Meskipun panggung Imlek berikut kerumunan ditiadakan gara-gara wabah, ekspresi kebudayaan Tionghoa tetap dihormati, tak bisa dimatikan oleh Covid-19.
Oleh
HERI PRIYATMOKO
·5 menit baca
Virus korona menerjang segala aspek kehidupan. Siapa sangka, ritual budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun ikut ”dicaplok” alias berhenti gara-gara Covid-19 kian hari kian merunyak. Jika tahun kemarin Grebeg Sekaten warisan agung Kerajaan Demak itu ditiadakan, kini giliran perayaan Tahun Baru Imlek tak dihelat dengan gegap gempita.
Lihat saja di Kota Solo, misalnya, tiada gapura dan lampion pating grandul menambah keanggunan kawasan Pecinan, Pasar Gedhe. Biasanya ribuan manusia juga menyemut menonton Grebeg Sudiro yang mengusung semangat harmonis lintas etnis tersebut.
Kini, tak dijumpai pemandangan perahu kecil mengangkut penumpang menyusuri Sungai Pepe yang menjadi halaman depan ruko (rumah toko) di Pecinan. Publik tak lagi bisa berdayung sampan dan menerbangkan imajinasi historis bagaimana tukang perahu dari telatah Gresik periode abad XVIII membawa garam dan ikan masuk ke pasar melalui bibir Bengawan Solo melewati jembatan gantung.
Kehadiran komunitas Tionghoa di kampung halaman Presiden Joko Widodo dipicu maraknya perniagaan di Pasar Gedhe tempo itu. Mereka menenun relasi dengan masyarakat lokal tanpa tercerabut dari akar budaya asal. Tradisi Imlek teguh dipeluknya berabad silam kendati hidup dalam dominasi budaya Jawa keraton. Jarak antara pusat kebudayaan istana dan ruang sosial Pecinan hanya sepelemparan tombak.
Dari penelusuran data sejarah (heuristik), saya mendapatkan secuil bukti berharga tersurat dalam Bromartani yang terbit pada 1 Maret 1883. Jurnalis surat kabar pribumi terlawas di Jawa tersebut memotret perilaku masyarakat bangsa China yang merawat tradisi Ciyak Guwik saban tanggal 15. Perayaan kultural yang sohor disebut Cap Gome ini digelar saat hari mulai meremang.
Kelompok Tionghoa dari segala lapisan sosial, umur, dan jender berjalan bersama semalam suntuk tidak tidur. Sewaktu Cap Gome tiba, semua warga Tionghoa mencari hiburan di daerah Manahan, Jebres, Bacem, dan Jurug. Keriangan dan kebahagiaan terpancar pada diri komunitas Vremdeoorstelingen (timur asing) tersebut.
Tak jarang selama ini ingatan kolektif tentang Tionghoa, terutama di Surakarta, dilukiskan kurang sedap. Di daerah yang pernah dijuluki ”kota konflik” tersebut memang pernah terjadi kerusuhan etnis. Label buruk ditempelkan kepada Tionghoa sebagai kelompok luar, liyan, atau out grup. Agaknya diperlukan narasi sejarah untuk penyeimbang (kalau tidak bisa menghapus stigma negatif). Dalam konteks ini, saya teringat kisah historis pujangga terkemuka Ki Padmasusastro (1841-1926) yang penting dikabarkan ke publik.
Suatu hari, Ki Padmasusastro tersandung masalah dengan Cina mindring. Tempo doeloe, salah satu profesi komunitas Tionghoa adalah mindring atau memberi utang dengan bunga yang mencekik. Tidak tersedia data mengapa lelaki yang kemudian hari bernama Padmosusastro itu harus berutang dengan Tionghoa. Apakah gajinya sebagai pangreh praja kurang untuk menopang kebutuhan hidup.
Kenyataan ini sebetulnya bisa ditengok dari kebiasaan priayi di masa silam yang gemar njaga praja atau mengedepankan gaya hidup meski kondisi dompet menipis. Mereka berfoya bersama priayi lainnya di societeit atau ruang pertemuan komunitas dengan menggelar judi, bersantap enak, omben-omben (menenggak minuman keras), menikmati tayub, dan lainnya. Tuntutan gaya hidup begitu tinggi sehingga banyak priayi rela berutang kepada Tionghoa.
Sengketa Padmosusastro dengan Cina pengutang berlanjut ke meja hijau. Di ujung waktu, pihak Tionghoa memenangi kasus tersebut. Perkara hukum membuat Padmosusastro memilih keluar dari pekerjaan pangreh praja di Kepatihan, padahal telah mapan secara sosial dan ekonomi.
Mencuat sikap jantan dan mempertahankan harga diri dipamerkan Padmosusastro di hadapan publik. Ia emoh menyembah, hipokrit, serta menjilat kepada penguasa atau atasannya demi pekerjaan. Tersirat betapa tingginya harga diri Padmosusastro, tidak mau memelorotkan martabat dan mengemis ampunan walau kariernya sebagai abdi dalem tamat.
Justru tantangan hidup dan kelapangan jiwa Padmosusastro teruji di sini. Alih-alih menuntut balik dan menyemaikan dendam kesumat terhadap kelompok etnis lain, dirinya malah berlagak seperti sosiolog merumuskan karakter positif komunitas Tionghoa. Dikatakan bahwa orang Cina memiliki ketelatenan dan keuletan dalam menyambangi para pengutang untuk membayar cicilan yang harus dilunasi (mindring). Lambat laun bunga pengutang menumpuk banyak dan utang belum diberesi. Kaum pribumi terjerat utang, memperkaya pemberi utang.
Lantas orang Cina naik menjadi pedagang dengan cara memutarkan uang berbunga tinggi. Padmosusastro tanpa tedeng aling-aling membandingkan, wong Jawa kurang bersedia menderita lebih dulu dalam pengendalian nafsu dan merasa enak-enak saja saat kekurangan sandang pangan. Mudah menderita lantaran kurang ulet dan telaten. Etos kerja orang Jawa dipandang lembek, kalah dibandingkan Cina singkek.
Setelah keluar dari istana Kasunanan dan melanglang buana, Padmosusastro diminta mengurusi perpustakaan di kompleks Kebon Raja (Sriwedari). Dia juga mengajar bahasa, kesusastraan, dan pengetahuan menulis tatkala pindah ke Jatinom Klaten untuk mendirikan kursus perihal bahasa dan kesusastraan.
Bak pujangga India, Rabindranath Tagore, yang mengajar para murid beratap dedaunan, dia mengajar siswanya hanya di kebun dipayungi pepohonan yang meneduhkan. Barisan murid tak hanya dari kalangan Jawa, tetapi juga dari Tionghoa. Bahkan, beberapa dari mereka sukses menjadi pengarang, seperti RP Partohardjo, Djie Siang Ling, Wignjohardjo, dan Martodarsono.
Bersedia mendidik murid Tionghoa menjadi bukti bahwa Padmosusastro tidak membangun sentimen atau merawat dendam dengan liyan kendati pernah punya pengalaman pahit terjerat Cina mindring sampai dirinya keluar dari pekerjaan sebagai pangreh praja.
Waktu menggelinding cepat, interaksi sosial masyarakat lintas etnis terus teranyam. Ada pemandangan apik di kampung Balong, Solo. Di situ sudah lama terjadi akulturasi dan pembauran yang bagus antara Jawa dan Tionghoa. Bahkan, perkawinan campuran antarmereka (amalgamation) dianggap salah satu faktor yang paling menguntungkan dalam mempercepat proses asimilasi.
Penghuni Pecinan, setelah kepemimpinan Gus Dur, memperoleh angin segar memamerkan kekayaan budaya yang berasal dari negeri asal leluhur di atas panggung. Kini, panggung berikut kerumunan itu ditiadakan gara-gara wabah. Akan tetapi, ekspresi kebudayaan Tionghoa tetap dihormati, tak bisa dimatikan oleh Covid-19.
(Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma)