dianggap dorman? Bagaimana cara ”membangunkannya”?
Soegio Sosrosoemarto
Jalan Kepodang I, Bintaro Jaya Sektor 2, Tangsel 15412
Renovasi Lagi
Sungguh mengejutkan membaca berita Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merenovasi lagi jembatan penyeberangan orang di Jalan Jenderal Sudirman. Alasannya cukup aneh: untuk mengenang jasa tenaga kesehatan yang menangani pandemi Covid-19.
Rencana itu tentu mendapat reaksi dari anggota DPRD. Intinya, wakil rakyat Jakarta minta renovasi jembatan penyeberangan orang (JPO) ditunda atau dibatalkan. Bahkan ada yang menyatakan, kalaupun ingin menyampaikan penghargaan kepada tenaga kesehatan (nakes), bisa dengan cara lain. Misalnya, memberi jaminan beasiswa kepada anak-anak nakes yang gugur.
Sebagai warga, tentu saya tidak ingin menolak jika ada fasilitas umum yang direnovasi. Namun, semestinya berdasarkan urgensi dan kebutuhan. JPO Sudirman, menurut pengamatan, tidak terlalu banyak dimanfaatkan masyarakat umum kecuali sebagian dari mereka yang berkantor di kawasan tersebut.
Proyek renovasi JPO di depan Hotel Le Meridien ini bagian dari rencana pembangunan 11 JPO. Namun, seperti kita tahu, Pemprov DKI menggelontorkan biaya pembangunan kembali JPO di Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin ini dengan nilai fantastis. Untuk JPO Ratu Plaza, misalnya, dialokasikan Rp 17,4 miliar, JPO Gelora Bung Karno Rp 18,5 miliar, dan JPO Polda Metro Jaya Rp 19,3 miliar. Kita belum tahu persis berapa nilai JPO di depan Hotel Le Meridien.
Sebelumnya, estimasi anggaran yang mencapai Rp 56 miliar hanya untuk tiga JPO Sudirman (Ratu Plaza, Gelora Bung Karno, dan Polda Metro) sudah menuai kecaman. Pada era gubernur sebelumnya, cukup mengalokasikan Rp 9 miliar untuk renovasi 61 JPO!
Memperindah dan mempercantik kota dengan merenovasi JPO tentu bisa kita pahami. Namun, seharusnya JPO-JPO tua lain dan lebih banyak dibutuhkan warga lebih diutamakan.
JPO di Jakarta umumnya sudah sangat berumur sehingga kurang layak dilewati. Lantai jembatan licin dan kerangka besi yang semakin berkarat sungguh membahayakan kalau kita tidak hati-hati.
Bagi warga, yang penting JPO sebagai sarana penyeberangan nyaman, aman, dan dengan konstruksi tangga yang tidak terlalu curam.
A Ristanto
Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Edukasi Penyakit
Beberapa waktu lalu, beberapa teman saya yang terkena serangan stroke terlambat ditangani. Akibatnya fatal.
Keterlambatan dalam penanganan salah satunya karena tidak paham bahwa pada penyakit degeneratif, seperti stroke, diabetes, dan jantung, ada golden time. Makin cepat ditangani, makin cepat pulih.
Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit degeneratif semakin bertambah, bahkan merambah usia muda. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah mengupayakan edukasi dan sosialisasi, tetapi tampaknya belum memadai.
Yang lebih serius lagi dalam masa pandemi ini. Banyak pasien Covid-19 yang menjadi parah, bahkan meninggal, karena punya penyakit degeneratif penyerta atau komorbid.
Untuk itu, diperlukan edukasi lebih aktif, masif, dan terus-menerus agar masyarakat tidak abai. Semoga dengan demikian korban sakit parah atau meninggal akibat Covid-19 juga bisa kita tekan.
Bharoto
Jalan Kelud Timur I, Semarang
Maha
Pak Jonathan R Daud usul agar istilah ”mahasiswa” diganti dengan ”adisiswa”, atau ”siswa” saja. Tentulah itu karena saking ajrih-asih (teramat takut-takut hormat)-nya kepada Allah SWT.
Akan tetapi, istilah ”mahasiswa” itu sudah melekat erat pada kita semua, dipakai sejak Dies Natalis UGM 19 Desember 1945. Sayang.
Lagi pula, kalau ”maha” dalam ”mahasiswa” dibuang, bagaimana dengan ”maha-maha” lain, seperti Mahabharata, Mahameru, Mahayana, Maharsi, Maharani, Mahendra?
Untuk mengungkapkan rasa hormat, khusus bagi Tuhan, ”maha” itu kita tulis dengan ”M” kapital; jadi ”Tuhan Yang Mahaesa”. Karena ”maha” itu bentuk penggabung (combining form)—bukan adjektiva—ia diletakkan di depan dan ditulis serangkai dengan kata yang digabunginya.
Dalam bahasa Jerman, kata ganti orang, orang kedua, tunggal ialah ”du”. Bentuk hormatnya ”Sie”. Namun, ”du” juga bentuk hormat asalkan ”d”-nya kapital; jadi ”Du”.
Inilah tanggapan saya sebagai pencinta (bukan pakar) bahasa Indonesia terhadap usulan Pak Jonathan Daud.
L Wilardjo
Jalan Kasuari, Salatiga 50721