Jika menggunakan bangunan tripusat Ki Hadjar Dewantara, maka alam keluarga, alam perguruan dan alam pemuda adalah hal yang paling penting diperhatikan untuk menginternalisasikan berbagai nilai tersebut.
Oleh
ANGGI AFRIANSYAH
·5 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Anak-anak Suku Baduy Luar di Kampung Kadujangkung, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (8/8/2019), gembira berhasil merakit lampu solar. Para anak Suku Baduy Luar mendapatkan kiriman lampu solar dari kegiatan #BerbagiTerang Goes To Baduy yang jadi bagian program Olimpiade Sains Kuark 2019.
Kemmis dan Edwards-Groves (2018) dalam buku Understanding Education menyebut pendidikan memiliki tujuan ganda. Menurut keduanya, pada satu sisi pendidikan bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan individu dengan pengetahuan, kemampuan, dan karakter untuk menjalani kehidupan yang baik, yaitu hidup yang berkomitmen untuk kebaikan bagi umat manusia. Sementara pada sisi lainnya pendidikan bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan masyarakat yang baik, di mana kebaikan bagi umat manusia adalah nilai utamanya.
Sementara itu, jika merujuk pemikiran Hannah Arendt, dari sudut pandang berbeda menyebut, pendidikan adalah sarana untuk mencapai otonomi pribadi melalui pelaksanaan penilaian independen, mencapai kedewasaan melalui pengakuan orang lain sebagai sederajat tetapi berbeda, mendapatkan rasa kewarganegaraan melalui asumsi hak dan tanggung jawab sipil, dan menyadari potensi penuh sebagai makhluk hidup dengan kapasitas untuk berkembang dan bahagia.
Lebih lanjut Arendt menyebut pendidikan menopang dan mengembangkan kapasitas manusia untuk berpikir bersama, untuk berpikir untuk diri sendiri, dan untuk berpikir dari sudut pandang orang lain (Jon Nixon, Hannah Arendt: The Promise of Education, 2020).
Dalam konteks keindonesiaan, catatan Ki Hadjar Dewantara (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2013) yang menyebut pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak sebagai hal yang menyeluruh menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.
Penegasan lain yang selalu diutarakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah pentingnya anak-anak didekatkan dengan perikehidupan rakyat, bukan semata dalam tataran pengetahuan tetapi juga pengalaman bersama dengan masyarakat.
Kompas/Wawan H Prabowo
Para murid kelas 8 SMP Negeri 1 Pandawai Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menyimak penjelasan guru mereka di rumah warga di Desa Watumbaka, Pandawai, Sumba Timur, Rabu (3/2/2021). Para murid dan guru menjadikan tempat tersebut sebagai titik kumpul dalam pembelajaran luring atau luar jaringan selama pandemi Covid-19. Para guru di SMP Negeri 1 Pandawai dalam satu hari harus pergi ke 5 hingga 6 titik kumpul untuk bertemu para muridnya. DI titik kumpul tersebut, para siswa menerima modul materi untuk dipelajari secara mandiri di rumah dan mengumpulkan tugas yang diberikan oleh guru. Selama pandemi Covid-19, para siswa dan guru di SMP Negeri 1 Pandawai tidak bisa menerapkan pembelajaran secara daring atau dalam jaringan karena tidak memiliki gadget dan sinyal jaringan internet yang terbatas.
Sementara itu, M. Syafei, pendiri INS Kayutanam, dalam pidatonya menyebutkan pendidikan yang mesti diberikan kepada anak-anak adalah pendidikan yang membentuk sikap pribadi yang kuat, agar anak-anak dapat hidup dari kemampuannya sendiri, tidak mengejar diploma (gelar) dan bergantung padanya (A.A. Navis, 1996). Paparan tersebut jauh lebih awal dari apa yang disampaikan oleh Ronald Dore (1976) dalam bukunya The Diploma Disease: Education, Qualification and Development.
Romo Mangunwijaya dalam Sekolah Merdeka (2020) menyebut proses pendidikan harus diarahkan pada proses emansipasi para mitra didik. Maka, dalam pandangannya ada tiga sasaran emansipatorik yaitu manusia yang eksplorator, manusia kreatif dan manusia integral. Hal penting lain adalah memberi pemahaman kepada anak-anak tentang dunia dan kehidupan yang kompleks.
Berbagai perspektif tersebut menunjukkan tujuan pendidikan dalam konteks yang paradigmatik, melampaui aspek pragmatis serta teknikal administratif seperti yang banyak mewarnai dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Apalagi, dalam banyak konteks sepertinya dunia pendidikan di Indonesia lebih banyak fokus pada porsi penyiapan pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja.
Di sisi lain arena pendidikan di Indonesia masih dihinggapi persoalan keterbatasan akses pendidikan bagi warga miskin, intoleransi, perundungan, kapasitas guru, dan belakangan permasalahan pembelajaran di masa pandemi yang belum dapat dipenuhi dengan optimal.
Jika merujuk pada situasi empirik, berbagai upaya masih terus dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan formulasi yang tepat mengenai pendidikan yang tepat bagi seluruh anak bangsa. Pertanyaan mendasar yang kemudian diajukan dalam konteks ini adalah siapa manusia, jika meminjam terminologi dari Mochtar Lubis (1977), yang hendak dikonstruksi melalui pendidikan?
Kompas/AGUS SUSANTO
Penjual buah keliling melintas di depan mural keberagaman di kolong jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (7/8/2020). Kreativitas seni digunakan untuk menanamkan semangat hidup bersama dalam keberagaman, toleransi dan menghormati perbedaan yang harus secara konsisten disuarakan untuk menumbuhkan kebersamaan dalam membangun karakter bangsa, khususnya generasi muda.
Dahulu kita mengenal istilah membangun Manusia Pancasila, manusia seutuhnya dan istilah lainnya. Belakangan kita mendengar istilah membangun sumber daya manusia (SDM) unggul. Penggunaan terminologi SDM cendrung bias ekonomi yang memposisikan manusia sebagai bagian dari objek pembangunan.
Imajinasi manusia Indonesia
Upaya menjawab siapa manusia Indonesia ini menjadi sangat penting dilakukan. Sayangnya, pertanyaan seperti itu cenderung tidak menjadi bahasan utama dalam ruang pendidikan di Indonesia. Apalagi, berbagai kebijakan pendidikan cenderung sangat teknikal dan administratif.
Selain itu, meminjam itilah yang dikemukakan Foucault (1972), dalam pendidikan di Indonesia sangat nampak discontinuity baik dari aspek paradigmatik, kebijakan, peta jalan pendidikan, maupun berbagai teknis administratif lainnya. Tidak ada kebijakan pendidikan yang sifatnya jangka panjang dan konsisten dalam praktik. Sehingga, tujuan pendidikan tidak pernah optimal terjawab, sebab ketika terjadi pergantian kepemimpinan, berganti pula kebijakan pendidikan.
Imajinasi manusia Indonesia dapat ditilik dari tujuan pendidikan di Indonesia. Jika merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Sementara itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007) ditampilkan manusia Indonesia yang hendak dikonstruksi yaitu terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.
Kodim 1701/Jayapura
Tampak kegiatan menggambar simbol Pancasila oleh 3.700 pelajar di Stadion Mandala Jayapura, Jumat (1/12/2017).
Sementara itu, saat ini Kemendikbud berupaya untuk membangun enam Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; gotong royong; mandiri, bernalar kritis, kreatif.
Pemerintah pun telah membuat berbagai dokumen dalam konteks pembangunan karakter seperti Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 (2010), Peta Jalan Penguatan Pendidikan Karakter (2017), maupun melalui regulasi Peraturan Presiden No. 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Berbagai agenda strategis berupaya diwujudkan melalui aturan maupun dokumen tersebut. Namun, dalam tataran implementatif, nampak berbagai upaya tersebut belum terealisasi secara efektif.
Nilai-nilai yang coba diinternalisasikan masih terlihat berada di awang-awang dan belum menjejak dengan kokoh di dunia pendidikan. Pekerjaan rumah yang paling besar adalah bagaimana membumikan nilai-nilai tersebut dalam keseharian. Jika menggunakan bangunan tripusat Ki Hadjar Dewantara, maka alam keluarga, alam perguruan dan alam pemuda adalah hal yang paling penting diperhatikan untuk menginternalisikan berbagai nilai tersebut.
Sementara Tilaar menyebutnya sebagai pancapusat yaitu melalui keluarga, sekolah, masyarakat, negara dan global. Dan yang patut diperhatikan saat ini adalah alam digital atau maya, di mana anak-anak mendapatkan ‘pendidikan-non formal’ melaui beragam media sosial.
(Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI)