Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari. Vonis itu melebihi tuntutan jaksa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Majelis hakim yang diketuai Ignatius Eko Puwanto seakan menangkap rasa keadilan publik saat jaksa hanya menuntut hukuman empat tahun untuk jaksa Pinangki Sirna Malasari. Petisi daring melalui laman Change.org digerakkan dan meminta majelis hakim memvonis Pinangki dihukum 20 tahun penjara. Vonis ultra petita (melebihi tuntutan jaksa) itu adalah indikasi awal adanya masalah dalam politik penyidikan dan penuntutan di kejaksaan.
Meskipun menjatuhkan hukuman jauh lebih berat, pengadilan secara terbuka mengakui, ada aktor lain yang disebut ”King Maker” yang belum bisa diungkap di persidangan terbuka.
Majelis hakim belum berhasil mengorek lebih jauh informasi dari jaksa Pinangki, advokat Anita Kolopaking, ataupun saksi Rahmad. Mereka tutup mulut. Namun, pengadilan meyakini jaksa Pinangki sudah terbiasa mengurus perkara.
Nama-nama sandi seperti ”King Maker”, ”bapakku, atau ”bapakmu”, biasa dipakai dalam sebuah permufakatan jahat untuk melakukan korupsi. Dahulu juga dikenal istilah ”apel washington”, ”apel malang”, ”pulsa telepon”, ”madam”, ”paket ikan asing”, atau sandi lain selalu bisa diungkap.
Penyidik, apakah dari Polri, jaksa, atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak sulit untuk mengungkap sandi-sandi itu. Kemampuan dan teknik penyidikan mereka diyakini mampu mengungkap itu.
Masalahnya, hanya kemauan dan keinginan tulus untuk mengungkap semua pihak, tak boleh ada niat melindungi, permainan perkara dalam kasus Joko Tjandra. Mengingat, kasus Joko Tjandra adakah kasus high profile yang menyebut-nyebut sejumlah elite penegak hukum.
Di kalangan terbatas, yang melakukan penyelidikan nonyudisial, publik sudah bisa menerka siapa yang dimaksud dengan ”King Maker”. Akvitis antikorupsi Boyamin Saiman di harian Kompas, 10 Februari 2021, menyebut ”King Maker” adalah pejabat tinggi di mana Pinangki menurut kepadanya. Indikasi itu sebenarnya tampak.
Publik tentunya berharap praktik mafia peradilan dalam kasus Joko Tjandra ini bisa diungkap tuntas, termasuk otak di balik itu semua. Menko Polhukam Mahfud MD bisa memerintahkan penyidik Polri atau penyidik KPK untuk melacak lebih jauh siapa ”King Maker” itu.
Semasa menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD pernah memutar rekaman sadapan KPK di Gedung MK dan pada saat itulah upaya kriminalisasi pimpinan KPK terungkap. Yang dibutuhkan tak lain komitmen atas supremasi hukum dan bersihnya lembaga peradilan serta keberanian politik.
Jalan lain yang bisa ditempuh adalah memberikan ruang kepada Joko Tjandra, Anita Kolopaking, atau Napoleon Bonaparte untuk buka-bukaan agar mereka tak sendirian menjadi korban. Keraguan publik, keyakinan hakim, bahwa ada sutradara di balik operasi pembebasan Joko Tjandra, perlu dituntaskan agar tidak terus jadi bahan mendelegitimasi.