Kudeta Myanmar, dalam Perspektif Perbandingan
Alih-alih sesuatu yang muncul dari gerakan akar rumput, sifat dari demokratisasi Myanmar adalah demokratisasi yang “diberikan” dari atas. Rezim militer tetap ingin memegang kendali.
Upaya Myanmar dalam sepuluh tahun terakhir menghadapi jalan terjal demokratisasi akhirnya kandas pada Senin, 1 Februari.
Di pagi buta, militer Myanmar —dikenal dengan Tatmadaw– menangkapi para menteri, anggota parlemen, dan aktivis di Nyapyidaw dan Yangon. Termasuk penangkapan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, sekutu Suu Kyi di partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Kudeta terhadap pemerintahan sipil yang sah ini diikuti dengan pengumuman: pengambilalihan pemerintahan oleh militer selama satu tahun ke depan dan penunjukan pejabat presiden sementara. Tetapi kekuasaan absolut diberikan kepada Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi Tatmadaw.
Sejauh ini dilaporkan belum ada gejolak atau kekerasan berarti. Berbeda dengan kudeta gagal Turki di 2016, di mana dengan cepat ribuan orang turun ke jalan berhadap-hadapan dengan tentara hingga menimbulkan korban jiwa. Hal serupa tak ditemukan di Myanmar.
Ini mungkin saja karena plot kudeta sudah disiapkan sedemikian rapi sehingga koneksi internet, televisi, dan transaksi keuangan dilaporkan lumpuh seketika. Jalan-jalan utama di kota besar diblokade. Selain itu bayang-bayang kekerasan militer terhadap pengunjuk rasa mungkin masih membekas. September 1988, ribuan pengunjuk rasa yang menuntut reformasi politik dan ekonomi tewas diberondong peluru tajam.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa demokratisasi sedemikian sulit diteruskan? Apa pelajaran yang bisa kita petik dari dan untuk Indonesia yang juga pernah menjalani tahun-tahun kelam di bawah kekuasaan tentara?
Pertama-tama harus dikatakan, pengaruh junta militer sangat berurat akar di Myanmar.
Junta militer
Pertama-tama harus dikatakan, pengaruh junta militer sangat berurat akar di Myanmar. Kudeta tentara 1962 membuat institusi politik tentara berkuasa hingga setidaknya 2011. Skala kekuasaan militer di Myanmar secara formal melebihi Orde Baru.
Sebagai ilustrasi, rasio pengeluaran militer tertinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang pernah dijalankan Orde Baru adalah 3,4 persen di 1975 (tahun 2019, pengeluaran militer kita hanya 0,7 persen), sementara Myanmar mencatat rekor 6,8 persen tahun 1963 dan 2,7 persen di 2019. Rata-rata 10 tahun terakhir rasio pengeluaran militer Myanmar ada di angka 3,6 persen.
Pada tahun 2008, militer secara sepihak mengamandemen konstitusi negara. Terdapat provisi yang mewajibkan posisi-posisi kunci seperti menteri dalam negeri, menteri keamanan, dan menteri perbatasan wilayah diberikan kepada perwira militer aktif. Selain itu posisi wakil presiden juga menjadi hak tatmadaw. Dan yang tak kalah penting; hak penunjukan langsung (reserved seats) fraksi tentara sebanyak 25 persen dari jumlah kursi di parlemen nasional.
Semua keistimewaan ini membuat pada dasarnya transisi pemerintahan sipil yang terjadi tahun 2011 bersifat kuasi-demokrasi. Siapapun yang memegang kendali pemerintahan akan terbendung fakta bahwa instalasi institusi militer sudah mencengkeram sedemikian rupa.
Dalam konteks itu kita memahami keputusan NLD untuk tak ikut serta pada pemilu nasional, November 2010. Ada kekecewaan dari Suu Kyi dan kaum aktivis pendukung NLD bahwa pemilu ketika itu hanya akan dijadikan alat militer untuk memugar kembali legitimasi mereka di mata publik.
Jika pun NLD menang, mereka tahu bahwa upaya untuk mengamandemen konstitusi akan menemui jalan buntu karena undang-undang menyebutkan bahwa amandemen hanya bisa dijalankan jika pengusung mendapatkan dukungan 75 persen kursi di parlemen.
Ini berarti militer Myanmar, selain berperan aktif secara politik dan memiliki kendali penuh soal keamanan, juga pada dasarnya memiliki hak veto terhadap undang-undang dasar.
Singkat cerita, tanpa kehadiran NLD, Pemilu 2010 akhirnya dimenangi oleh partai USDP – partai sekutu tatmadaw – dengan perolehan lebih dari 50 persen suara. Kemenangan ini tampaknya membuat junta militer cukup percaya diri untuk membuka keran politik. Ini karena dengan kerja sama antara USDP dan fraksi tentara saja, mereka sudah menguasai lebih dari 75 persen kursi.
Dari sini kita paham alasan mengapa demokratisasi terbatas dilakukan pada sepuluh tahun lalu.
Alih-alih sesuatu yang muncul dari gerakan akar rumput, sifat dari demokratisasi Myanmar adalah demokratisasi yang “diberikan” dari atas. Suu Kyi dibebaskan dari dekaman tahanan rumah pada 2010. Selain itu, seperti pengalaman Indonesia di awal transisi, pemerintah Myanmar segera memberikan amnesti terhadap tahanan politik, melepaskan sensor media, dan mendirikan komisi hak asasi manusia.
Puncak simbolisasi dari demokratisasi ini adalah kunjungan Presiden Barack Obama tahun 2012 yang dibarengi dengan pencabutan sanksi internasional terhadap Myanmar.
Konsekuensi dari demokratisasi yang "diberikan" adalah ia rawan untuk diambil kembali.
Konsekuensi dari demokratisasi yang “diberikan” adalah ia rawan untuk diambil kembali. Dalam konteks Myanmar, junta militer adalah pihak yang mendorong terjadinya demokratisasi tersebut, tetapi militer pula yang menentukan seberapa jauh demokratisasi itu boleh dijalankan.
Celakanya bagi rezim militer – dan mungkin ini hal yang tak disadari – demokratisasi itu ibarat bola liar. Sekali ia dimainkan, satu ketidaksengajaan (atau kecerobohan) bisa menyebabkan gol bunuh diri. Dalam politik yang dinamis pada medio 2011-2015, siapa yang menyangka Suu Kyi menjadi demikian menonjol dan populer, baik di dalam dan luar negeri? Siapa yang menyangka NLD akan langsung memenangi Pemilu 2015 dengan perolehan 60 persen suara?
Pada titik ini lah saya kira dilema politik militer itu muncul. Militer bertaruh melakukan demokratisasi dengan asumsi yang keliru. Sementara di sisi lain, NLD juga memiliki keterbatasan untuk mendorong reformasi yang lebih substansial. Kedua pihak memiliki rasa curiga dan ketidaksukaan satu sama lain sehingga menyulitkan kemungkinan jalan tengah yang bisa diambil.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara terbaik keluar dari situasi pelik semacam ini?
Distingsi rezim militer
Dari pengalaman banyak negara yang mengalami transisi politik dari rezim militer ke supremasi sipil, sebetulnya tak ada formula baku menjawab pertanyaan di atas. Tetapi benang merah dari studi perbandingan politik militer adalah kemunculan perlahan-lahan sikap moderasi di tengah-tengah perselisihan.
Studi klasik sipil-militer, misalnya, menunjukkan ketidakmampuan inheren militer dalam menjalankan ekonomi modern yang teknokratis akan menyebabkan militer pada akhirnya bergantung pada administrasi sipil. Selain itu disebutkan bahwa stabilitas dari rezim militer yang berkolaborasi dengan aparatur sipil akan membuatnya lebih durable, sehingga cenderung lebih bisa beradaptasi dalam dinamika politik dan ekonomi domestik.
Hal ini lah yang terjadi di Brasil dan Argentina tahun 1960-an - 1970-an. Rezim militer secara institusional memegang kendali kekuasaan. Tetapi, karena rezim memiliki tekanan untuk segera mendatangkan pertumbuhan ekonomi, urusan ekonomi didelegasikan kepada para teknokrat yang berpengalaman.
Dalam kasus Indonesia era Orde Baru, Hal yang sama tampaknya terjadi.
Dalam bahasa O’Donnel (1973), militer di dua negara Amerika Latin tersebut menjalankan apa yang dia sebut sebagai otoritarianisme-birokratis, yakni sejenis model pemerintahan yang menggabungkan kediktatoran dengan partisipasi politik terbatas, tetapi pada saat yang sama memiliki komitmen kuat terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang sangat konservatif.
Dalam kasus Indonesia era Orde Baru, hal yang sama tampaknya terjadi. Namun dalam konteks transisi politik 1998-1999, ia dibarengi dengan kemunculan beberapa faksi reformis dari ABRI yang menginginkan dwi-fungsi dikurangi, bahkan dihilangkan, agar ABRI menjadi lebih profesional. Sementara dalam kasus Brasil dan Argentina, transisi politik terjadi lebih cepat. Presiden sipil terpilih untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun di Brasil pada 1985 dan Argentina di 1983.
Jika perkembangan hari ini adalah tolak ukurnya, hal yang sama tampaknya sulit diharapkan terjadi di Myanmar. Ini karena boleh jadi rezim militer di Myanmar bisa dinamakan apa yang Barbara Geddes (2014) sebut sebagai rezim militer kolegial, alih-alih rezim militer personal atau orang kuat (strongmen military regime).
Dalam rezim militer kolegial, kemunculan faksionalisme jarang terjadi. Ini karena pemimpin militer bergantung pada kerja sama dan soliditas bawahannya dalam memastikan kelangsungan rezim. Selain itu, pemimpin militer rezim kolegial wajib memiliki komitmen-komitmen yang kredibel terhadap kelompoknya untuk mencegah potensi konflik yang bisa saja menggerus kekuasaannya.
Dalam rezim militer kolegial yang disiplin, pengambilan keputusan bersifat institusional. Sementara dalam rezim militer personal, sikap dan kebijakan bergantung pada sosok individu. Juga di dalam rezim militer kolegial, perubahan strategi dalam rangka beradaptasi dengan perubahan politik dan ekonomi adalah hal yang biasa terjadi.
Sementara dalam rezim militer personal, adaptasi serupa tidak akan terjadi karena justru perubahan dari luar yang harus menyesuaikan dengan watak otoritarian rezim personal.
Ini adalah pesan penting dari artikel yang ditulis Roger Lee Huang, seorang ahli politik Myanmar. Dalam tulisan panjangnya di jurnal Contemporary Politics tahun 2014 (“Re-thinking Myanmar’s political regime”), Lee Huang berkata bahwa reformasi politik yang terjadi tahun 2011 justru merupakan bagian dari re-evaluasi dan perubahan strategi rezim militer dalam menyesuaikan diri dengan keadaan.
Tetapi perubahan ini bukan dengan tujuan memberikan tampuk kekuasaan ke aparat sipil, dan bukan pula merupakan “niat baik” menjalankan reformasi, sebagaimana anggapan banyak publik internasional ketika itu.
Militer, sekalipun tidak memegang pucuk tertinggi kekuasaan kala itu, pada dasarnya berhasil menciptakan pakta tak tertulis dengan pemimpin sipil dalam bentuk reserved domain, alias wewenang-wewenang politik utama buat kaum bersenjata. Dengan demikian, meskipun NLD memenangkan pemilu di 2015 dan 2020, desain institusional dari politik militer di Myanmar tetap memberikan keleluasaan bagi Tatmadaw menjalankan peran penting dalam politik di negara tersebut.
Secara retrospektif kita bisa mengatakan, ibarat barat bom waktu, kudeta 1 Februari adalah sesuatu yang cepat atau lambat akan terjadi.
(Noory Okthariza, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Jakarta)