Etika Tao dan Keseimbangan Alam
Pola hubungan manusia dan alam, dalam Tao harus dilandasi dengan keharmonisan. Alam seharusnya dilihat sebagai "ibu" yang hadir, mengandung, merawat, melahirkan, serta membesarkan manusia.
Indeks kerusakan lingkungan per tahun selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), laju deforestasi di Indonesia periode 2006-2009 mencapai angka 0,83 juta ha per tahun. Menurut data (KLHK), luas lahan kritis pada 2016 sekitar 24,30 juta ha (Kompas, 20 Maret 2017).
Tendensi merusak alam adalah suatu warisan yang dikelola atas nama pengetahuan dan kemajuan. Corak berpikir seperti ini, sejatinya ditengarai oleh semangat modernitas. Semangat ini menunjuk pada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang cenderung mensubordinasi yang tradisional.
Menurut Mike Featherstone, modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional, mulai berkembangnya sistem kapitalisme progresif, rasionalisasi administratif, serta diferensiasi sosial dan budaya (Mike Featherstone, Theory, Culture, and Society: 1998). Dalam hal ini, sistem berpikir ikut melahirkan upaya pemutusan rantai keterhubungan manusia dengan nilai-nilai tradisional. Kekayaan dimensi tradisional – dalam konteks ini – juga menyangkut relasi dengan alam ciptaan.
Dalam setiap tradisi atau budaya tertentu, alam menempati strata sosial paling atas. Artinya, alam mengandung pengertian yang transenden – relasi yang baik dengan alam membawa rezeki untuk kehidupan manusia. Akan tetapi, dengan lahirnya teknologi dan kemajuan pengetahuan, alam mulai dilihat sebagai objek yang wajib dieksploitasi. Dengan itu, manusia melihat alam, tidak lagi sebagai sesama ciptaan, tetapi lebih sebagai sarana pemuas kebutuhan.
Taoisme dan wu wei
Taoisme diprakarsai oleh Lao Tze atau sering dikenal sebagai guru Tua. Ia lahir di Tiongkok pada tahun 604 SM. Ajaran-ajaran Lao Tze telah dikumpulkan dalam sebuah kitab bertajuk I-Ching. Pada intinya, ia memberi penekanan pada, 1) unsur-unsur primitif untuk mencapai kehidupan yang abadi; oleh karena itu, penganut Taoisme perlu bertapa di gua-gua dan gunung-gunung untuk menghapus dosa; 2) antimaterialisme, dimana para penganut diajak untuk meninggalkan hal-hal duniawi agar mendapatkan tempat yang baik di dunia akhirat, dan 3) menekankan pendekatan batin untuk mewujudkan perpaduan masyarakat.
Tao adalah sesuatu yang mendasari dan berada di balik segala peristiwa yang terjadi di alam semesta. Sebagai sebuah jalan (the way), Tao hendak menunjukkan bahwa hukum-hukum alam bekerja demi keseimbangan alam itu sendiri. Menurut Lao Tzu, Tao adalah sumber umum bagi seluruh alam semesta. Tao dengan demikian adalah suatu konsep metafisis.
Kata Tao sendiri tidak mudah untuk dipahami. Tao adalah asal usul yang unik tentang dunia. Menurut Lao Tzu, “Tao menghasilkan Yang Satu, dan Yang Satu menghasilkan yang berikutnya, tanpa berkesudahan.” Akan tetapi, Tao disebut sebagai sumber utama.
Yang satu (the One) adalah ada yang bersifat primordial (primordial being). Yang Dua disebut sebagai yin atau sisi feminim, dan yang untuk maskulin. Yin dikenal sebagai sisi negatif, sedangkan yang dikenal sebagai sisi positif. Dengan demikian Tao menentukan segala sesuatu, dan segala sesuatu tergantung pada Tao.
Tao melihat bahwa makna terdalam dari alam telah dieksplotasi oleh kemajuan cara berpikir. Manusia dengan pengetahuannya yang luas, mulai melihat alam sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, segala sarana untuk menguras habis kekayaan alam dihidupi dan terus diwarisi hingga sekarang.
Peradaban modern sering dilihat sebagai biang dari kerusakan lingkungan. Kehendak berkuasa yang disistematisir oleh corak berpikir Barat akhirnya melihat alam sebagai infrastruktur pengetahuan dan kemajuan teknologi. Dualisme Cartesian justru menelurkan cara berpikir yang serba menguasai, mensubordinasi, dan melihat yang lain – termasuk alam – sebagai musuh.
Ada tiga kata kunci dalam pemikiran Lao Tzu, antara lain Tao, Teh, dan Wu wei. Ketiga kata ini sangat sulit untuk dipahami. Secara sederhana arti kata Tao adalah jalan (way); sedangkan “Teh” diartikan sebagai keutamaan (virtue). Akan tetapi, terjemahan ini – “Teh” sebagai sebuah keutamaan – sejatinya tidak terlalu sinkron dengan apa yang dipikirkan oleh Lao Tzu. Wue wei justru seperti memiliki arti negatif, yakni tidak bertindak (not acting atau non-assertion).
Ketika dihubungkan dengan kehidupan manusia, wu wei tidak berati suatu sikap malas yang mendapat pembenaran melalui penjelasan rasional .Wu wei dalam hal ini berarti suatu cara bertindak yang wajar atau cara bertindak yang tidak berlebihan. Tampaknya ungkapan Wu wei tidak bisa dimengerti secara literer. Maksudnya, kata wu wei tidak boleh diartikan sebagai tidak melakukan apapun.
Ajakan untuk tidak bertindak yang dimaksudkan oleh Lao Tzu adalah suatu upaya untuk tidak mengambil tindakan apapun yang melawan dinamika alam. Dalam arti ini orang harus mengalir bersama alam dengan membiarkan alam yang bertindak atas dirinya.
Arti wu wei sebagai sebuah non-action atau tidak bertindak adalah sebuah pilihan. Karena sebuah pilihan, maka pilihan ini datang dari sebuah keputusan. Dengan demikian, dalam artian tertentu, wu wei adalah sebuah tindakan, yakni suatu bentuk tindakan yang terwujud tanpa mengambil sebuah tindakan.
Sebagai contoh, di antara dua pilihan yang disuguhkan, saya memilih untuk tidak memilih salah satu dari keduanya. Tidak memilih, dalam hal ini, tetap merupakan sebuah pilihan tindakan. Hal ini merupakan kekhasan corak berpikir Timur. Corak berpikir Barat jutrus bersifat straight to the point. Pilihannya adalah either-or, dan di luar itu tidak ada pilihan.
Wu wei dalam artian tertentu merupakan sikap pasif. Hal ini sebenarnya memang demikian karena ada kata yang sebenarnya hilang dari istilah ini. Kata itu adalah Wei. Jadi, sebenarnya untuk mengatakan maksud tidak melawan dinamika alam ini disebut Wei Wu Wei. Wei artinya bertindak sedangkan Wu artinya tidak. Sehingga wu wei wu berarti bertindak dengan tidak bertindak.
Wu wei mau mengajak orang untuk bertindak dalam kapasitas yang normal. Kapasitas yang normal adalah membiarkan diri sebagai bagian dari gerak dinamika yang terjadi dalam alam. Hal ini berarti tidak melawan arus, tetapi berusaha mempercayakan diri pada dinamika alam. Untuk tidak melawan arus, manusia harus mengurangi keinginan untuk berpartisipasi dalam pelbagai upaya untuk mengatur alam bagi dirinya.
Etika wu wei sejatinya menekankan aspek kecukupan diri (self-sufficient). Realitas sekarang, banyak orang merasa tidak cukup dengan kebutuhan dasarnya (basic needs). Keinginan untuk memperkaya dengan keiginan-keinginan duniawi lainnya mendorong manusia itu sendiri untuk menemukan berbagai cara. Akan tetapi, cara-cara yang dipakai seringkali bertentangan dengan eskalasi kebutuhan yang meluap dalam diri.
Cara-cara destruktif pun akhirnya dibenarkan, asalkan tujuan terpenuhi. Dalam arti tertentu, pola pikir manusia sekarang – bermula dari zaman modern – sudah diatur untuk menguasai. Prinsip logika waktu pendek akhirnya ikut bermain untuk mengakomodir keserakahan manusia. Misalkan, penambangan liar, kasus Freeport di Papua-Indonesia, pembakaran hutan, pembangunan apartemen, dll. Semua aktivitas ini ditopang oleh keegoisan manusia dan hasrat untuk menguasai dan mengatur alam.
Keseimbangan ekologis
Dalam kerangka berpikir Lao Tzu, wu wei dapat ditempatkan sebagai etika hukum alam. Berbagai dinamika yang terjadi di sekitar kita – peristiwa saling memakan, dll., – harus dilihat sebagai suatu kebiasaan (nature). Etika wu wei dalam hal ini mendorong manusia untuk menyadari bahwa hukum alam selalu bekerja untuk membentuk relasi kesalingan.
Pada tahap ini, manusia dituntut untuk menjaga dan merawat relasi dengan alam. Sikap pasif bukan berarti menjadi apatis – merasa alam bukan bagian dari diriku. Lao Tzu justru menekankan ritme kesalingan yang diproduksi oleh hukum-hukum alam. Keharmonisan relasi terbentuk dalam kerangka kesalingan ini.
Bagi Lao Tzu, wu wei berusaha mengekang ego manusia. Dalam catatan sejarah, manusia terus ditempatkan sebagai pusat refleksi (antrophosentris). Karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia menempatkan dirinya sebagai aku yang menguasai dengan segala kemampuanku.
Corak berpikir seperti ini menunjukkan bahwa aku, egoku, diriku, dan sumber kesadaranku menempatkan yang lain (alam) pada skala tertentu. Maka, aku sebagai subjek kesadaran, memilih menegasi yang lain. Oleh karena kesadarannya, manusia memilih untuk bertindak sewenang-wenang. Manusia merasa mampu dan menganggap yang lain sebagai ciptaan membuat manusia merasa sesuatu itu wajib dikuasai, dan bahkan dieksploitasi hingga habis.
Alam sejatinya memiliki kepekaan atas segala rangsangan di sekitarnya. Pola hubungan manusia dan alam, dalam Tao harus dilandasi dengan keharmonisan. Alam seharusnya dilihat sebagai “ibu” yang hadir, mengandung, merawat, melahirkan, serta membesarkan manusia. Tao sendiri berarti gerak alam. Gerak alam adalah ciri spontanitas. Hal ini memberi gambaran bahwa wu wei dilandasi juga dengan prinsip Te atau keutamaan.
Dalam etika wu wei, terdapat dua gerakan yang saling terkontaminasi, yakni sisi yin dan yang. Sisi yin mengarah ke hal negatif dan sisi yang mengarah ke hal positif. Dimensi kontradiksi ini justru menjadi pilar membangun relasi. Dalam gerak hukum alam, yin dan yang beroperasi untuk mempertahankan keseimbangan ekologis. Yin mengimbangi yang. Kondisi ini terus dihidupi untuk mengembalikan fungsi keseimbangan relasi antar-ekosistem.
(Kristianto Naku, Staf Pengajar di Seminari Pra-Novisiat Claretian, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)