Panggung dan kerumunan penonton sudah saatnya bukan menjadi persoalan dalam kesenian. Seniman tradisional penting mempertimbangkan sifat plastisitas seni virtual ini dalam berkarya.
Oleh
DAMAR TRI AFRIANTO
·4 menit baca
Medium virtual menjadi siasat determinan ketika seni harus beradaptasi dengan pandemi ini. Pandemi telah mempertemukan kehidupan seni dengan trajektori yang dibangun melalui model mekanisme jaringan digital (cyberspace). Di dalam platform digital inilah seniman memiliki alternatif ruang untuk menyatakan gagasan dan imajinasi artistiknya.
Meski di dalam ruang maya ini tak sepenuhnya memuaskan hasrat pengalaman estetis baik seniman maupun penikmat seni, medium ini justru terus dikembangkan sebagai sebuah wadah terbuka yang akan terus diisi dengan ide-ide dan gagasan yang baru.
Teater, tari, seni rupa, dan musik perlahan menemukan identitas dan esensi baru di arena platform virtual. Sambil tetap sebagian kelompok seni menginisiasi pergelaran seni secara langsung dengan pertimbangan protokol kesehatan.
Di tengah kerawanan penularan Covid-19 yang masih mengkhawatirkan, tampaknya aktivitas kesenian virtual masih menjadi tumpuan untuk tetap menjaga ekosistem kesenian tetap hidup. Penting untuk menjadi bahan diskusi terkait seni virtual kini bukan lagi bagaimana menyajikan seni atau semata memindahkan panggung dan galeri seni di dalam platform media virtual, tetapi kesadaran tentang sifat-sifat plastisitas di dalam seni yang harus dipahami.
Artinya, karya seni virtual bukan semata-mata menjadikan aspek digital dan virtualitas sebagai kredo yang mengatur karya seni, melainkan karya seni itu sendiri yang menjadi subyek utamanya yang bersifat plastis dalam arti sifat yang lentur, terbuka, dan dapat dibentuk bagaimanapun.
Oleh karena itu, dimungkinkan aspek digitalisasi dan virtualitas bukan menunjuk pada medium karya seni, melainkan menjadi ”karya seni” itu sendiri. Kita bisa menengok sejarah bahwa persoalan medium ini dalam rentang perkembangan seni selalu menjadi diskusi panjang yang menarik.
Medium dan ruang
Medium dan ruang merupakan salah satu terma pokok komunikasi di dalam seni, bahkan di dalam sejarah perkembangan seni, medium dan ruang selalu diwacanakan di setiap zaman. Sejarah estetika terutama di ”Barat” menampakkan bagaimana seni dan mediumnya selalu bersifat dinamis sehingga praktik eksplorasi tentang medium tak pernah selesai.
Semenjak era Yunani klasik, renaisans, dan memuncak di modern hingga pascamodern, persoalan medium selalu menjadi perhatian penting karena dari sanalah kita dapat melihat jejak panjang kreativitas itu dibentuk secara menakjubkan. Hari ini kita menyaksikan bahwa seni telah bertansformasi menjadi media itu sendiri.
Kini, telah sampai pada sebuah pengertian bahwa kehadiran serta interaksi langsung karya seni dengan penontonnya bukan satu-satunya yang mampu melahirkan pengalaman estetik, melainkan kemampuan mengeksplorasi medium turut mendukung hadirnya pengalaman katarsis dan rasa sublimasi.
Seni virtual memang meniadakan pertemuan langsung antara karya seni dan penonton, interaksi mereka diperantarai oleh persepsi visual yang melayar di dalam sebuah frame gawai atau laptop. Selayaknya orang yang sedang menonton film atau video di kamarnya, penonton menjelajahi pengalaman estetisnya dari apa yang dirasakan dari karya seni yang dihadapi.
Tubuh dan mata penonton memang tidak langsung ”ada” di dalam nuansa karya seni selayaknya interaksi langsung, tetapi komunikasi seperti ini masih menjalin sebuah interaksi estetis. Merleau Ponty melalui teori kebertubuhan manusia memberi tesis bahwa ”tubuh dan segenap kebertubuhan adalah cara kita berkomunikasi dengan waktu dan ruang”, artinya tubuh kita menyediakan persepsi di dalam ruang dan waktu di mana pun, tak terkecuali di ruang virtual sekalipun.
Plastisitas
Pandemi ini turut membukakan sebuah diskusi baru di dalam dunia seni, definisi rigid apa itu pertunjukan teater, pameran seni rupa. gelaran tari, dan konser musik seolah teralienasi perlahan oleh arus virtualitas yang berkembang selama pandemi.
Yang terjadi saat ini adalah fenomena perubahan fundamental tentang persepsi kita dalam melihat ataupun berkarya seni. Kebertahanan seni virtual kini bukan pertama-tama bagaimana mempersoalkan digitalisasi atau virtualisasi sebagai media—karena media telah melebur—tetapi mendudukkan seni pada sifatnya yang plastis.
Meminjam konsep plastisitas yang dikemukan oleh Yasraf Amir Piliang dalam buku Setelah Dunia yang Dilipat bahwa sebuah karya seni juga memiliki kekuatan membentuk dan menerima bentuk. Konsep plastistitas ini terutama memberikan pemaknaan bahwa seni tidak rigid tak terkecuali seni tradisi sehingga mampu menjadi wahana keterbukaan bagi gagasan, medium, dan ruang dalam karya seni. Plastisitas inilah sebenarnya hakikat seni pada awal mulanya.
Seniman tradisi dalam hal ini penting untuk mempertimbangkan sifat plastisitas ini di dalam berkarya. Mereka sangat mungkin mengembangkan kapasitasnya untuk memodifikasi dan menyesuaikan diri di tengah situasi pandemi. Panggung dan kerumunan penonton sudah saatnya bukan menjadi persoalan dalam kesenian. Pilihan untuk tetap bertahan dalam platform virtual seharusnya bukan lagi menempatkannya sebagai medium semata, melainkan virtualitas adalah karya seni itu sendiri.
(Damar Tri Afrianto, Pengajar di Program Di Luar Domisili (PDD) ISI Surakarta Embrio Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan)