Harapan terbesar dalam penanganan kanker adalah agar masyarakat dan pemangku kepentingan terkait terus memberi perhatian khusus pada kanker dan bergerak ke depan dengan penggunaan teknologi inovatif.
Oleh
SOEHARTATI A GONDHOWIARDJO
·6 menit baca
Peringatan Hari Kanker Sedunia (World Cancer Day/WCD) tahun ini terasa beda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tidak banyak kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam skala besar. Pandemi Covid-19 juga mengubah secara drastis lanskap penanganan penyakit dan infrastruktur kesehatan, diiringi segala upaya agar tetap mampu menjaga kualitas penanganan penyakit.
Di satu sisi, pandemi memaksa orang peduli masalah kesehatan sehingga terjadi peningkatan pemahaman dan kesadaran publik yang signifikan akan kesehatan dan kebersihan. Di sisi lain, jumlah orang yang tertular virus korona di Tanah Air telah melampaui satu juta kasus aktif, yang berimplikasi menggeser fokus perhatian pada pencegahan dan penanganan penyakit mematikan lainnya, yakni tipe penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular.
Hari Kanker Sedunia yang diperingati pada 4 Februari 2021 masih mengusung tema ”I Am, and I Will” dapat menjadi titik balik untuk mengatasi dua tantangan besar, yakni perbaikan sistem infrastruktur kesehatan penanganan dan pengobatan kanker dan pencegahan melalui peningkatkan kesadaran masyarakat.
Tema ”I Am, and I Will” menjadi relevan, mengingat hingga saat ini hampir 70 persen kasus kanker di masyarakat masih datang ke fasilitas kesehatan saat sudah memasuki stadium kanker lanjut dan lanjut lokal sehingga terlambat mendapat bantuan medis dari para profesional. Hal itu berdampak negatif dalam penanganan dan pengobatan, proses bedah, kemoterapi, dan radioterapi yang kompleks, hingga peningkatan biaya dan beban negara dalam jaminan kesehatan nasional.
Para pemangku kepentingan perlu segera mengatasi tantangan sistem infrastruktur kesehatan dari sisi hulu hingga peningkatan kesadaran publik tentang pencegahan dan deteksi dini penyakit kanker.
Teknologi kesehatan
Pada masa pandemi, Instalasi Pelayanan Terpadu Onkologi Radiasi (IPTOR) Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) terus mengutamakan dan melakukan protokol kesehatan secara ketat. Alat pelindung diri (APD) berlapis dengan beragam spesifikasi untuk penanganan beragam penyakit, penempatan pekerjaan di lokasi yang berbeda-beda, skrining masuk gedung, penerapan 3M bagi semua, disinfeksi peralatan dan ruangan, cuci tangan, pemeriksaan tes cepat antibodi dan tes usap PCR secara rutin, hingga melakukan pembatasan kunjungan dan pengantar pasien.
Peran teknologi dan ilmu pengetahuan kesehatan yang inovatif makin terasa signifikan dalam menjaga kenyamanan pasien kanker dan keselamatan petugas kesehatan. Teknologi dan ilmu pengetahuan kesehatan, khususnya di bidang onkologi radiasi, terus berkembang mulai dari teknologi tradisional 2 dimensi dan 3 dimensi, teknologi Modern Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT), Image Guided Radiotherapy (IGRT), dan juga teknologi stereotactic, hingga teknologi proton (saat ini belum tersedia di Indonesia).
Mengapa teknologi kesehatan inovatif penting khususnya teknologi radioterapi? Pertama, untuk menurunkan efek samping dari terapi yang dilakukan. Kedua, untuk meningkatkan efektivitas pengobatan secara bermakna. Ketiga, meringankan beban ekonomi pasien terkait berbagai biaya yang biasa dikeluarkan pasien (kebutuhan akomodasi, transportasi, konsultasi), dan meningkatkan produktivitas pasien serta keluarga tanpa harus mengurangi efektifitas terapi.
Tantangan gap system
Yang juga perlu mendapat perhatian para pihak adalah masalah gap system yang harus segera diatasi. Berdasarkan prediksi WHO, penyakit kanker masih dan akan terus meningkat. Diperkirakan akan terjadi peningkatan 62,6 persen kasus kanker baru di Indonesia tahun 2040 menjadi 645.436 kasus dari tahun 2020 yang berjumlah 396.914 kasus. Prevalensi penyebaran penyakit ini juga semakin bergeser ke kelompok usia produktif karena pola hidup mereka yang buruk.
Pendekatan sistem infrastruktur kesehatan harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak secara lintas sektor: antara organisasi profesi untuk meningkatkan kapasitas dan keahlian, pemerintah untuk menyediakan regulasi dan infrastruktur yang suportif pada percepatan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, serta swasta yang memberikan akses dan percepatan pada pemerataan layanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia, khususnya penyediaan kebutuhan pengobatan kanker per wilayah.
Kesadaran deteksi dini
Lantas, apa yang bisa dilakukan dari sisi hilir, khususnya masyarakat Indonesia secara umum?
Sebenarnya pada tahun 2017 telah terbit Intruksi Presiden (INPRES) No 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) termasuk peran lintas kementerian/lembaga yang bila diimplementasikan dengan tegas, tepat pada lintas instansi secara terintegrasi, niscaya akan menurunkan secara bermakna angka kejadian kasus penyakit tidak menular termasuk kanker. Faktor risiko yang paling penting khususnya adalah tentang merokok, yang penanggulangannya sesungguhnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012.
Adapun faktor-faktor risiko yang perlu diwaspadai merupakan vektor penyakit yang rumit untuk dapat diatasi. Hal inilah yang menggarisbawahi perbedaan penanggulangan penyakit kanker sebagai penyakit tidak menular dengan penyakit menular langsung. Pada penyakit-penyakit menular, vektor-vektor, seperti virus atau nyamuk, dengan mudah disepakati semua pihak untuk dibasmi. Lain halnya dengan penyakit kanker karena vektor-vektornya banyak terkait industri, ekonomi, maupun politik sehingga eradikasinya pun tidak mudah.
Walaupun demikian, beragam langkah kecil sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat. Contohnya adalah mempraktikkan ”CERDIK” dan ”WASPADA”. Praktik hidup sehat untuk mencegah kanker, dan tentu berbagai penyakit lainnya, dapat diingat secara sederhana melalui kata ”CERDIK”, yang merupakan singkatan dari: Cek Kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Rajin olahraga, Diet seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.
Sementara ”WASPADA” adalah cara mudah untuk mengidentifikasi kanker melalui ”tubuh kita yang berbicara”. Kepanjangan dari ”WASPADA” adalah: Waktu buang air besar atau kecil dan perubahan kebiasaan atau gangguan, alat pencernaan terganggu dan susah menelan, suara serak atau batuk yang tak sembuh-sembuh, payudara atau di tempat lain terdapat benjolan, andeng-andeng (tahi lalat) yang berubah menjadi gatal dan besar, darah atau lendir yang abnormal keluar dari tubuh, juga adanya koreng atau borok yang tidak sembuh.
Apabila kita peka dan mengenal dengan baik tubuh dan diri kita sendiri, rasanya ketujuh langkah dari Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes tersebut dapat menjadi lampu kuning bagi masyarakat untuk segera memeriksakan diri. Tentunya gejala ”WASPADA” tersebut harus dilihat kembali pada lokasi dan bagian tubuh mana pasien merasakannya.
Layanan kesehatan di fasilitas kesehatan dasar, puskemas, bahkan telah memberikan pelayanan secara gratis screening dan deteksi dini kanker, seperti pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (IVA) untuk kanker mulut rahim, pemeriksaan payudara oleh tenaga medis (sadanis), dan bimbingan untuk periksa payudara sendiri (sadari), serta pemeriksaan colok dubur untuk kanker prostat, pemeriksaan darah samar untuk mendeteksi kanker usus besar.
Tiga situs web resmi P2PTM Kemenkes juga memberi bimbingan Waspada 7 Tanda Gejala Kanker untuk periksa kulit sendiri (SAKURI), serta pemeriksaan adanya mata kucing pada anak balita untuk kasus retinoblastoma, kanker mata pada anak-anak.
Peningkatan kesadaran masyarakat akan tindakan pengenalan dini gejala, apalagi adanya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang telah digulirkan Pemerintah Republik Indonesia melalui BPJS dan Kementerian Kesehatan yang menyediakan pemeriksaan kesehatan secara gratis, salah satunya kanker, seyogianya dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat.
Memang, pendekatan ini berpotensi terjadinya peningkatan angka prevalensi kanker dalam jangka pendek , akibat tingginya kasus kanker yang terdeteksi/terdiagnosis di masyarakat. Namun, fase ini memang harus kita lewati lebih dahulu.
Dengan penekanan langkah-langkah promotif dan preventif yang kecil namun konsisten, seperti perubahan pola hidup dan pemahaman menghindarkan faktor resiko (pencegahan primer), angka kesakitan dan kematian kanker pada lima tahun ke depan dan selanjutnya pasti akan menurun karena telah dilakukan penanganan dan pengendalian yang terukur sejak dini.
Usai kedua pendekatan sistematis hulu dan hilir tersebut dijalankan secara sinergis, harapan terbesar saya tentunya adalah agar masyarakat dan pemangku kepentingan terkait terus memberi perhatian khusus pada kanker dan bergerak ke depan dengan penggunaan teknologi inovatif. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat dan kuat tanpa perlu ketakutan akan kanker.
Soehartati A. Gondhowiardjo, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia