Dari Deradikalisasi ke Moderasi
Dalam konteks keindonesiaan, moderasi beragama penting sebagai pendekatan untuk melawan radikalisme sekaligus mengajak kelompok-kelompok keagamaan berkarakter radikal bergerak ke posisi tengah.
Tatkala bersilaturahmi ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (29/1/2021), Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyampaikan komitmennya untuk mengubah pendekatan dalam penanganan radikalisme.
Ditegaskan Kapolri, kepolisian akan menggunakan pendekatan moderasi dalam pencegahan dan penanggulangan intoleransi, ekstremisme, dan terorisme. Komitmen Kapolri penting untuk dinantikan realisasinya karena sejauh ini kepolisian masih menggunakan program deradikalisasi dalam penanganan radikalisme.
Komitmen Kapolri melegakan karena sejalan dengan penguatan wacana moderasi beragama. Bagi Muhammadiyah, moderasi beragama merupakan manifestasi pengamalan ajaran agama yang fundamental.
Sejak awal, Muhammadiyah juga memberikan catatan kritis terhadap program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kementerian Agama (Kemenag) era Lukman Hakim Saifuddin (2014-2019) juga telah mencanangkan kebijakan moderasi beragama dan memasukkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2020-2024).
Seiring dengan menguatkan jalan moderasi sebagai alternatif untuk melawan radikalisme dan terorisme, kritik dari berbagai kalangan terhadap program deradikalisasi semakin nyaring terdengar. Secara konseptual, deradikalisasi dipahami sebagai usaha untuk mengubah ideologi, pemikiran, pemahaman, sikap, dan tindakan seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal. Strategi yang digunakan adalah melalui reedukasi, resosialisasi, dan penanaman nilai-nilai multikulturalisme.
Pada konteks itulah pendekatan moderasi beragama penting dijadikan alternatif.
Meski secara konseptual baik, dalam banyak kasus penanganan radikalisme dan terorisme, aparat keamanan sering kali menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekerasan. Ironisnya tindakan kekerasan terhadap terduga teroris sering dilakukan aparat keamanan di depan keluarganya.
Perlakuan ini pasti menghadirkan trauma mendalam, bahkan sangat mungkin dendam kesumat dari keluarga terduga teroris. Implementasi program deradikalisasi pun terkesan abai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pada konteks itulah pendekatan moderasi beragama penting dijadikan alternatif. Pendekatan moderasi dinilai lebih manusiawi karena tidak memosisikan sasaran program terstigma radikal, teroris, dan ekstremis.
Dalam implementasinya moderasi beragama juga mengedepankan jalan dialog. Dengan cara ini penanggulangan terorisme diharapkan tidak kontra produktif, bahkan melahirkan radikalisme baru. Apalagi, faktanya program deradikalisasi belum mampu menyelesaikan problem radikalisme secara mendasar dan komprehensif. Yang terjadi justru adanya peningkatan kasus radikalisme dalam berbagai ekspresinya.
Jika menengok ke belakang, pemerintah pada awalnya memilih pendekatan empowering the moderates untuk melakukan kontraterorisme. Negeri Jiran Malaysia juga membentuk gerakan bernama Movement of the Moderates. Strategi yang sama juga dipilih Pakistan dengan menggunakan terminologi Enlightening the Moderates.
Meski menggunakan terminologi berbeda, substansinya sama-sama menekankan pentingnya moderasi. Sementara itu, negara-negara Barat mengajukan program Countering Violent Extremism. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memilih diksi Prevention of Violent Extremism.
Strategi negara-negara Barat itulah yang tampaknya mengilhami BNPT untuk memilih program deradikalisasi. Persoalannya, program deradikalisasi berpotensi memosisikan sasaran kegiatan sebagai orang atau kelompok yang terpapar paham radikal.
Stigma ini jelas tidak menguntungkan bagi mereka yang mengikuti program deradikalisasi. Karena itulah, kiritik terhadap program deradikalisasi terus disuarakan berbagai kelompok. Harapannya, ada perubahan pendekatan penanganan radikalisme dari deradikalisasi ke moderasi.
Seiring dengan tantangan keagamaan era kontemporer, dorongan untuk menjadikan moderasi sebagai alternatif melawan radikalisme atau ekstremisme terus menguat. Dalam konteks kajian Islam, konsep moderasi dikaitkan dengan wasathiyah.
Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam (2015), menyebut konsep wasathiyah dalam al-Qurán sebagai spirit moderasi dalam beragama, baik berkaitan dengan pemikiran, sikap, dan perbuatan. Wasathiyah Islam juga lazim digunakan di negara-negara minoritas Muslim untuk menyebut posisi pertengahan diantara dua ekstremitas.
Secara terminologi, moderasi berarti jalan tengah, sesuatu yang ada di tengah dari dua sifat buruk.
Secara terminologi, moderasi berarti jalan tengah (middle path), sesuatu yang ada di tengah dari dua sifat buruk. Dapat dicontohkan, sifat berani dipandang baik karena berada di antara karakter ceroboh dan takut. Demikian juga sifat dermawan merupakan akhlak terpuji karena berada di antara karakter boros dan kikir.
Dalam konteks praktik keagamaan, moderasi bermakna pemikiran, sikap, dan perilaku beragama dengan cara mengambil posisi pertengahan (wasathiyah). John L Esposito dalam What Everyone Needs to Know About Islam (2011), menipologikan Muslim moderat dengan karakter progresif atau liberal. Muslim moderat dibedakan dari Muslim konservatif, tradisionalis, dan fundamentalis.
Di antara ulama yang memberikan perhatian pada persoalan moderasi beragama adalah Ibnu Taimiyah. Dia menulis karya Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah (The Creed of Al-Wasitiyyah). Ibnu Taimiyah menggambarkan aqidah atau teologi tengahan sebagai paham yang dianut kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Menurut Ibn Taimiyah, kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini memiliki sifat al-Najiyah (yang selamat) dan al-Manshurah (yang memperoleh pertolongan).
Berbagai pandangan itu menegaskan bahwa moderasi beragama dapat menjadikan pemeluknya terhindar dari sikap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama. Al Quran secara tegas melarang sikap berlebih-lebihan atau ekstrem dalam beragama (QS Al-Nisa’: 171 dan al-Maidah: 77). Nabi Muhamad SAW juga bersabda: ”Jauhkanlah diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama karena sesungguhnya sikap ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR An-Nasai dan Ibn Majah).
Berdasarkan landasan teologis-normatif inilah moderasi penting dikedepankan dalam kehidupan keagamaan di negeri tercinta. Moderasi dipandang sebagai strategi jitu untuk melawan radikalisme sekaligus mewujudkan peradaban global.
Dalam konteks keindonesiaan, moderasi beragama penting sebagai pendekatan untuk melawan radikalisme sekaligus mengajak kelompok-kelompok keagamaan yang berkarakter radikal bergerak ke posisi tengah (middle position).
(Biyanto, Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel,Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)