Untuk mewujudkan reformasi dan inovasi kebijakan sosial membutuhkan terobosan dengan menyingkirkan kendala-kendala yang selama ini terjadi, mulai kendala fiskal, kendala kelembagaan dan kendala politik.
Oleh
ACHMAD MAULANI
·5 menit baca
Kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menyeret mantan Mensos Juliari P Batubara adalah tindakan brutal. Korupsi bansos tersebut juga menegaskan pentingnya pembenahan serta inovasi di seluruh lini kebijakan sosial yang dilahirkan negara, tak terkecuali dalam skema program bantuan soial.
“Tuhan tak pernah menganugrahi negarawan atau filsuf, atau siapa pun, dengan cukup banyak kebijaksanaan untuk merumuskan sistem pemerintahan yang bisa langsung dijalankan semua orang begitu saja”, tulis mantan presiden AS Benjamin Horrison. Di situlah pentingnya sebuah tata kelola dan inovasi yang membingkai sebuah kebijakan.
Seperti dikatakan Levitsky dan Ziblatt (2020; 81-82) bahwa seringkali perangkat peraturan itu memiliki kesenjangan, celah, serta ambiguitas yang menimbulkan banyak penafsiran. Dalam keadaan demikian, kekuasaan yang berada ditangan pemimpin atau pemegang kebijakan dapat digunakan dengan cara-cara yang merusak hukum.
Dalam konteks pengelolaan program bansos, inovasi serta tata kelola diharapkan mampu mengantisipasi semua kemungkinan kontingensi serta menentukan bagaimana menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi. Inilah yang dalam gagasan Levitsky dan Ziblatt disebut dengan pagar lunak demokrasi, yakni sebuah aturan, norma atau instrumen lain yang berfungsi mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran atas aturan main yang telah disepakati bersama.
Karena itu gagasan dan perbincangan yang sesungguhnya lebih penting untuk mendapat perhatian adalah membangun tata kelola, inovasi serta reformasi dalam kebijakan sosial (social policy). Merumuskan sebuah inovasi dalam kebijakan sosial jauh lebih penting dari sekedar mereplikasi program-program normatif bantuan sosial.
Inovasi dalam kebijakan sosial menjadi pintu masuk yang strategis karena kebijakan sosial sesungguhnya punya tujuan yang lebih luas dari sekadar penanggulangan kemiskinan. Cakupan kebijakan sosial meliputi penciptaan dan distribusi kesejahteraan dalam makna yang lebih luas. Hal ini berbeda dari bansos yang memang hanya bertujuan untuk menjadi pelampung dan pelapis yang mampu menekan angka kemiskinan semata, terlebih di saat pandemi seperti saat ini.
Pasca kasus korupsi bansos Covid-19, pemerintah tampaknya hendak merubah skema bansos dengan harapan celah korupsi bisa disumbat dan diminimalisir. Skema bansos pun kemudian dirubah menjadi 3 (tiga) skema; Bantuan Sosial Tunai (BST), Program Keluarga Harapan (PKH); Bantuan Sembako. Melalui ketiga skema tersebut angka kemiskinan diharapkan bisa lebih ditekan dan ekonomi kelompok bawah bergeliat.
Sebagai salah satu model jaring pengaman sosial, model-model skema bansos di atas tentu diharapkan mampu menjadi katup pelampung persoalan kemiskinan. Program PKH ditargetkan menyasar 10 juta KK dengan anggaran Rp 28,7 triliun, program BST 10 juta KK dengan anggaran Rp 12 triliun, dan program Bantuan Sembako menyasar 18,8 juta KK dengan anggaran Rp 45,12 triliun.
Persoalan yang lebih fundamental sesungguhnya adalah, jika ditelaah, ketiga skema bansos dengan total anggaran Rp 85,82 triliun tersebut tak jauh berbeda dengan model-model bansos pada masa lalu. Nyaris tak ada inovasi dalam melahirkan kebijakan sosial yang berdampak jangka panjang dan fokus pada penciptaan kesejahteraan secara lebih luas.
Tak ada perubahan fundamental. Semua hanya berganti nama tanpa mengubah subtansi. Pada masa dahulu kita mengenal program-program seperti BLT, PNPM, Raskin, PKH dan lain-lain. Kita tentu tidak alergi dengan program-program semacam itu sepanjang ia punya kemanfaatan menyantuni kelas-kelas sosial rakyat yang dipangku negara.
Hanya saja, anggaran bansos sebesar Rp 110 triliun pada tahun 2021 tentu harus menjadi akselerasi pemulihan dan transformasi ekonomi pasca pandemi. Program bansos juga harus dipastikan bukan kebijakan penanggulangan kemiskinan berorientasi proyek (project oriented), bersifat sementara dan parsial. Ragamnya bentuk bansos juga tak boleh memunculkan “perang klaim wilayah” antarkementerian/lembaga.
Dalam konteks semua itulah pentingnya negara mengembangkan gagasan tentang kebijakan sosial. Penekanan utamanya bahwa kebijakan sosial punya makna yang lebih luas dari sekadar pengurangan kemiskinan. Sementara inovasi dalam kebijakan penting dilakukan agar sebuah kebijakan tidak hanya replikasi, sehingga konsolidasi program penanggulangan kemiskinan lebih terpadu dan berkelanjutan sehingga berdampak lebih besar.
Sebuah negara yang mengikrarkan diri bahwa keadilan sosial adalah cita-cita utama yang hendak dicapai, maka ia harus menjadikan kebijakan sosial sebagai instrumen pentingnya. Hadirnya kebijakan sosial akan mengoptimalkan pencapaian keadilan dan kesejahteraan sosial bagi warga negara dengan menekan tingkat kemiskinan, memperbaiki standar kehidupan, menjamin ketersediaan skema perlindungan terhadap resiko-resiko sosial, serta mewujudkan kondisi kerja yang layak.
Di situlah sebuah kebijakan sosial sesungguhnya merupakan instrumen kebijakan yang bisa digunakan untuk memastikan bahwa setiap warga negara bisa mendapatkan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, perlindungan sosial, dan berbagai tunjangan sosial lainya.
Bencana Covid-19 ini sesungguhnya menjadi tolak ukur yang paling nyata bagaimana negara hadir dan menyiapkan pola serta model kebijakan sosial bagi rakyatnya, terutama mereka yang tersisih dan paling terdampak.
Dalam jangka pendek, penggelontoran berbagai program bansos, terutama bantuan tunai, boleh jadi tepat karena ia akan menjadi salah satu penyangga bergeraknya roda ekonomi. Tetapi dalam jangka panjang, kebijakan sosial yang sifatnya “karitatf” dan targeted (kelompok tertentu saja) selayaknya hanya diberikan saat keadaan “darurat” saja seperti saat pandemi.
Tantangan Indonesia ke depan adalah membangun sebuah kebijakan sosial dengan cakupan yang luas dan terlembaga. Reformasi dan inovasi arah kebijakan sosial seperti itu dapat dilakukan melalui berbagai langkah.
Pertama, negara harus menjadikan paradigma kesejahteraan umum (bonum commune) sebagai mainstream setiap kebijakan pembangunan. Karena itu setiap kebijakan harus disusun cermat, terlembaga, tidak tumpang tindih, tidak saling menegasikan program lain, dan dikelola secara profesional. Kebijakan yang diambil tidak boleh hanya berupa patahan-patahan proyek yang bersifat parsial.
Kedua, harus ditegaskan bahwa kebijakan sosial sama pentingnya dengan kebijakan ekonomi. Karenanya, alokasi anggaran bidang kesejahteraan sosial harus berkelanjutan. Alokasi minimal 2 persen PDB adalah anggaran yang layak mendukung kebijakan sosial bagi kesejahteraan dan stimulus pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, sebagai bentuk inovasi dan reformasi, sudah saatnya negara merintis sebuah kebijakan yang bersifat universal. Model ini bersifat jangka panjang. Model bansos yang bersifat targeting selama ini banyak memiliki persoalan dalam pencapaian sasaran di lapangan.
Terahkir, sebuah kebijakan sosial harus mempertimbangkang prinsip subsidiaritas. Maknanya, pemerintah harus mendukung berbagai inisiatif yang berkembang dalam masyarakat untuk terus berkembang, bukan malah mematikannya.
Mewujudkan reformasi dan inovasi kebijakan sosial seperti di atas membutuhkan terobosoan dengan menyingkirkan kendala-kendala yang selama ini terjadi, mulai kendala fiskal, kendala kelembagaan dan kendala politik. Dengan itu semua, sebuah kebijakan sosial akan bisa terwujud menuju pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial. Semoga
(Achmad Maulani, Doktor Sosiologi Universitas Indonesia, PP Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)