Perginya Sang Penggoda Indonesia
Kita tidak akan lagi melihat guyonan kelas tinggi Prie GS di forum perbincangan sosal-politik ataupun hajatan besar para tokoh.
Pada idiom dan jargon kata-katanya, Prie GS selalu memiliki istilah yang ringan, tetapi mendalam. Ini contohnya, Prie GS menyebut kemampuan menggambar kartunnya hanya bernilai 6, menulis bernilai 8, sedangkan kemampuan bicara memiliki 9. Artinya, ia sadar bahwa talenta awalnya sebagai kartunis cuma pas-pasan, tetapi kemampuan menulis jauh lebih bagus, apa lagi ketika berbicara.
Dari yang semula hanya sebagai kontributor kartun di Pos Kota (Jakarta), hingga menjadi jurnalis tulis di Suara Merdeka (Semarang), akhirnya menjadi public speaking di beberapa lembaga penyiaran, seperti Smart FM, TVRI Semarang, Indosiar, Metro TV, TV One, serta channel Coklat bersama Chandra Malik.
Ketika Indonesia tengah takjub menyaksikan kepintarannya berbicara, tiba-tiba mendung menggelayut pada 12 Februari 2021. Prie GS ”Sang Penggoda Indonesia” berpulang mendadak karena serangan jantung. Almarhum pergi pada hari yang baik, Jumat pukul 06.42, di RS Columbia, Semarang.
Hari itu jenazah meninggalkan rumahnya di Jalan Candi Kalasan Selatan 2 Nomor 1003 untuk diantar ke pemakaman Bergota II. Kalangan seniman, budayawan, serta para jurnalis merasa kehilangan. Kita tidak akan lagi melihat guyonan kelas tinggi di forum perbincangan sosal-politik maupun hajatan besar para tokoh.
Prie GS yang bernama lengkap Supriyanto Gendut Sudarsono lahir pada 2 Februari 1964 di Desa Sukorejo, Kendal. Kekaryaannya mengalami proses ”salto” yang luar biasa sepanjang 35 tahun. Berangkat dari kampung halaman menuju Semarang selepas SMA, tujuan utamanya ingin menjadi mahasiswa.
”Kakak saya yang di Semarang sangat setia terhadap adik bungsunya. Setiap berangkat kuliah dari tempat kos ke kampus IKIP Semarang (kini Unnes), saya diboncengkan sepeda onthel. Saking bangga karena sang adik kuliah di Jurusan Musik Program Diploma 1, kakak selalu ceriwis memberi wejangan hidup sambil terengah menggenjot sepedanya,” tutur Prie suatu ketika.
Sekitar tahun 1986, ia lulus menyandang ijazah diploma. Kepintarannya bermain gitar sering dijadikan kiat pencitraan pada masa muda. Membuatkan lagu para penyair Semarang berdasarkan puisi sang penyair, juga menyanyikan lagu-lagu Ebiet pada acara-acara seni kota. Sembari bermusik, sembari pula terus membuat kartun di sejumlah media.
Sebelum memainkan gitar tersebut, tidak jarang Prie GS memamerkan tulisan tangan GM Sudarta di badan gitar.
Sampai akhirnya Prie diterima sebagai kartunis tetap di harian Suara Merdeka Semarang pada 1987. Sesekali ikut pameran kartun bersama. Saat bertemu GM Sudarta (karikaturis Kompas ketika itu), Prie diberi gitar milik pribadi GM. Ketika gitar itu berada dalam dekapan, kian menambah moncer penampilannya. Sebelum memainkan gitar tersebut, tidak jarang Prie GS memamerkan tulisan tangan GM Sudarta di badan gitar. ”Gitar ini hadiah dari Mas GM Kompas,” katanya sambil meledek penonton dan disambut tawa.
Cepat belajar
Demikianlah Supriyanto GS, masa mudanya di Semarang hampir selalu bersama saya. Sampai hafal benar perangainya, mulai dari obsesi masa depan hingga selera kekasih yang diidamkan. Namun, lompatan demi lompatan ditapakinya dengan ”spektakuler”, justru ketika saya tak lagi bisa mengamati dari dekat. Tahun 2001 kami bertugas di kantor baru mengelola anak perusahaan baru Suara Merdeka. Prie GS menjadi pemimpin tabloid Cempaka dan saya memimpin tabloid Tren.
Prie GS melompat jauh dengan visi yang semakin bergeser. Dari yang semula menulis reportase, berangsur mulai menulis naskah drama radio berseri Opera Simpang Lima hingga naskah drama panggung, seperti Sekolah Unggulan dan Juru Kunci. Dua naskah drama yang disebut terakhir itu bisa dibilang pintu gerbang visi keindonesiaan Prie dalam menggapai gagasan lebih tinggi.
Sekolah Unggulan ditulis dengan guyonan yang liar. Merupakan satire terhadap dunia pendidikan yang terbiasa patuh aturan. Tokoh-tokoh lakon itu berjumpalitan, lucu tetapi korup. Kita menyaksikan pseudo moral yang gagap. Kelulusan seorang siswa bukan melewati verifikasi ilmu, tetapi karena cerdasnya bernepotisme.
Demikian pula juru kunci yang berkisah betapa banyaknya kepentingan para peziarah ketika datang ke pemakaman. Mereka tidak sekadar rindu dan berdoa, tetapi menyuap si juru kunci agar memediasi para arwah untuk membantu hasratnya.
Tulisan-tulisannya selalu dibingkai frame keindonesiaan yang kental. Demikian pula dalam novel serial Ipung (3 jilid tamat). Novel remaja yang ditulis ketika masih bekerja di tabloid Cempaka Minggu Ini. Mengisahkan seorang remaja dalam kondisi susah, tetapi memperjuangkan realitas moralnya dengan sederhana. Novel ini laris manis di toko buku hingga penjualan online, hingga akhirnya pemasaran ditangani sendiri oleh Suha, putri pertama Prie GS.
Tulisan-tulisan tersebut akhirnya mengalami metamorfosis setakar dengan market-nya sebagai public speaking ber-tagline ”Sang Penggoda Indonesia”. Hal tersebut akan kita lihat dari berpuluh judul bukunya yang menggoda. Di antaranya Merenung Sampai Mati (2004), Mari Menjadi Kampungan (2005), Hidup Bukan Hanya Urusan Perut (2007), Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia (2009), hingga Waras di Zaman Edan yang sangat menohok.
Ia menulis sketsa, segala macam persoalan kehidupan, keseharian serta bagaimana menghindar dari kesulitan. Esai-esai itu sangat menginspirasi, setara dengan celotehan langsungnya saat berbincang.
Ia pernah memperbincangkan perusahaan media Suara Merdeka tempat kami bekerja. ”Bayangkan, Dik, kenapa hanya berdagang kertas koran kayak begini, kok, bisa menghidupi ribuan karyawan seanak-pinak? Padahal, cara kerjanya juga guyonan,” Selorohnya. Saya sering dipanggil ”Dik” meski usianya setahun lebih muda dari saya.
”Ini bisnis imanen, Dik. Ternyata keberhasilan sebuah bisnis bukan semata-mata karena kehebatan karyawan dalam bekerja. Derma Suara Merdeka ini sudah sangat besar, bayangkan tukang parkir di depan kantor saja bisa ditarik menjadi karyawan, pembuat minum teh diangkat karyawan tanpa tes.”
Bicaranya berseloroh sambil terpingkal-pingkal, tetapi dirinya sangat sensitif terhadap sekitar. ”Lihat para bos kita itu, pagi-pagi datang naik mobil dengan wajah berkerut penuh beban. Siapa bilang dia lebih bahagia dari karyawan kecil seperti kita?” Saya tertawa.
Ia tak segan mengundang ngopi para sahabatnya di teras rumahnya yang asri.
Sejak muda hingga sekarang, sosok kita ini jarang terlihat di kerumunan santai, seperti di kafe atau obrolan warung kopi. Ia tak segan mengundang ngopi para sahabatnya di teras rumahnya yang asri. Jadwalnya padat sebagai pembicara sehingga sangat berhemat waktu dan tenaga. Bahkan, ketika ada kawan meminta sekadar sambutan di acara mantu, dengan halus Prie wanti-wanti, ”Saya pasti datang jika tidak ada jadwal bicara. Mohon maaf kalau benturan, saya tidak bisa ngrawuhi (datang, Bahasa Jawa).
Suatu kali pada acara E-Talkshow TV One, ia secara serius mengupas pasca-Pemilu 2014. ”Baru saja kita lewati demokrasi pragmatis sekaligus demokrasi romantis. Demokrasi pragmatis, kita mengambil kesempatan yang memungkinkan. Namun, demokrasi romantis terjadi, ketika akan masuk bilik pencoblosan, tiba-tiba melihat seorang caleg tetangga kita yang hendak mencoblos dengan wajah tidak gembira. Nah, kita coblos juga dia.” Prie GS menjadi bintang di antara narasumber di sana. Karena realitas pahit dikemukakan dengan gembira.
Seperti menertawakan diri sendiri yang secara emosional tidak terlibat. Ia bicara lepas tanpa pretensi dan tidak berpihak. Itulah Prie GS. Pasti kita akan terngiang-ngiang oleh ledakan tawanya. Kini ”Sang Penggoda Indonesia” telah tiada. Tidak akan lagi terlihat obrolan live-nya setiap sore di akun Facebook dengan rubrik ”Kau bertanya, Prie GS menjawab”.
Hanya berkaus oblong dan berpec,i ia bicara, ”Korona mengajari kita untuk tidak berharap secara semena-mena dan bernyaman-nyaman seperti biasa. Ini adalah karunia Illahi untuk kita,” tuturnya.
Selamat jalan Mas Prie, selamat bermetamorfosis di alam yang lain sesudahnya.
(Handrya Utama adalah kolumnis, Ketua Dewan Kesenian Semarang dan sahabat Prie GS)