Perdagangan emisi karbon bukan satu-satunya jalan untuk mengurangi pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim. Upaya lain yang perlu juga dilakukan, misalnya, adalah transisi ke energi bersih dan zero deforestasi.
Oleh
DIAN PERMATA SARI MASHARI
·5 menit baca
Berbagai upaya dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk memerangi pemanasan global yang telah terjadi di akhir dekade ini. Di tengah upaya mereka untuk mengatasi pemanasan global ini, pandemi Covid-19 menghantam dan memicu krisis luar biasa. Namun, krisis global ini omentum bagi semua pihak untuk melakukan evaluasi akan pentingnya aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam seluruh aktivitas kehidupan.
Pandemi Covid-19 menurunkan emisi karbon hampir di seluruh belahan dunia. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), emisi karbon tahunan secara global turun sekitar 4,2-7,5 persen pada 2020. Pola permintaan masyarakat terhadap energi menjadi berubah drastis karena kebijakan negara-negara selama pandemi Covid-19. Banyaknya perbatasan ditutup, kebijakan lockdown membatasi mobilitas, penutupan industri manufaktur hingga perubahan pola konsumsi masyarakat sangat memengaruhi pengurangan emisi karbon.
Namun, apakah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) selama pandemi Covid-19 ini cukup untuk mengurangi pemanasan global secara berkelanjutan?
Perdagangan emisi karbon dunia
Pemanasan global berkontribusi besar terhadap perubahan iklim di dunia dan pengurangan GRK dipercaya menjadi salah satu cara efektif mengurangi pemanasan global. Pengurangan GRK dapat ditempuh melalui mekanisme yang disebut dengan perdagangan karbon di mana hal ini berpotensi menjadi sumber pendanaan baru untuk menopang ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19 untuk mencapai target Nationally Determined Contribution dan keberlangsungan ekosistem pada masa mendatang.
Melalui Perjanjian Paris yang telah diadopsi pada COP 21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Desember 2015, para pembuat kebijakan di seluruh dunia sepakat bahwa suhu global rata-rata yang dihasilkan oleh GRK tidak boleh melebihi 2 (dua) derajat celsius di atas suhu global rata-rata pada masa pra-industri.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik, jumlah total penduduk Indonesia pada 2019 mencapai 268,1 juta jiwa, menjadikan Indonesia salah satu negara berkembang yang menghasilkan emisi GRK yang tinggi di dunia. Meskipun GRK per kapita Indonesia masih di bawah rata-rata G20, tingkat emisi per kapita telah meningkat 17 persen pada periode 2011 hingga 2016.
Dalam hal mengantisipasi dampak perubahan iklim, perlu dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebut fokus dari program mitigasi perubahan iklim adalah menurunkan atau mengurangi jejak emisi karbon yang menjadi penyebab utama perubahan iklim. Sedangkan fokus program mitigasi perubahan iklim terletak pada upaya untuk mengurangi dampak yang mungkin muncul akibat perubahan iklim.
Perdagangan karbon merupakan suatu instrumen kebijakan berbasis pasar yang memiliki keunggulan dalam efektivitas biaya. Sebelum Perjanjian Paris disepakati oleh sejumlah negara, mekanisme terkait dengan perdagangan karbon sebelumnya telah diimplementasikan oleh beberapa negara maju lainnya, antara lain melalui Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) dan Joint Credit Mechanism (JCM).
Perdagangan emisi karbon merujuk pada perdagangan izin emisi. Perdagangan emisi karbon biasa juga disebut dengan perdagangan kredit karbon (perdagangan sertifikat yang dihasilkan dari kegiatan penurunan emisi GRK), yang dikenal sebagai kegiatan mitigasi emisi GRK.
Untuk memberi insentif kepada perusahaan yang mengurangi emisi mereka, pemerintah menetapkan batasan pada tingkat maksimum emisi dan membuat izin, atau tunjangan/insentif, untuk setiap unit emisi yang diizinkan berdasarkan batasan tersebut. Perusahaan penghasil emisi harus mendapatkan dan menyerahkan izin untuk setiap unit emisi mereka.
Praktik perdagangan emisi karbon di Indonesia
Dengan biodiversity yang luar biasa dan segala keanekaragaman hayati yang dimiliki, Indonesia menjadi salah satu negara dengan stok karbon terbesar di dunia. Melihat potensi besar tersebut, pemerintah membuka lebar pintu dalam menjajaki peluang mencari negara-negara pembeli dalam transaksi jual beli karbon.
Pasar potensial tersebut berada di negara-negara yang memiliki keterbatasan luas hutan, misalnya Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, Tiongkok, ataupun Vietnam. Dengan melakukan kerja sama dalam perdagangan emisi karbon antarnegara diharapkan dapat mengurangi biaya pengurangan emisi, meningkatkan likuiditas pasar, membuat harga karbon lebih stabil, menyelaraskan harga karbon, dan mendukung kerja sama global untuk mengatasi perubahan iklim.
Dengan proyeksi masa depan yang lebih baik atas perdagangan emisi karbon ini, dibutuhkan peraturan yang dapat melandasi dan mendukung perdagangan karbon tersebut di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengisyaratkan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan dua peraturan presiden mengenai perdagangan karbon dan tarif energi baru terbarukan. Kedua peraturan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mekanisme perdagangan karbon, termasuk bagaimana menentukan harga karbon. Langkah ini dianggap komitmen pemerintah untuk mewujudkan pembangunan bangsa yang berbasis ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Hal yang perlu diperhatikan pemerintah adalah bagaimana menjawab kekhawatiran publik yang beranggapan perdagangan emisi karbon hanya akan memperburuk kelestarian lingkungan mengingat skema ini hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan untuk membeli jatah emisi karbon demi mencapai keuntungan perusahaan semata.
Alih-alih mengurangi emisi karbon atau mentransformasikan bisnisnya dari energi kotor/berpolusi menjadi energi yang ramah lingkungan, perusahaan-perusahaan pembeli jatah emisi tersebut berpotensi untuk tetap melaksanakan bisnis operasional mereka seperti biasanya (business as usual) tanpa ada upaya untuk mengurangi emisi dan melestarikan lingkungan.
Dalam memformulasikan kebijakan terkait dengan mekanisme perdagangan emisi karbon, pemerintah juga harus menentukan kriteria yang tepat guna dan tepat sasaran dalam hal memberikan sejumlah ”kredit” karbon ke para calon perusahaan pembeli emisi tersebut. Hal ini memerlukan transparansi yang mencakup keterbukaan informasi dari pemerintah atas perusahaan/pelaku industri yang melepas emisi karbon beserta detail angka transaksinya.
Transparansi data akan menghindarkan kemungkinan terjadinya transaksi bawah meja antara oknum pemerintah dan perusahaan pelepas emisi karbon tersebut.
Peluang pasar
Pasar karbon adalah hal baru, tetapi akan menjadi masa depan Indonesia, terutama untuk mendukung pembangunan berkelanjutan pascapandemi Covid-19. Dengan terus dibukanya peluang perdagangan karbon global sebagaimana ditetapkan pada Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia harus mengkaji peluang pasar ke depan dan offset yang aman dan efektif bagi Indonesia untuk melakukan perdagangan karbon sebagai upaya untuk memenuhi komitmen target penurunan emisi GRK dalam waktu yang ditentukan.
Perlu dicatat bahwa perdagangan emisi karbon bukan satu-satunya jalan dalam mengurangi pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim. Perlu upaya lain yang masif, misalnya melakukan transisi ke energi bersih dan penerapan zero deforestasi.
(Dian Permata Sari Mashari, Mahasiswa Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia & Chairwoman Indonesia Bright Foundation)