Saatnya "Restart" Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Kesalahan dalam memahami SDGs membuat implementasi agenda pembangunan tanpa pijakan dan arah yang jelas. Jika berlanjut berbagai bencana ekologi dan sosial terus terjadi karena pengambil kebijakan salah memahami SDGs.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Tahun 2021 diawali dengan bencana ekologi yang cukup memilukan di Kalimantan Selatan (Kalsel). Banjir bandang setinggi 2-3 meter melanda kawasan itu. Data per 20 Januari, seperti dikutip kompas.com, menyebutkan sebanyak 120.284 Kepala Keluarga (KK) terdampak banjir. Sementara korban meninggal adalah 21 orang. Banjir bandang itu juga menyebabkan 63.608 orang mengungsi.
Pemerintah berdalih bahwa banjir itu disebabkan oleh curah hujan yang ekstrem. Pernyataan pemerintah terkait dengan penyebab banjir di Kalsel itu sebenarnya juga didukung data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Menurut BMKG, hujan dengan itensitas tinggi memang sempat menguyur wilayah Kalsel saat terjadinya banjir di awal tahun.
Di awal tahun, menurut BMKG, dalam dua hari berturut-turut curah hujan mencapai 300 milimeter. Padahal, di Kalsel umumnya satu bulan curah hujan berkisar antara 330 an atau 329 milimeter. Artinya curah hujan yang biasanya untuk satu bulan terjadi dalam dua hari.
Pertanyaannya adalah dengan adanya curah hujan yang ekstrem di Kalsel tersebut, apakah bisa dikatakan bahwa banjir bandang hanya disebabkan oleh anomali cuaca? Jawabnya jelas tidak. Banjir di Kalsel selain diakibatkan anomali cuaca juga disebabkan hancurnya daya dukung lingkungan hidup.
Hancurnya daya dukung ekologi Kalsel ditandai dengan maraknya alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan tambang. Data Walhi menyebutkan bahwa 50 persen dari luas wilayah Kalsel sudah dibebani izin tambang dan kebun sawit. Izin tambang seluas 33% dari wilayah Kalsel. Sementara izin untuk perkebunan kelapa sawit 17% dari total wilayah. Celakanya, hal itu di luar HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan).
Dapat dibanyangkan betapa hancurnya daya dukung ekologi wilayah Kalsel. Anomali cuaca akibat perubahan iklim membuat wilayah ini makin rentan mengalami bencana. Dengan kata lain banjir bandang yang terjadi di Kalsel awal tahun ini adalah perpaduan sempurna antara dampak kerusakan daya dukung ekologi dan juga perubahan iklim.
Celakanya lagi, bencana banjir dan tanah longsor bukan hanya terjadi di Kalsel. Di berbagai daerah lain juga terjadi bencana yang sama. Di Sumedang dan kawasan Puncak Bogor terjadi longsor. Di Jember dan Manado juga terjadi banjir dan longsor. Penyebabnya hampir sama curah hujan yang ekstrem akibat perubahan iklim dan hancurnya daya dukung ekologi di kawasan sekitar.
Perpaduan antara hancurnya daya dukung ekologi dan dampak perubahan iklim adalah tantangan pembangunan Indonesia kedepannya. Pertanyaannya adalah bagaimana negara menghadapi tantangan ini?
Indonesia sudah mengadopsi SDGs (Sustainable Developments Goals) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Bahkan untuk mewujudkan tujuan SDGs itu, pemerintah sudah memiliki payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Bahkan kelembagaannya pun sudah ada. Pertanyaannya bagiamana implementasinya?
Meskipun sudah ada payung hukum dan dukungan kelembagaan, SDGs di Indonesia masih jalan di tempat. Pasalnya, SDGs lebih banyak digunakan sebagai jargon untuk diplomasi bisnis di tingkat nasional maupun internasional dalam rangka membangun reputasi hijau.
Lihat saja, begitu banyak digelar ajang penghargaan untuk perusahaan dengan mengatasnamakan SDGs dan juga berbagai kegiatan CSR (Corporate Social Responsiblity) yang mengatasnamakan itu. Namun faktanya, seperti ditulis kompas.com pada November 2020, survei Navigator Research dari 91 persen perusahaan yang menyatakan mendukung pembangunan berkelanjutan, hanya 27 persen yang mampu mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dengan produk buatannya.
Hal yang sama juga dilakukan pemerintah. Para pengambil kebijakan di pemerintahan justru menjadikan SDGs ini untuk membangun reputasi hijau sawit yang mendapat sorotan para penggiat lingkungan hidup, baik di dalam maupun luar negeri.
Bahkan Jusuf Kalla, sebagai Wakil Presiden Indonesia pada 2018, di sebuah media nasional mengungkapkan bahwa jika sawit dilarang maka target SDGs tak tercapai. Semua jajaran menteri hingga pengusaha sawit di Indonesia seperti satu suara dalam menggunakan SDGs ini untuk diplomasi bisnis.
Sementara di dalam negeri, upaya untuk mengerem laju alih kerusakan alam belum terkendali. Di sisi lain, komitmen terhadap perubahan iklim pun belum menampakan tanda-tanda menguat. Padahal kelestarian lingkungan hidup dan perubahan iklim adalah bagian dari tujuan SDGs.
Bencana di awal tahun yang disebabkan perpaduan antara kerusakan daya dukung ekologi dan perubahan iklim adalah momentum bagi negara untuk melakukan restart terhadap SDGs. Melakukan restart ini penting karena persoalan implementasi SDGs berakar dari pemahaman para pengambil kebijakan di negeri ini terhadap agenda pembangunan itu.
Para pengambil kebijakan di negeri ini masih menggunakan paradigma usang dalam memahami tujuan SDGs. Mereka memahami tujuan SDGs secara terpisah-pisah bukan sebagai sebuah satu kesatuan. Akibatnya, seperti terjadi selama ini, SDGs hanya sekedar menjadi jargon untuk membangun reputasi hijau korporasi. Padahal, dalam kerangka SDGs sebuah kegiatan ekonomi tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologi dan sosial lainnya, begitu pula sebaliknya.
Tanpa lebih dulu melakukan restart terhadap SDGs, sulit rasanya akan melihat negeri ini mampu mengimplentasikan agenda SDGs itu secara keseluruhan. Sebaliknya, kita akan melihat berbagai bencana ekologi dan sosial terus terjadi karena para pengambil kebijakan di negeri ini salah dalam memahami SDGs. Kesalahan dalam memahami SDGs ini membuat implementasi agenda pembangunan itu tanpa pijakan dan arah yang jelas.
(Firdaus Cahyadi Executive Director OneWorld-Indonesia)