Dana Publik untuk Jurnalisme Nasional, Mungkinkah?
Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, ide membantu institusi media melalui penugasan PSO tentu sangat berguna bagi kegiatan operasional media massa, terutama pers cetak yang telah menjalankan jurnalisme advertorial.
Oleh
RAJAB RITONGA
·4 menit baca
Hari Pers Nasional, 9 Februari 2021, diperingati saat kondisi pers dalam kesulitan, bukan saja karena pandemi Covid-19, melainkan juga hantaman disrupsi teknologi informasi.
Sejumlah koran berskala nasional telah mengakhiri pengabdiannya, tumbang satu demi satu, termasuk tiga surat kabar Ibu Kota pamit berurutan: Desember 2020, Januari dan Februari 2021. Pers cetak lainnya bertahan hidup dengan merumahkan wartawan, mengurangi tiras, dan memangkas jumlah halaman. Kondisi serupa terjadi pada industri penyiaran swasta, sedangkan portal berita online tidak lebih baik keadaannya.
Perkembangan teknologi informasi mempunyai implikasi luar biasa terhadap kelangsungan hidup media massa. Tumbuh pesatnya platform media sosial dan keberadaan perusahaan teknologi digital membuat masyarakat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada pers. Akibatnya, oplah koran turun dan pengiklan beralih.
Pada sisi lain, ongkos produksi naik; kertas dan tinta dibeli tanpa subsidi. Ironisnya, perusahaan teknologi raksasa yang bukan perusahaan media dan tidak memproduksi berita, meraup untung besar—tanpa membayar pajak pula—dengan menyiarkan berita media berdasarkan teknologi algoritma.
Belum selesai dengan persoalan disrupsi informasi, pers nasional tertimpa tangga. Pandemi Covid-19 membuat kehidupan pers semakin sulit. Wartawan memang bekerja untuk kepentingan publik, tetapi profesi ini tidak termasuk dalam prioritas penerima vaksin Covid-19.
Pada muaranya, wartawanlah yang terkena dampak: dirumahkan karena korona atau diberhentikan akibat media tempat bekerja gulung tikar. Kondisi ini memerlukan jalan keluar agar pers dapat terus mengawal demokrasi dan menyiarkan berita sesuai standar jurnalisme baku.
”Public service obligation”
Salah satu upaya untuk keluar dari permasalahan ini adalah perlunya dana publik bagi kehidupan pers. Sejauh ini, institusi pers yang menikmati dana publik hanya kantor berita Antara melalui penugasan public service obligation (PSO) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2007.
Besaran nilai PSO yang ratusan miliar rupiah per tahun sudah lebih dari cukup untuk penyelamatan operasional kantor berita itu dari kebangkrutan sebagaimana telah terjadi pada Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI) dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB). Dua kantor berita itu tutup pada tahun awal penggunaan internet yang memungkinkan berita didistribusikan secara real time dan gratis. Akibatnya, pelanggan berhenti. Hal yang sama kini mendera pers cetak, pembaca berpaling karena tersedia banyak informasi di internet secara percuma.
Kantor berita Antara dulu sesungguhnya juga mengalami hal serupa, ditinggalkan pelanggannya. Namun, kantor berita perjuangan itu ”lolos dari lubang jarum” karena tahun 2005 melakukan perubahan badan hukum menjadi badan usaha milik negara berbentuk perusahaan umum. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2007 memungkinkan Antara mendapat PSO: menyiarkan berita-berita dengan perspektif tertentu.
Tanpa PSO, nasib Antara mungkin sama dengan dua kantor berita koleganya. Media penyiaran publik, TVRI dan RRI, juga mendapat biaya operasional dari APBN sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Sesungguhnya beberapa media cetak yang terbit baik di Jakarta maupun di daerah telah merintis pemuatan berita berbayar yang bersumber dari instansi pemerintah ataupun swasta dengan perspektif tertentu. Bentuknya beraneka ragam, mulai dari advertorial hingga artikel bersponsor. Namun, sifatnya masih sporadis dan hanya menyasar media tertentu saja.
Filantropi dan CSR untuk media
Menggalang dana publik melalui aksi filantropi ataupun menyalurkan bantuan yang bersumber dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga telah dilakukan beberapa pihak dengan menyasar individu wartawan. Namun, aksi ini menimbulkan perdebatan: apakah yang harus dibantu lebih dulu, wartawannya atau media tempat wartawan bekerja? Perdebatan klasik juga muncul, mempertanyakan independensi berita yang dibuat oleh individu wartawan penerima filantropi ataupun dana CSR. Terkait dengan itu, tentu akan muncul pula perdebatan serupa apabila media massa mendapat penugasan berita PSO dari pemerintah. Bisakah pers bersikap independen terhadap pemberi dana?
Kondisi yang dialami pers Indonesia juga terjadi di sejumlah negara pada masa pandemi Covid-19 ini. Berbagai cara dilakukan untuk membantu media massa mengatasi persoalan mereka. Di Australia, misalnya, pemerintah mengupayakan agar Google dan Facebook membayar berita-berita media massa yang mereka siarkan.
Di Amerika Serikat mulai muncul dukungan mengembangkan undang-undang guna mendanai jurnalisme dalam menyerbarluaskan berita pers lokal (Columbia Journalism Review, 13/1/2021). Aksi lainnya melalui pendanaan filantropi, sebagaimana dilakukan pada kantor berita AAP Australia. Kantor berita AAP dibeli oleh konsorsium filantropis bersama sejumlah investor sehingga kantor berita itu tetap eksis.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, ide membantu institusi media melalui penugasan PSO tentu sangat berguna bagi kegiatan operasional media massa, terutama pers cetak yang telah menjalankan jurnalisme advertorial. Sejauh pengamatan, media tersebut tetap bisa bersikap independen dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Idealisme pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak akan berfungsi apabila insitusi pers hanya tinggal nama: mati digilas teknologi ataupun bubar akibat terdampak Covid-19.
Rajab Ritonga, Guru Besar Institut Komunikasi & Bisnis LSPR; Pengurus PWI; Direksi LKBN Antara 2005-2012