Panggung untuk Pengarang
Panggung pengarang adalah karyanya. Entah itu novel, cerpen, atau puisi, yang jelas, seorang pengarang mesti terus berkarya jika ingin tetap disebut pengarang.
“Tidak seorang pun seniman dapat menerima kenyataan,” demikian ucap Nietzsche sekali waktu. Sebagai pelaku seni, pengarang demikian pula. Pada mulanya, seorang pengarang adalah pemberontak. Dia melakukan penolakan terhadap kenyataan yang tidak disukai atau disetujuinya dengan cara menulis.
Lewat pena, seorang pengarang mempertanyakan dan menggugat kenyataan. Sesuatu yang dikenali oleh Albert Camus sebagai semangat pemberontakan. Laku inilah yang kemudian menjadi inti dari pekerjaan mengarang. Dengan kata lain, itulah tujuan awal seorang pengarang.
Dalam perkembangannya, tidak sedikit pengarang yang kemudian mengkhianati tujuan awal itu. Salah satu penyebabnya adalah munculnya fenomena panggung. Dalam dunia modern, panggung mempunyai peranan penting karena di sinilah citra dihasilkan.
Sebagai bagian dari modernitas, citra berperan penting dalam membungkus suatu produk sehingga bisa menyihir dan memikat konsumen. Membuat banyak orang rela berdiri dalam deretan panjang antrian demi membeli sebuah barang yang dicap termutakhir. Dalam konteks inilah para pengarang masa kini merasa perlu untuk melakukan pencitraan diri melampui karyanya. Itulah mengapa mereka membutuhkan panggung yang, sungguh kebetulan, disediakan pasar untuk mereka.
Di atas panggung
Dalam KBBI, salah satu definisi panggung adalah "lantai yang agak tinggi tempat bermain sandiwara, berpidato, dan sebagainya; pentas.” Ia merupakan tempat pertunjukan berlangsung atau sesuatu dipentaskan. Di panggung inilah para pemberi tontonan bertemu dengan penontonnya. Mementaskan atraksi yang dapat dilihat dan dinikmati, seperti nyanyian, tarian, atau pentas sandiwara. Panggung pun akrab dengan penari, penyanyi, pelakon, pelawak, tapi tidak dengan pengarang.
Barulah sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah panggung bermunculan di tengah dunia sastra kita. Berbeda dari panggung yang dikenal dalam seni pertunjukan, panggung sastra lain sendiri. Wujudnya bisa berupa program residensi, pameran buku, festival literasi dan acara semacamnya. Panggung khusus ini mendapat sambutan meriah dari para pengarang.
Menyadari dirinya bukan penyanyi atau penari, pengarang yang tampil di atas panggung biasanya membacakan puisi atau potongan prosa, mengomongkan buku atau proses kreatifnya, hingga memperdebatkan sebuah pemikiran. Di bawah lampu sorot, si pengarang juga diizinkan mempromosikan karya-karyanya yang sudah lampau atau yang masih sebatas ide dan entah kapan akan ditulis.
Pada akhirnya, lewat panggung, seorang pengarang bisa ikut merasakan sensasi serupa yang dialami pelaku seni pertunjukan: menjadi sri panggung. Sesuatu yang, tanpa sadar, membuatnya enggan turun panggung dan terus memburunya.
Panggung memang mempunyai daya tarik tersendiri. Letaknya di ketinggian sudah menunjukkan dengan jelas apa saja yang sanggup ia berikan. Berdiri di atas panggung membuat seorang pengarang bukan saja hanya akan dilihat, tapi juga menjadi pusat perhatian dan mendapat tempik sorak serta penggemar.
Lewat panggung, seorang pengarang bisa pula meraih ketenaran, bahkan mengukuhkan eksistensinya, tanpa membutuhkan waktu lama. Semua itu berkebalikan dari proses kreatif seorang pengarang yang menuntut ketekunan dan berada di ruang sunyi. Tidak mengherankan, panggung menjadi kebutuhan vital pengarang zaman pencitraan.
Panggung dan pasar
Kepada seorang novelis muda, Mario Vargas Llosa pernah berkata bahwa menjadi besar dalam dunia literasi hanya dialami oleh sangat sedikit pengarang. Perkataan ini tentu berasal dari hasil pengamatan dan pengalamannya sebagai pengarang selama puluhan tahun. Namun, kehadiran panggung sastra seolah hendak membantah perkataan tersebut.
Tanpa perlu banyak berkarya atau membaktikan diri pada kata-kata selama bertahun-tahun, seorang pengarang bisa menjadi besar hanya karena rajin tampil dari panggung ke panggung. Tanpa perlu menghabiskan waktu untuk mengasah kemampuan menulis atau membaca banyak-banyak, seorang pengarang tetap bisa menjadi idola.
Yang perlu dilakukannya hanya meniru laku peserta acara kontes-kontesan di televisi. Mengumpulkan sebanyak mungkin screen time agar semakin dikenali dan dicintai banyak orang. Pada titik ini, tanpa sadar, si pengarang sudah menjelma menjadi penghibur.
Sebagai penghibur, seorang pengarang merasa wajib tampil memikat. Rupa-rupa gaya menulis tidak lagi dibutuhkan sebab itu tidak bisa dipentaskan di atas panggung. Kedalaman isi kepala juga tidak terlalu diperlukan sebab apa yang terpenting adalah keluwesan membawa diri di depan publik agar terkesan cerdas.
Cukuplah kemahiran membuat kalimat motivasi nan bijak, menyitir kata-kata sastrawan dunia atau mengutip isi buku filsafat. Siapapun yang mampu menyedot massa berkat penampilannya itu bakal menjadi anak emas. Namanya mesti rutin tercantum dalam daftar tampil acara-acara (hiburan) sastra.
Munculnya pandemi virus Covid-19 yang menghantui dunia selama setahun terakhir membuat banyak hal berubah, termasuk dunia sastra. Pasar sastra lengang. Pengarang-pengarang yang tertekan dalam karantina di rumah masing-masing, bersama seluruh anggota keluarga, menemukan diri mereka sulit produktif.
Beban pandemi membuat masyarakat lebih suka mencari hiburan di layar kaca dan internet, ketimbang di halaman buku. Alhasil, penjualan buku menurun. Pembatasan kerumunan demi mengatasi penyebaran virus juga telah menyusutkan jumlah acara sastra dan panggungnya. Untung saja pengarang sejenis manusia yang kreatif.
Demi mematuhi protokol kesehatan, panggung dipindahkan ke ruang yang lebih aman dan bebas kerumunan. Dari gedung pertunjukan atau pameran buku ke dalam ruang tamu atau teras rumah. Dari pertemuan langsung ke pertemuan dunia maya. Adapun untuk menyiasati produktivitas yang menurun, sekaligus memberdayakan keberlimpahan waktu luang masyarakat, hadirlah panggung sastra yang benar-benar menghibur secara visual.
Inilah masa ketika banyak pengarang mulai belajar menciptakan panggungnya sendiri, baik berbentuk video di Youtube, rekaman audio di Podcast ataupun pertemuan di Instagram. Di tengah kenormalan baru, panggung sastra menemukan wujud barunya.
Layaknya pasar, panggung sastra menempatkan dirinya sebagai penentu nilai. Ia mempunyai kekuatan untuk mengangkat seorang pengarang melampui sesamanya dengan cepat. Ironisnya, pada saat yang sama, ia juga mampu membelotkan pengarang dari tujuan awalnya. Pengarang yang merasa tidak perlu mempertanyakan keadaan di sekitarnya, kecuali jika pasar menginginkan. Pengarang yang terikat pada panggungnya.
Namun, penting untuk diingat bahwa pengarang adalah dia yang menggunakan penanya untuk merangkai kata-kata hingga menjadi sebuah karya.
Pada kenyataannya, pengarang memang berada di tengah pasar. Sebagai bagian dari industri, seorang pengarang tentu mesti melakukan sesuatu agar karyanya bisa sampai ke tangan pembaca. Sah saja jika seorang pengarang melakukan promosi demi memasarkan dan memperkenalkan karya-karyanya.
Namun, penting untuk diingat bahwa pengarang adalah dia yang menggunakan penanya untuk merangkai kata-kata hingga menjadi sebuah karya. Dengan kata lain, seorang pengarang ada bukan karena dia bisa tampil menghibur atau pandai berbicara, melainkan karena dia berkarya.
Panggung pengarang adalah karyanya. Entah itu novel, cerpen, atau puisi, yang jelas, seorang pengarang mesti terus berkarya jika ingin tetap disebut pengarang.
(Anindita S Thayf Esais dan novelis)