Zaman yang sarat kekerasan dan kebencian ini memanggil manusia untuk bertekun mendidikkan, mencontohkan, dan mewujudnyatakan altruisme intinsiknya sendiri, melebihi ketekunan dalam berdagang, dalam menumpuk harta benda.
Oleh
LIMAS SUTANTO
·4 menit baca
Dalam media sosial dapat terjadi penghancuran dan pemusnahan salah satu “sifat luhur bawaan” manusia, yang dalam karya tulis Michael Tomasello, 2009, Why We Cooperate, disebut “altruisme intrinsik”, kebaikan tanpa syarat imbalan, dari seorang manusia bagi liyan, yang sudah dengan sendirinya ada dan mengejawantah sejak masa bayi. Kebaikan manusiawi ini bersifat universal pada anak, tidak diciptakan melalui budaya maupun pelatihan sosialisasi oleh orangtua, setidaknya hingga insan belia berusia tiga tahun.
Walaupun karakter universal kemudian berubah menjadi “khas budaya”, culture-specific, yakni sejak akhir tahun ketiga kehidupan manusia, tetapi altruisme tetap banyak menandai perilaku insani, karena banyak pula budaya di dunia yang menjunjungnya sebagai sebuah nilai, keluhuran, yang perlu.
Peneliti psikologi perkembangan dan perbandingan yang terkemuka itu menunjukkan bukti perbedaan antara altruisme yang dimiliki manusia dan kebaikhatian pada kera. Sejak lahir, manusia sudah sungguh suka menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun; sedangkan kera bersemangat menunjukkan letak penyimpanan perkakas pembuka kotak kepada seseorang, hanya apabila kotak itu berisi makanan untuk dirinya.
Manusia itu altruistis asli sejak semula, sedangkan kebaikan primata lainnya kepada liyan hanya mekar sejauh mereka dapat meraih keuntungan darinya.
Distribusi dusta, kebencian, dan ajakan berbuat kekerasan cenderung menjadi budaya dominan.
Altruisme intrinsik menjadi modal bawaan yang kuat bagi manusia untuk menyelenggarakan kooperasi, kolaborasi, demi menumbuhkembangkan kehidupan beradab. Namun kini baku cerca, penyebaran pernyataan yang mengandung kebohongan, kebencian, dan hasutan kekerasan, begitu banal, menjadi keanehan yang melazim pesat, berlangsung setiap hari, bahkan dilakukan oleh pemimpin dunia, bukan oleh semata-mata “orang biasa”.
Distribusi dusta, kebencian, dan ajakan berbuat kekerasan cenderung menjadi budaya dominan. Manusia dalam media sosial menjelma sebagai makhluk yang maladaptif, menjadi terlalu kompetitif, suka menegaskan perbedaan, menterjadikan pemisahan dan jarak psikososial yang makin melebar dengan sesamanya.
Sistem perilaku kooperatif kolaboratif, yang oleh psikolog pelopor compassion focused therapy, Paul Raymond Gilbert, 1989, digarisbawahi sebagai pola adaptif spesies manusia dalam evolusi, diganti dengan individualistic competitiveness yang menggetolkan manusia meraih dominasi dan kuasa atas sesamanya. Perilaku ini sesungguhnya bersifat maladaptif, mengisruhkan kehidupan dan dunia dengan pengisapan keuntungan yang individualistis dan penguasaan atas liyan.
Kehancuran kemampuan manusia untuk berkooperasi dan berbagi dengan orang lain adalah sebuah masalah kesehatan mental baru yang berbahaya; sungguh berbahaya karena merusak kebaikan bawaan, menghancurkan adab.
Kalaupun skizofrenia, gangguan bipolar, dan gangguan kepribadian ambang, narsisistik, serta antisosial, dianggap sebagai sederet problem mental umat manusia yang terparah, mereka masih tidak seberbahaya kemusnahan altruisme intrinsik, karena pelbagai gangguan mental “klasik” yang berat itu tidak massal, sedangkan individualistic competitiveness yang terus bertumbuh, menggurita, dalam dunia kini, sesudah berinkubasi dalam media sosial, itu senantiasa berjemaah, mewabah.
Pemudaran hingga peniadaan altruisme intrinsik berlangsung dalam media sosial, tetapi hal ini tidak berarti instrumen teknologi informasi itu sendiri yang melakukan penilapan. Menyalahkan media sosial adalah sebentuk keberdalihan yang menyembunyikan maksud jahat.
Kepentingan individualistis yang tidak terkendali, dalam ranah ekonomi, politik, dan budaya, menafikan kooperasi dan kolaborasi. Yang bisa terjadi bukan pengabaian saja; kesengajaan sadar meniadakan altruisme dapat menjadi strategi memenangkan kepentingan picik yang tak terlerai.
Pemusnahan altruisme, kooperasi, kolaborasi, adalah suatu kesalahan kultural yang besar. Dalam kooperasi dan kolaborasi berlangsung penumbuhkembangan dan pemerkuatan reciprocation yang menjadi sumber keadilan dan shared intentionality yang menjamin keutuhan. Tatkala altruisme intrinsik diganti dengan individualistic competitiveness, ketidakadilan mengganas melampaui keadilan, keceraiberaian meluas mengungguli keutuhan. Mahal sekali harga yang harus dibayar.
Resiprokasi adalah hubungan antarmanusia yang kooperatif dan supportive, saling menterjadikan dukungan, yang senantiasa diresapi kesadaran tentang “keseimbangan memberi dan mengambil”, give and take. Relasi ini selalu mengandung kesederajatan di antara anggota-anggotanya, tidak mengizinkan eksploitasi dan ekstraksi, menghadirkan keadilan, menghargai tinggi kompetensi dan kontribusi jauh melampaui apresiasi terhadap kuasa.
Menurut Tomasello, proses psikologis di balik kooperasi antarmanusia adalah “ketertujuan bersama”, shared intentionality, yang dihidupi terus-menerus dengan kemampuan menciptakan “cita-cita bersama” dan “komitmen bersama”. Kehidupan kooperatif ini menyemai tiga perilaku utama yang diejawantahkan oleh para anggotanya: membantu pihak yang sedang dalam kesulitan; memberi informasi yang sahih; dan berbagi kebaikan. Ketiganya merupakan penanda perdamaian.
Kenyataan kehidupan yang diperam dalam media sosial jauh dari ketiga laku pokok altruistis. Yang banyak terjadi hari demi hari di sana justru kebalikannya: mengejek pihak yang berbeda, menyebarkan kabar dusta, mengilhamkan kekerasan, mendistribusikan kebencian.
Zaman seperti ini memanggil manusia untuk bertekun mendidikkan, mencontohkan, dan mewujudnyatakan altruisme intrinsiknya sendiri, melebihi ketekunan dalam berdagang, dalam menumpuk harta benda, dan dalam melakukan pembangunan bendawi. Jika penghilangan altruisme intrinsik melibatkan dunia kebijakan publik, panggilan zaman itu tertuju dengan nyaring ke mereka yang sedang beruntung mendapatkan privilese kekuasaan.