Tahun baru Imlek identik dengan kepedulian. Rumah-rumah ibadah membagikan makanan, pakaian, angpao, makan bersama, dan lain-lain. Dalam situasi ini, meski kita harus hati-hati, kepedulian sosial tetap kita lakukan.
Oleh
BUDI S TANUWIBOWO
·6 menit baca
Xiao atau ’laku bakti’ adalah salah satu ajaran paling pokok dan mendasar dalam agama Khonghucu. Setiap insan yang dilahirkan di dunia harus tahu berterima kasih kepada mereka yang telah menanam jasa baginya. Dimulai dari yang paling dekat dan utama, orangtua, sampai meningkat ke level keluarga, masyarakat, institusi, bangsa, negara, dan semesta raya.
Namun, selaras prinsip bermula dari dekat menuju jauh, dari tempat rendah menuju tinggi, dari satu titik menjadi garis, bidang dan ruang, Kongzi, Confucius atau Nabi Khongcu menekankan tahapan yang paling mendasar dulu, yaitu berbakti di lingkup yang terkecil.
Mustahil bisa menyelesaikan hal besar jika mengatasi persoalan kecil saja belum mampu. Prinsip yang ditekankan adalah: hormat kepada senior, penuh kasih sayang kepada yang yunior, dan dapat dipercaya oleh sesama. Ini nantinya harus dikembangkan, mendalam, dan meluas tanpa henti.
Dalam skala yang lebih luas, hubungan timbal balik ini harus dikembangkan tidak saja antara anak dan orangtua, tetapi juga adik-kakak, kawan-sahabat, istri-suami, rakyat/staf dan pemimpinnya. Di samping perlunya rasa saling percaya,tentu terkait ketulusan, kejujuran, hormat, dan kasih sayang, prinsip yang paling penting adalah timbal balik, tidak sepihak. Dan, yang berada di hierarki lebih tinggi wajib yang memulai.
Jangan berharap anak berbakti kepada orangtua kalau selalu diperlakukan kejam, bengis, jauh dari kasih sayang. Jangan mimpi pemimpin dicintai, dihormati, ditaati rakyatnya, kalau semena-mena nirkeadilan.
Orangtua, terutama ibu-bapak, adalah sosok yang paling ditinggikan dalam keluarga Khonghucu. Mereka dianggap wakil Tuhan di dunia. Maka, orangtua harus bisa mewakili, merepresentasikan sifat Tuhan yang penuh kasih, adil, dan melayani. Sebagai timbal baliknya, anak wajib hormat dan berbakti kepada orangtuanya. Zaman dulu anak yang dianggap buxiao, ’tidak berbakti’, bisa diasingkan oleh lingkungannya.
Banyak pokok laku bakti yang dianjurkan Kongzi, seperti kewajiban menjaga nama baik keluarga, merawat orangtua dengan baik sampai akhir hidupnya, dan meneruskan cita mulia orangtua. Namun, salah satu yang penting untuk tidak mengatakannya yang paling penting di masa pandemi Covid-19 ini adalah seperti yang tertulis dalam Kitab Xiaojing I, 4, agar kita senantiasa menjaga dan merawat keselamatan tubuh, dari rambut sampai kulit, dari ujung kepala sampai kaki.
Covid-19
Covid-19 yang semula diremehkan, dianggap ilusi, tidak ada, olah rekayasa, jauh dan samar, nyatanya kini hadir dan bahkan mulai mengetuk pintu kamar kita. Semakin dekat, semakin banyak korban, serta semakin cepat dan berbahaya. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi pribadi-pribadi untuk waspada, hati-hati dan disiplin menjaga warisan orangtua yang sangat berharga. Tidak saja soal tubuh fisik, tetapi juga nyawa. Tidak terbatas nyawa kita, tetapi juga nyawa orang-orang yang kita sayang dan cinta.
Dalam salah satu ayat, Kongzi memberikan nasihat, ”Jangan berdiri di samping tembok yang miring retak. Ingat sifat alam.” Tuturnya lebih lanjut, ”Kepada tunas yang mau bertumbuh, dibantu tumbuh. Kepada pohon yang condong miring, dibantu roboh. Tatkala hari mau hujan, burung-burung sibuk menambal sarangnya yang bocor. Kalahkah kita, manusia, oleh seekor burung?”
Dari paparan ayat-ayat di atas jelaslah bahwa Tuhan memberikan karunia akal budi kepada manusia, gunanya untuk berpikir jernih, tidak ceroboh, atau melakukan kebodohan yang tidak selayaknya dilakukan makhluk berakal budi. Diingatkan lebih lanjut bahwa ”Bahaya yang datang oleh ujian dari Tian, niscaya bisa diatasi, karena Tuhan tak akan menguji manusia melebihi batas kekuatannya. Namun, ujian yang terjadi akibat kebodohan atau kecerobohan manusia sendiri, niscaya sulit diatasi.”
Andaikan Covid-19 adalah ujian dari Tuhan, dengan akal budi niscaya manusia mampu mengatasinya. Entah dengan vaksin, obat-obatan, atau cukup dengan memutus rantai penularan dengan menghindari kerumunan, menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Namun, tatkala kita tidak disiplin, abai, menganggap sepele, di situlah pandemi terus menaik tak tahu kapan puncaknya.
Saat ini korban Covid-19 di Indonesia sangat besar. Kasus dan angka kematiannya berada di peringkat ke-19 dan ke-17 dunia. Bahkan, kasus aktifnya nomor 1 di Asia, di atas India yang mulai bisa mengendalikan pandemi. Inilah saatnya kita semua mengembalikan kesadaran bahwa keselamatan adalah warisan yang sangat perlu dijaga. Jangan menggerutu kepada Tuhan, jangan menyesali sesama. Mulailah dari diri sendiri.
Imlek sederhana penuh makna
Hari ini umat Khonghucu khususnya, dan masyarakat pada umumnya, merayakan salah satu hari rayanya, yang sejak 2003 telah menjadi hari libur nasional. Biasanya malam menjelang awal tahun baru banyak orang yang bersembahyang ke kelenteng, miao, atau litang. Setelah itu, saat Cap Gomeh (hari ke-15) ada kebiasaan saling berkunjung dan makan bersama, pesta budaya, gotong toapekong, serta permainan liong dan barongsai.
Semuanya itu berpotensi menimbulkan keramaian dan kerumunan. Dalam keadaan normal, itu hal wajar dan menarik. Namun, dalam situasi pandemi, bisa menjadi sumber penularan baru, yang dahsyat dan sangat berbahaya.
Terkait potensi rawan tersebut, maka nasihat-nasihat Kongzi tentang Xiao, berdiri di pinggir tembok miring dan lain-lain, yang sudah dipaparkan di muka, patut dijadikan bahan refleksi dan renungan. Apalagi sejatinya esensi tahun baru Imlek yang paling hakiki adalah untuk refleksi, kontemplasi, dan pembaruan diri.
Soal pembaruan diri ini di dalam kitab Daxue disebutkan, ”Apabila suatu hati dapat memperbarui diri, perbaruilah terus setiap hari dan jagalah agar senantiasa baru.” Ditambahkan oleh Kongzi, ”Semuanya berubah seperti air yang mengalir. Tiada henti.”
”Hanya orang yang paling bijaksana dan yang paling bodoh saja, yang tidak (mau) berubah.” Ketika ditanya mana topi yang lebih disukai, yang lama terbuat dari rami atau yang baru terbuat dari sutra? Kongzi memilih yang baru. Tapi, esensi rasa hormat tak boleh dihilangkan. ”Orang yang mampu memperbarui Ajaran Lama, ia patut dijadikan Guru,” imbuhnya.
Terkait hal ini, di saat pandemi, alangkah bijaksana jika kita merayakan tahun baru Imlek cukup dari rumah. Bersembahyang juga cukup dari rumah karena sejatinya Tuhan ada di mana-mana, termasuk di hati kita. Memberi hormat dan menyapa menggunakan teknologi telepon, pesan elektronik, atau video call.
Mengirim bingkisan, makanan, angpao, atau hadiah bisa lewat online atau jasa layanan antar. Dan, kebiasaan makan bersama dibatasi sebatas anggota keluarga satu rumah saja. Kalau ingin menyaksikan suasana di rumah saudara, bisa lewat Zoom atau video call. Dengan demikian, perayaan tahun baru Imlek tetap bermakna meski dalam kemasan sederhana, tetapi bebas dari marabahaya.
Kepedulian sosial
Hal yang tak boleh dilupakan adalah soal kepedulian kepada sesama, terutama mereka yang kekurangan. Tahun baru Imlek identik dengan kepedulian. Rumah-rumah ibadah membagikan makanan, pakaian, angpao, makan bersama, dan lain-lain. Namun, dalam situasi sekarang, lagi-lagi kita harus hati-hati, ekstra hati-hati.
Kepedulian sosial tetap dan harus dilaksanakan, apalagi pandemi juga memperlemah daya tahan ekonomi banyak orang. Sederhanakan caranya, manfaatkan teknologi. Jangan sampai niat mulia berakhir duka. Jangan sampai perjamuan yang diharap indah berubah menjadi perjamuan maut. Jangan sampai setiap libur panjang juga semakin memperpanjang pandemi.
Selamat Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili (tahun Kongzi). Semoga kita mampu mengatasi setiap perkara. Semoga pandemi segera bisa kita putuskan tali penularannya.
(Xs Budi S Tanuwibowo, Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)