Seperti Nagara Krtagama, andaikata tidak ditulis di lontar, melainkan di media digital, saya ragukan jangan-jangan malah tidak bisa dibaca oleh anak cucu sampai sekarang.
Oleh
Bre Redana
·4 menit baca
Sebelum konsep politik kebinekaan lahir, Indonesia sangat beragam. Sangat indah. Lima ratus kartu pos yang dihimpun oleh Scott Merrillees dalam coffee-table book berjudul Faces of Indonesia (Hanusz Publishing LLC, 2021) memuat foto-foto kartu pos dari Sabang sampai Merauke pada kurun waktu 1900-1945. Tidak sekadar mengumpulkan, Merrillees menyertakan esai-esai dari hasil riset dan pengelanaan dia ke sejumlah daerah yang fotonya terabadikan dalam kartu pos.
Dari pulau paling barat, terekam gambar para pejabat Pulau Weh alias Sabang. Mereka berpose di depan rumah tradisional setempat. Necis dalam pakaian adat Aceh lengkap dengan rencong. Suku bangsa dengan martabat tinggi ini dulu membuat Belanda frustrasi di Aceh.
Daerah paling timur Indonesia yang kita cintai, Merauke, diwakili sejumlah foto dari beberapa suku. Keliru semasa kecil saya bermimpi ingin seperti suku Sioux, Indian. Foto lelaki Merauke yang terpampang di kartu pos tahun 1930 tak kalah gagah dari suku mana pun.
Foto paling banyak tak pelak lagi Jawa. Dari berabad-abad silam sebelum Bali mencuri perhatian, Jawa adalah pulau yang membuat para pendatang jatuh hati. Merrillees mengawali dengan esai, mengutip puja-puji para penulis Barat terhadap Jawa. Pengarang Amerika, Eliza Ruhamah Scidmore, pada pengantar buku Java: The Garden of the East, pada tahun 1897 menggambarkan Jawa sebagai ”pulau kaya raya dengan keindahan dan keajaiban”.
Terasa sendu melihat foto-foto Salatiga pada zaman itu. Ada foto puluhan bocah berpose di depan sekolah di daerah Kaliceret. Sekarang Kaliceret kira-kira terletak di dekat Kedungjati.
Jadi ingat satu buku yang menceritakan bagaimana pada masa itu, penyair besar Perancis, Arthur Rimbaud, mendarat di Jawa. Ketika itu ia bergabung dengan tentara Belanda. Dari Batavia bersama semua pasukan dia dibawa naik kereta ke Semarang, dari Semarang pindah kereta ke KedungJati, dari Kedungjati ke Tuntang, dari Tuntang berbaris jalan kaki menuju Salatiga. Inilah salah satu kawasan tercantik di Jawa. Dulu, hemm, ada gadis manis di Tuntang.
Kita mengenal beragam busana yang dikenakan di sejumlah daerah pada masa itu. Amat eksotis, tak terkecuali foto wanita Sunda tahun 1930 yang secara pribadi menarik perhatian saya. Geulis. Tidak kurang banyaknya pula foto wanita dari sejumlah daerah, termasuk di Jawa, bertelanjang dada. Pada masa itu akhirat belum jadi komoditas.
Benar juga, kekhawatiran manusia—termasuk terhadap kematian—sejatinya bukan akan kehilangan masa depan, melainkan kehilangan masa lalu. Kekayaan masa lalu itulah yang berangsur-angsur hilang. Ramainya kata ’toleransi’ semata-mata membuktikan bahwa kita menggigil merasakan bagaimana perbedaan teramat dipermasalahkan sekarang. Apa yang kita makan, minum, kenakan di badan, ucapkan, bahkan ucapan untuk menyelamati kegembiraan dan kebahagiaan seseorang dipersoalkan keabsahannya.
Kini kita hidup di luar ruang waktu kita, sejarah kita, bumi kita. Setelah kecantikan alami Sumatera dan Jawa yang pernah mendapat sebutan Mooi Indie karut-marut, kesakralan hutan-hutan Kalimantan dan Papua porak poranda, terhadap alam kita melakukan facelift. Permukaan wajah alam kita rias dengan cat warna-warni, ditambah menara Pisa, Eiffel, dan kincir angin.
Huruf-huruf sebesar gajah dipasang menjadi penanda tempat, meniru yang pernah dilakukan Amsterdam. Di Amsterdam sendiri tulisan itu telah dibongkar. Pemerintah dan masyarakat setempat sebal terhadap banyaknya turis ber-selfie di situ. Sumpah memang menyebalkan.
Kita tengah kesurupan wisata digital, seperti kegemaran seorang pejabat tinggi kepariwisataan terdahulu. Banalitas turis massal mengobrak-abrik apa saja di mana saja, dalam bahasa mereka, demi konten. Apa itu konten, kalau ada pembaca tidak paham, saya tidak mampu menerangkannya. Kita senasib.
Seperti Nagara Kertagama, andaikata tidak ditulis di lontar, melainkan di media digital, saya ragukan jangan-jangan malah tidak bisa dibaca oleh anak cucu sampai sekarang. Begitu pun foto-foto yang diabadikan oleh pemburu konten dengan piranti digital. Apakah yang kita unggah termasuk foto instagramable pejabat tinggi kepariwisataan yang saya maksud tadi, bakal masih bisa dinikmati pada abad-abad mendatang?
Dugaan saya tidak, dan bagi saya itu kabar baik. Artinya kita tidak mewariskan kenang-kenangan tidak bermutu kepada anak cucu.