Becermin pada Indeks
Rilis EIU dan TI adalah cermin wajah Indonesia di dunia. Cermin itu seharusnya jadi momentum berbenah. Berbenah merawat demokrasi, membuka partisipasi publik agar tidak kembali ke zaman kegelapan.
Indonesia dalam darurat korupsi menggelinding ke
lubang gelap tidak berdasar. Memberantas korupsi tak bisa dengan sikap biasa. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus diberantas. Diberantas tak hanya dengan hukum konvensional, tetapi juga perlu kebijakan dan tindakan politik.
- Prof Dr Azyumardi Azra
Terasa sekali kegeraman Profesor Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, dalam kolomnya di Kompas, 4 Februari 2021. Dan itu bukan sekali. Data Pusat Informasi Kompas 2011-2021 menunjukkan, paling tidak tercatat delapan kolomnya membahas korupsi. Tema lain adalah masa depan demokrasi.
Konsistensi Azyumardi berteriak soal korupsi seakan merekam kegalauan masyarakat sipil di tengah pertarungan narasi di ruang publik. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali, bencana alam yang mengepung, serta ekonomi yang tak kunjung pulih, narasi publik seperti dibajak dengan isu kudeta partai politik, saling sindir nir substansi antarelite. Sepertinya ada kesenjangan antara kenyataan dan narasi yang diproduksi. Azyumardi menjadi ”muazin” bangsa yang terus berteriak soal ancaman korupsi dan bahaya meredupnya demokrasi. Namun, siapa yang peduli?
Ketika nilai Indonesia di Indeks Persepsi Korupsi 2020 dari Transparency International (TI) melorot, skor Indonesia pada Indeks Demokrasi 2020 yang disusun The Economist Intelligence Unit (EIU) ikut merosot. Laporan EIU menunjukkan bahwa secara global indeks demokrasi dunia menurun dibandingkan pada 2019. Skor indeks demokrasi global 2020 menyentuh angka 5,37 dari indeks sebelumnya 5,44. Pandemi memengaruhi merosotnya demokrasi.
Baca juga: Darurat Korupsi
Di Indeks Demokrasi EIU 2020, Indonesia berada di peringkat ke-64 dengan skor 6,3. Pada 2019, skor Indonesia 6,48. Skor Indeks Demokrasi Indonesia terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy).
Rilis EIU dan TI adalah cermin wajah Indonesia di dunia. Cermin itu seharusnya jadi momentum berbenah. Berbenah merawat demokrasi, membuka partisipasi publik agar tidak kembali ke zaman kegelapan. Juga momentum berbenah mengeliminasi benalu korupsi.
Langkah radikal mengeliminasi benalu korupsi dicoba untuk dilakukan. Gebrakan Kejaksaan Agung mengungkap kasus Asuransi Jiwasraya dan Asabri patut diapresiasi. Persidangan kasus Jiwasraya digelar. Terdakwa dihukum seumur hidup dan membayar uang pengganti total Rp 16 triliun. Sementara untuk kasus Asabri nilai kerugian negara yang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sementara ini, mencapai Rp 23 triliun. Dua mantan direktur utama Asabri ditetapkan sebagai tersangka. Begitu juga dengan pihak swasta, yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
Pengungkapan kasus Jiwasraya, Asabri, dan BPJS Ketenagakerjaan harus dilakukan dengan saksama. Kasus itu melintasi berbagai rezim undang-undang. Rezim UU korupsi, rezim UU asuransi, dan rezim UU Pasar Modal. Hal yang harus diingat, dana publik ada di sana. Dana publik, nasabah, prajurit TNI-Polri, dan pekerja atau buruh.
Kehati-hatian diperlukan agar tidak menimbulkan kegelisahan sosial. Kepercayaan pada pasar modal dan kepentingan publik harus menjadi perhatian utama. Definisi kerugian negara yang disebut BPK perlu dipertajam? Apakah sama dengan potential loss atau unrealized loss dalam dunia pasar modal?
Dugaan mega korupsi ini paling tidak mengindikasikan rapuhnya moral pengelola dana publik, termasuk para pengawas. Begitu juga dua menteri utusan partai politik yang tega mengeruk keuntungan di tengah pandemi. Jika kerusakan akibat korupsi begitu dahsyat, apa yang mau dilakukan? Kemuakan publik soal perilaku korup harus ditangani.
Penerima Nobel Perdamaian dari Kosta Rika, Oscar Arias Sanchez, pernah mengatakan, skandal korupsi berkepanjangan mengecewakan rakyat dan membuat rakyat frustrasi. Perlawanan bisa terjadi. Partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokan dan kian dikecam warga yang ingin menjauhkan diri dari pengambilan keputusan politik. Tatkala partai politik ditinggalkan, demokrasi menjadi suatu sistem yang lumpuh.
Korupsi di depan mata. Bantuan sosial dikutip. Kebijakan ditukar dengan komisi. Dana publik dimainkan untuk meraup keuntungan sebesar mungkin, entah untuk memperkaya siapa. Di sinilah sistem harus dibangun. Jika penentuan kabinet didasarkan pada asas keterwakilan parpol, mungkinkah dibuat konsensus, ketika kader partai yang jadi menteri korupsi, partai itu kehilangan hak mencalonkan kadernya di kabinet. Hak politik harus dicabut dalam kurun waktu tertentu. Ini momentum membersihkan benalu korupsi.
Seorang yang pernah membantu pemerintahan mengirim pesan kepada saya. ”Saat ini, keteladanan sulit didapat.” Padahal, sejarah masa lalu pernah mengajarkan nilai keutamaan. Kapolri 1968-1971, Hoegeng Iman Santoso, merupakan contoh menarik.
Seperti dikisahkan dalam Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono, saat dipensiun di usia 49 tahun, Hoegeng sungkem kepada ibunya. ”Saya tak punya pekerjaan lagi, Bu,” kata Hoegeng. Sang ibunda menjawab tenang; ”Kalau kamu jujur dalam melangkah, kami masih bisa makan hanya dengan nasi dan garam.” Itu tahun 1971. Nilai keutamaan yang sulit ditemukan sekarang.