Potensi kerugian akibat bencana alam di Kecamatan Cisarua dan Megamendung pada 2018 mencapai Rp 500 miliar. Sementara pendapatan pajak hotel dan hiburan dari kawasan Megamendung dan Cisarua hanya Rp 174,5 miliar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Jual beli lahan negara berstatus hak guna usaha perkebunan di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, kian marak. Sementara itu, lingkungan di sana semakin rusak.
Investigasi yang dilakukan Redaksi Harian Kompas, laporannya diturunkan pekan lalu, menemukan bahwa hak guna usaha perkebunan negara diperjualbelikan, dipindahtangankan, dan diubah peruntukannya dengan sangat mudah dan bebas. Warga, perangkat desa, dan sejumlah tokoh penting di Jakarta pun terlibat.
Kondisi ini tentu sangat mencemaskan, bahkan membahayakan. Tutupan lahan di kawasan resapan air di hulu Sungai Ciliwung itu semakin berkurang. Lahan hijau dengan cepat beralih fungsi menjadi berbagai bangunan permanen.
Hasil interpretasi visual citra satelit yang dilakukan Litbang Kompas juga menunjukkan betapa masifnya penambahan lahan terbangun di Megamendung dan Cisarua. Dalam kurun 2012-2020, ada sekitar 170 hektar lahan terbangun baru atau bertambah sekitar 10 persen.
Apabila praktik jual beli ini tidak segera ditindak, Puncak yang menjadi tempat idaman berwisata bakal berubah menjadi kawasan rawan bencana. Pemetaan Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai-Hutan Lindung Citarum Ciliwung menyebutkan, hampir separuh kawasan sudah masuk kategori sangat kritis. Lahan yang terjaga baik hampir tak tersisa.
Daya resap air ke tanah di Puncak, data 1987, sudah menunjukkan tinggal 17,8 persen. Seharusnya tidak boleh kurang dari 40 persen. Sementara tingkat erosi sudah mencapai level sangat berat, yaitu 480 ton per hektar per tahun. Kondisi ini yang membuat longsor dan banjir bandang kerap terjadi dalam empat tahun terakhir ini. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor mencatat, sepanjang 2016-2020, 97 bencana longsor melanda Megamendung dan 54 longsor melanda Cisarua. Kondisi ini meningkat empat kali lipat dibandingkan periode 2011-2015.
Fakta-fakta itu menegaskan bahwa sudah saatnya tidak mengatakan sangat terlambat bahwa pengembangan ekonomi di kawasan Puncak, tidak bisa tidak, harus diselaraskan dengan pendekatan ekologi. Arsip berita Kompas, 21 Juni 1980, berarti 40 tahun lalu, sudah mengangkat persoalan ini. Namun, dalam praktik, kepentingan ekologi kerap saja dipinggirkan, bahkan dikorbankan untuk kepentingan ekonomi.
Senyatanya, hingga kini kerugian akibat dampak bencana di kawasan Puncak jauh lebih besar daripada penerimaan sektor wisata. Potensi kerugian akibat bencana alam di Kecamatan Cisarua dan Megamendung pada tahun 2018 mencapai Rp 500 miliar. Sementara pendapatan pajak hotel dan hiburan dari kawasan Megamendung dan Cisarua hanya Rp 174,5 miliar.
Belum lagi, dampak pada petani, yang kian kehilangan akses pada tanah. Selain diperlukan totalitas melakukan rekayasa teknik hidrologi untuk pemulihan lingkungan, menindak semua pihak terlibat dalam perusakan lingkungan dalam berbagai bentuknya menjadi keharusan untuk menghentikan kerusakan yang terjadi.