Kita perlu melakukan survei tentang lama pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh perempuan dan laki-laki sehingga Indonesia memiliki data mengenai alokasi waktu perempuan dan laki-laki melakukan kerja rumah tangga.
Oleh
SITA ARIPURNAMI
·4 menit baca
Pekerjaan rumah tangga, apa lagi yang dilakukan oleh perempuan, sering kali tidak dilihat sebagai jenis kerja dan dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Mulai bermunculan inisiatif di tingkat internasional yang mengangkat pentingnya memberikan penghargaan secara ekonomi bagi pekerjaan rumah tangga. Bagaimana cara mengukur penghargaan secara ekonomi ini? Lalu, bagaimana di Indonesia?
Nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga
Hal yang biasa dilakukan untuk mengukur penghargaan atas kerja adalah dengan menghitung berapa lama sebuah kerja dilakukan dan apa hasilnya. Dalam studi feminis, dikenal dengan konsep alokasi waktu untuk mengukur penghargaan atas kerja yang dilakukan. Tak kurang Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga menggunakan konsep itu. ILO baru saja meluncurkan publikasinya mengenai pentingnya kerja tidak berbayar (di rumah tangga).
Kesimpulannya menarik, jenis kerja tidak berbayar adalah penunjang kerja lain yang dilakukan di arena publik. Sementara waktu yang digunakan untuk kerja tidak berbayar itu sering diabaikan ketika melakukan analisis tentang ekonomi.
Temuan ILO atas survei yang dilakukannya, ada jutaan jam di Asia dan Pasifik, sayang Indonesia tidak termasuk disurvei, digunakan per hari untuk melakukan kerja tidak berbayar. Dan, perempuan melakukan kerja tidak berbayar di rumah tangga.
Di Taiwan, laki-laki menggunakan 83 menit waktunya untuk melakukan kerja rumah tangga, sedangkan perempuan menggunakan 265 menit—lebih kurang tiga kali lipat dari yang dilakukan laki-laki. Sedangkan di India, laki-laki melakukan pekerjaan rumah tangga selama 31 menit, bandingkan dengan perempuan yang menggunakan waktunya sebanyak 297 menit.
Untuk menggambarkan alokasi yang terjadi di Indonesia, saya mengilustrasikan dari penggunaan waktu melakukan pekerjaan rumah tangga sebuah keluarga terdiri dari pasangan suami istri dan dua anak tanpa asisten rumah tangga. Alokasi waktu yang dicurahkan oleh perempuan dalam mengerjakan pekerjaan pada rumah tangga itu per hari lebih kurang adalah 390 menit.
Dalam menghitung nilai penghargaan atas kerja rumah tangga, kita bisa melihat pada kemungkinan biaya yang perlu dikeluarkan jika kerja itu tidak dikerjakan di rumah.
Kita ambil saja penghitungan biaya makan, cuci, dan setrika dalam satu hari. Biaya membeli makanan adalah Rp 100.000 per sekali makan. Dalam satu hari biaya tiga kali makan adalah Rp 300.000. Sedangkan untuk biaya cuci baju dan setrika, diperlukan Rp 50.000 per hari. Dengan demikian, total biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 350.000 per hari.
Apabila kita hitung untuk pengeluaran satu bulan, biayanya adalah Rp 10.500.000. Dengan demikian, apabila kita konversikan total biaya itu sebagai penghargaan atas jenis kerja, terlihat bahwa hal ini merupakan nilai ekonomi yang tidak sedikit.
Meskipun, perlu dicatat bahwa perkiraan ini belum meliputi seluruh pekerjaan rumah tangga yang dilakukan, seperti mengajari anak pelajaran sekolah yang bisa dilakukan oleh guru les.
Perjuangan sejak lama
Sebenarnya selama lebih kurang 30 tahun terakhir ini para pemikir studi feminis, antara lain Lourdes Beneria (2001) dan Amartya Sen (2001), telah melakukan pembahasan tentang pekerjaan. Namun, konsentrasi pembahasannya lebih pada partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, kesenjangan upah, serta segregasi pekerjaan antara perempuan dan laki-laki.
Mereka melihat bahwa berpartisipasi dalam angkatan kerja di lingkup publik adalah jalan mencapai pemberdayaan perempuan. Mereka mengakui kerja reproduktif perempuan, termasuk pekerjaan rumah tangga, tetapi tidak mempertanyakan asumsi mendasar dari studi ekonomi yang selama ini ada tentang pekerjaan.
Selama ini, dikotomi antara publik dan domestik atau antara kerja (publik) dan kerja rumah tangga dibiarkan begitu saja, tidak ditantang secara kritis. Diskusi kurang memfokuskan pada kerja yang dilakukan perempuan dalam lingkup rumah tangga.
Pembahasan mengenai pekerjaan rumah tangga perempuan sebetulnya sudah menjadi pembahasan pada era 1980-an di Indonesia. Profesor Dr Pudjiwati Sayogyo salah satu yang giat pada masa itu membahasnya. Beliau mengajukan konsep alokasi waktu yang digunakan oleh perempuan dan dibandingkan dengan laki-laki sehingga dapat dilihat berapa jumlah waktu yang dihabiskan oleh perempuan dan laki-laki serta apa jenis kerjanya.
Konsep ini sering digunakan untuk memberikan gambaran akan beban kerja perempuan dan laki-laki serta untuk memahami pembagian kerja secara seksual. Diskusi yang terakhir diselenggarakan mengenai kemungkinan adanya penghargaan ekonomi bagi kerja ibu rumah tangga di Indonesia dilaksanakan pada 9 September 2004. Namun, kemudian pembahasan hal ini tidak berkembang hingga sekarang.
Survei di Indonesia
Tampaknya sudah saatnya untuk membangun diskusi tentang pengakuan atas nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga. Melihat jumlah waktu pekerjaan rumah tangga dan konversi nilai ekonominya. Dari mana kita memulainya?
Untuk di Indonesia agaknya kita perlu melakukan survei tentang berapa lama pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, Indonesia memiliki data mengenai alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam melakukan pekerjaan rumah tangga.
Untuk di Indonesia, agaknya kita perlu melakukan survei tentang berapa lama pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.
Senyampang dengan itu, diskusi mengenai penghargaan atas pekerjaan rumah tangga antara masyarakat, akademisi, dan pengambil keputusan perlu dihidupkan kembali.
Diskusi bisa dimulai dengan pertanyaan: Apakah nilai ekonomi yang dihitung pada jenis pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan saja, ataukah juga yang dilakukan laki-laki? Apa saja konsekuensi dari adanya penghargaan secara ekonomi bagi pekerjaan rumah tangga? Apakah ini berarti masuk dalam bagian dana kesejahteraan sosial dari suatu negara sebagai subsidi negara? Saatnya kita mulai memikirkan kembali tentang penghargaan atas pekerjaan rumah tangga di Indonesia.
(Sita Ari Purnami, Direktur Eksekutif Women Research Institute)