Kini, pada zaman covid-19, kita sudah betul-betul maju. Biar kian banyak orang diberitakan mati, tidak jadi masalah. Klik-klik. Ada aneka rumus siap pakai, yang cocok, tanpa kesalahan ortografi, dan bagi semua agama.
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Anda pasti memakai hape, kan? Seperti saya, ketagihan terus untuk membuka-tutup kotak pesannya. Pindah berita, pindah orang, pindah grup. Klik-klik terus. Itulah pasti sebabnya Anda lebih jarang membaca koran Kompas, kan? Termasuk kolom yang membuat saya cukup tenar ini.
Namun, bukankah Anda juga mual dengan berondongan berita dan opini yang tiada henti bermunculan di media sosial (medsos). Mual, bahkan kadang-kadang marah, seperti saya menjelang membuat tulisan ini. Setelah nge-klik di hape, saya menerima “pesan” berupa meme yang menampilkan video seorang perempuan berbaring seolah tidur di kasurnya…, tetapi kasur tersebut tengah dihanyutkan air bah.
Melihat awal adegan itu, saya menanti ‘gelak tawa’, tetapi tidak datang. Kasur terlihat hanyut menjauh. Apakah wanita ‘tertidur di kasur’ itu adalah korban air bah. Satu mayat lagi menuju muara maut di mulut sungai, atau apakah dia sekadar metafora tentang dahyatnya air yang murka, atau keduanya.
Apapun halnya, saya tidak tertawa. Selama ini, yang biasanya absurd adalah hidup. Kini yang absurd adalah maut. Bukan karena berada di sungai, tetapi karena jadi kabar viral banal tanpa disertai berita, yakni makna yang sesungguhnya.
Sang Maut kini memang menggejala. Ada yang mati sakit biasa, ada yang kena covid-19 tak bisa bernafas, lalu meninggal di tengah bunyi gresak-gresik plastik yang membungkusinya.
Banyak kematian, memang. Akan tetapi di medsos, maut yang sebenarnya tragis ini selalu menyelusup dengan cara tersendiri, sebagai klik-klik, ia seolah-olah kehilangan makna kehadirannya, karena tak jelas bedanya antara kesedihan dan kepura-puraan rasa.
Bisa jadi, misalnya, seorang teman di medsos meminta kita berdoa demi keselamatan pamannya yang sekarat di rumah sakit kota nun jauh disana. Covid-19, katanya. Kita lalu merasa wajib berlagak prihatin. Tetapi apakah kita akan sungguh berdoa? Tidak! Tidak ada waktu untuk itu. Paling-paling kita akan mengirim pesan ‘jadi’: “turut mendoakan keselamatan paman”.
Lalu kita segera berpindah topik, karena harus menanggapi berita yang lagi hot, dari teman medsos lain, yang kali ini menjanjikan tawa atau berahi digital. Oleh karenanya, nasib sang paman sekarat tadi dibiarkan ditelan ketakpedulian aliran medsos.
Memang bisa jadi bahwa ‘paman’ kawan kita itu akhirnya meninggal, betapa pun banyak pesan ‘doa medsos’ yang telah dialamatkan kepadanya. Begitulah. Kalau sudah begini, tibalah saat untuk betul-betul “sedih”. Sedih ala medsos, tentu saja. Tidak terlalu sulit.
Cukup meminta tolong pada "Mbah Google" yang serba bisa itu. Kalau almarhum adalah orang Katolik, mudah sekali. Cukup dua klik saja: langsung muncul ‘25 Ucapan Bela Sungkawa Turut Berduka Cita dalam Agama Katolik’. Siap pakai dipindah ke WA. Klik-klik. Bahkan bisa dicari dalam versi Bahasa Inggris.
Lalu bagaimana bila almarhum adalah orang Islam? Jangan khawatir: \'"Mbah Google" tidak pernah berkeyakinan tunggal. Dua klik saja dan dia sudah menawarkan pernyataan duka ‘yang sedalam-dalamnya’ di dalam Bahasa Arab, aksaranya latin. Bila dianggap kurang sreg, dia juga mampu menawarkan rumus duka yang sama dengan huruf Arab yang cantik itu. Soal menuju surga lebih ampuh, kan? Klik-klik. Dikirim. Sudah. Beres!
Kini, pada zaman covid-19, kita sudah betul-betul maju. Biar kian banyak orang diberitakan mati, tidak jadi masalah. Klik-klik. Ada aneka rumus siap pakai, yang cocok, tanpa kesalahan ortografi, dan bagi semua agama. Tujuannya tunggal: membantu mengirim balik arwah almarhum ke Penciptanya.
Kalau perlu rasa sedih, kadar emosinya dapat dipilih di daftar emotikon yang dibuat khusus untuk tujuan itu: mau terlihat berlinang-linang air matanya? Ada. Klik klik. Mau terlihat tengah mengheningkan cita, kayak orang ingin Manunggal Kawula Gusti? Ada juga, klik klik.
Bahkan, kalau emosi ingin dilihat lebih intens lagi, tinggal klik berulang hingga tiga atau empat kali. Hebat. Servis memuaskan. Absurd juga.
Namun, apakah kita tahu, di dalam klik-klik di atas, Sang Maut tetap melayang-layang di angkasa siap setiap saat untuk menyambar kita. Apakah kita juga menyadari, bahwa Sang Mata Tunggal, sudah paham sepaham-pahamnya arti semua absurditas itu.