Perlu segera dilakukan penerbitan kartu identitas diri bagi gelandangan. Hal itu amat penting agar para gelandangan yang juga warga negara memiliki akses terhadap program pembangunan.
Oleh
RAZALI RITONGA
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 yang berlangsung hingga kini berpotensi meningkatkan jumlah gelandangan, terutama akibat menurunnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Potensi penambahan gelandangan itu terutama berasal dari pelaku usaha sektor informal yang mengalami kebangkrutan dan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, serta tidak memiliki simpanan dan benda berharga.
Data Kementerian Sosial menyebutkan ada 15.995 gelandangan pada 2019. Angka sebesar itu diperkirakan masih jauh dari realitasnya (under estimate) karena ditengarai ada sekitar 2 persen penduduk global atau sebanyak 150 juta berstatus gelandangan (Backpack.org, 2020). Maka, dengan menggunakan perkiraan sekitar 2 persen itu, jumlah gelandangan di Tanah Air diperkirakan 5,4 juta dari 270,2 juta penduduk Indonesia pada 2020.
Untuk itu, diperlukan upaya serius dari semua pihak, terutama pemerintah, untuk menghambat bertambahnya gelandangan pada masa pandemi, antara lain dengan pemulihan pelaku usaha dan penciptaan kesempatan kerja bagi pekerja yang di-PHK. Sementara itu, untuk menurunkan jumlah gelandangan kronis yang telah lama menggelandang, atau mungkin sepanjang hidupnya menggelandang, tampaknya diperlukan upaya khusus (special treatment).
Hal itu mengingat upaya menurunkan jumlah gelandangan kronis tidak cukup mudah dilakukan. Jajak pendapat Kompas menyebutkan ada tiga faktor utama dari kelemahan penanganan gelandangan selama ini, yakni budaya malas (24,6 persen), program pemerintah tidak terintegrasi antarinstansi (21,0 persen), dan program pemerintah tidak berkelanjutan (18,3 persen).
Instrumen pembangunan manusia
Ditengarai, ketiga faktor utama kelemahan penanganan gelandangan itu saling berkaitan. Gelandangan menjadi malas barangkali bukan sepenuhnya disebabkan oleh perilaku atau budaya, melainkan juga akibat minimnya kapabilitas dan terbatasnya aksesibilitas dalam pasar kerja, antara lain akibat program yang tidak terintegrasi dan tidak berkelanjutan. Hal ini erat kaitannya dengan penyelenggaraan pembangunan manusia yang kurang menyentuh gelandangan.
Diketahui, prinsip utama dari penyelenggaraan pembangunan manusia ialah sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk (a process of enlarging the choices of people) seperti yang diungkap Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen dalam publikasi pertama pembangunan manusia pada 1990. Semakin tinggi pencapaian pembangunan manusia, akan kian memperluas pilihan penduduk dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan.
Akan tetapi, bagi gelandangan, perluasan pilihan untuk melakukan berbagai aktivitas itu amat sempit sehingga banyak pihak menyebut mereka pemalas. Padahal, kurang aktifnya mereka, antara lain, akibat minimnya kapabilitas yang dimiliki sehingga sulit memperoleh pekerjaan dalam pasar kerja.
Lebih jauh, minimnya kapabilitas gelandangan bertalian dengan dua faktor kelemahan lainnya dalam penanganan gelandangan, yakni program pemerintah yang tidak terintegrasi antarinstansi, dan program pemerintah yang tidak berkelanjutan, terutama program pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Integrasi dan keberlanjutan program
Secara faktual, integrasi dan keberlanjutan program pemerintah merupakan syarat mendasar dalam peningkatan kapabilitas penduduk dalam situasi apa pun, termasuk pada masa pandemi Covid-19. Pemerintah perlu memastikan program peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan penduduk sebagai dua faktor utama kapabilitas tidak mengendur.
Dalam konteks itu, kiranya patut disyukuri meski pada masa pandemi Covid-19 tahun 2020 ekonomi mengalami resesi dikuti menurunnya daya beli penduduk, kapabilitas penduduk masih meningkat meski kenaikannya cukup kecil. Rilis BPS tentang indeks pembangunan manusia (IPM) 15 Desember 2020 menyebutkan bahwa standar hidup masyarakat berdasarkan harga konstan 2012 turun dari Rp 11.299 pada 2019 menjadi Rp 11.013 pada 2020.
Namun, penurunan standar hidup layak itu tidak mengendurkan derajat kesehatan dan pendidikan. Derajat kesehatan yang diukur berdasarkan angka umur harapan hidup meningkat dari 71,34 tahun pada 2019 menjadi 71,47 tahun pada 2020. Sementara derajat pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah meningkat dari 8,34 tahun pada 2019 menjadi 8,48 tahun pada 2020, dan harapan lama sekolah meningkat dari 12,95 tahun pada 2019 menjadi 12,98 tahun pada 2020.
Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dijalankan pemerintah pada 2020 tampaknya belum cukup mampu mempertahankan minimal standar hidup layak pada masa pandemi tahun 2020. Meski demikian, program PEN diperkirakan dapat mencegah penurunan lebih dalam dari standar hidup layak penduduk. Bahkan, program PEN yang juga mencakup program perlindungan sosial dapat meningkatkan kapabilitas penduduk.
Maka, program PEN 2020 perlu dijadikan acuan untuk pelaksanaan PEN 2021 sembari melakukan evaluasi secara menyeluruh, terutama pada aspek integrasi dan keberlanjutan program terhadap pembangunan manusia. Bahkan, integrasi dan keberlanjutan program, khususnya pascaprogram PEN, perlu disinergikan dengan Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (SDGs). UNDP (2019) menyebutkan bahwa SDGs merupakan program pembangunan tentang penentuan target yang akan dicapai, sedangkan pembangunan manusia merupakan jalan untuk mencapai target SDGs.
Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa sesuai dengan target SDGs agar tak seorang pun tertinggal (no one left behind) minimal pada 2030, penyelenggaraan pembangunan manusia perlu mengikutsertakan semua penduduk tanpa terkecuali. Dengan cara itu, amat diharapkan tidak ada seorang pun apalagi sekelompok penduduk, seperti gelandangan, yang tidak tersentuh pembangunan manusia.
Hal lain yang perlu segara dilakukan ialah penerbitan kartu identitas diri bagi gelandangan. Kepemilikan identitas diri itu amat penting bagi semua warga negara, termasuk gelandangan, untuk menjamin aksesibilitas terhadap program pembangunan. Sungguh memprihatinkan memang, gelandangan selama ini luput dari berbagai program pemerintah akibat tidak memiliki identitas diri.
Bahkan, kepemilikan identitas diri dan keberlangsungan pembangunan manusia itu amat diperlukan bagi anak-anak dari kelompok gelandangan. Hal ini untuk menjamin mereka dapat mengakses program pembangunan, khususnya pembangunan manusia secara berkelanjutan sehingga dapat memutus generasi berstatus gelandangan. Bagusnya, solusi pengentasan gelandangan melalui pembangunan manusia itu dinilai sebagai suatu program pembangunan yang memanusiakan gelandangan.