Juni nanti Iran akan mengadakan pemilu untuk memilih pemimpin baru. AS harus bersabar menunggu rezim baru Iran terbentuk agar dapat memulai kembali perundingan pembatasan nuklir dan pencabutan sanksi ekonomi atas Iran.
Oleh
DARMANSJAH DJUMALA
·5 menit baca
Sejak 20 Januari kemarin rakyat Amerika punya pemimpin baru. Joe Biden dan Kamala Harris dilantik sebagai presiden dan wakil presiden AS. Sebagai presiden, Joe Biden sudah dihadang aneka masalah. Di dalam negeri, penanganan Covid-19, menggerakkan ekonomi dan mempersatukan rakyat yang terbelah menjadi prioritas. Di luar negeri, Biden dihadapkan pada situasi yang tidak kalah pelik: rencana kembali ke diplomasi multilateralisme.
Dalam masa kampanye pilpres kemarin, Biden mengatakan ingin bergabung kembali dengan kesepakatan global di bidang perubahan iklim. Begitu juga dengan isu nuklir dunia. Biden mengindikasikan niatnya menegosiasikan kembali pembatasan nuklir Iran. Di era Donald Trump, pada Mei 2018 AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015, yang isinya antara lain pembatasan nuklir dan sanksi ekonomi atas Iran.
Niat Biden kembali ke multilateralisme memberi angin segar bagi diplomasi multilateral. Tidak terkecuali diplomasi nuklir di badan atom dunia, IAEA (International Atomic Energy Agency), di Wina, Austria. Ketika AS di era Trump keluar dari JCPOA, banyak pihak menyayangkannya. Muncul keraguan, dengan hengkangnya AS, apakah Iran tetap committed untuk menghentikan program nuklirnya? Mungkinkah AS dan Iran – bersama China, Prancis, Rusia, Inggris dan Jerman - kembali ke meja perundingan?
Mana ada hal yang tak mungkin dalam diplomasi. Diplomasi adalah fungsi dari perubahan rezim. Perubahan rezim di AS mengindikasikan perubahan prilaku diplomasinya. Perundingan nukir Iran bisa saja dimulai kembali, meski tak mudah. Sebab, sepeninggal AS, isu nuklir Iran sudah terlanjur terpapar pada tiga dinamika politik nuklir yang sungguh dilematis.
Pertama, adanya perbedaan persepsi terkait keabsahan JCPOA pasca mundurnya AS. Tujuan AS keluar dari kesepakatan untuk membuka ruang manuver diplomasi dan politiknya terhadap Iran secara bilateral. Bukan lagi peserta JCPOA, AS merasa bebas menjatuhkan sanksi ekonomi secara bilateral, bahkan menyerang secara militer apabila Iran dengan kemampuan nuklirnya mengganggu kepentingannya di kawasan Timur Tengah.
Sedangkan peserta lainnya, terutama 3 negara Eropa (Inggris, Prancis dan Jerman), masih menganggap JCPOA tetap berlaku. Dan karenanya Iran harus tetap mematuhi komitmennya di JPOA, antara lain pembatasan pengayaan uranium, stok uranium dan air berat. Tapi tidak demikian menurut Iran.
Iran menegaskan, jika AS menarik diri dan tidak terikat lagi dengan kesepakatan JCPOA, mengapa pula pihaknya harus mematuhi perjanjian yang sudah ditinggalkan AS. Bukankah AS yang paling berkepentingan dengan JCPOA? Bagi Iran, dengan keluarnya AS dari kesepakatan, maka Iran tidak terikat lagi dengan komitmennya di JCPOA.
Hengkangnya AS dari kesepakatan justru dimainkan secara cerdik oleh Iran. Iran bersikukuh bahwa perjanjian multilateral JPOA sudah tidak ada artinya lagi karena AS, sebagai peserta utama, sudah keluar. Pada titik inilah Iran memanfaatkan situasi. Absennya AS dari kesepakatan mendorong Iran untuk melanggar batasan pengembangan nuklirnya.
Dalam amatan John Hannah, sejak AS meninggalkan JCPOA, Iran telah meningkatkan pengayaan uraniumnya sehingga mendekati kemampuan membuat senjata nuklir (Biden Shouldn‘t Rush to Restore the Iran Nuclear Deal, Foreign Policy, 18 Desember 2020). Dari laporan IAEA 11 November 2020, Iran telah melampaui batasan yang ditetapkan JCPOA terhadap program pengembangan nuklirnya.
Diungkapkan, sejak keluarnya AS, stok uranium Iran meningkat sangat signifikan menjadi 2.442 kg dari batas yang ditetapkan JCPOA 202 kg. Begitu juga dengan tingkat pengayaan uranium, meningkat menjadi 4,5% dari batasan JCPOA 3,6%. Bisa jadi langkah taktis ini disengaja oleh Iran. Sebab peningkatan pengayaan dan stok uranium yang sudah terlanjur ini bisa dijadikan daya tawar (bargaining position) bagi Iran manakala AS bersedia untuk berunding lagi.
Sangat mungkin Iran akan menggunakan prosentase pengayaan dan stok uranium yang baru ini sebagai titik pijak (departing point) jika perundingan akan dimulai lagi. Jelas pada titik ini diplomasi nuklir Iran menghadapi dilema jika Iran ngotot pada posisi ini.
Kedua, dinamika hubungan politik bilateral AS-Iran dalam beberapa tahun terakhir juga menghadirkan dilema. AS di bawah Trump adalah negara adidaya yang tega memainkan kekuatan untuk mengancam dan menghancurkan lawan. AS mengancam melakukan tekanan maksimal terhadap Iran sampai negara tsb. benar-benar meninggalkan program nuklirnya.
Ternyata itu bukan gertak sambal. Benar saja, Januari tahun silam Jenderal Qasem Soleimani, komandan pasukan Quds Garda Revolusi Iran, terbunuh di bandara Irak karena serangan drone AS. Tidak cukup dengan itu, ahli nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh, terbunuh pada November tahun yang sama.
Pembunuhan itu diduga dilakukan oleh intelijen Israel. Tapi jika itu terjadi ditengah konflik nuklir AS-Iran, sulit menafikan ketertaikannya dengan AS. Iran, melalui milisi Hisbullah yang didukungnya, melakukan balasan dengan menyerang kedutaan AS di Baghdad atas tindakan AS dan Israel itu. Tak ayal, aksi kekerasan telah menambah kerusakan mood politik antara kedua belah pihak.
Diplomasi butuh trust, kepercayaan. Jika benar Joe Biden ingin menghidupkan lagi diplomasi nuklir dengan kembali ke meja perundingan, mood politik yang sudah terlanjut rusak akan menjadi hambataan. Dibutuhkan kerja diplomasi ekstra dari kedua belah pihak untuk membangun saling percaya.
Ketiga, diplomasi nuklir Iran juga menghadapi dilema dalam konteks teknis verifikasi nuklir. Sebelum AS keluar dari kesepakatan JCPOA, IAEA menilai Iran selalu patuh terhadap komitmennya (compliance). Iran juga selalu memberi akses kepada inspektur IAEA untuk memeriksa instalasi nuklirnya untuk keperluan safeguard. Tapi setelah AS mundur, IAEA menemukan adanya isotopically altered particle of low enriched uranium, suatu indikator bahwa Iran melakukan pengayaan uranium.
Temuan ini bisa menjadi titik tengkar dalam diplomasi nuklir Iran di era Biden. Sebab, temuan itu bisa jadi dimainkan oleh Iran dengan dalih bahwa mereka lakukan itu karena AS mundur dari JCPOA. Jika AS mundur, Iran merasa tidak perlu patuh pada pembatasan yang termaktub dalam JCPOA. Argumentasi Iran ini valid, dan bisa menyulitkan diplomasi nuklir Biden selanjutnya.
Upaya Joe Biden untuk kembali ke diplomasi nuklir multilateral tidak mudah. Ketiga dilema di atas bisa menjadi penghalang. Karena diplomasi berbasis kepercayaan, maka yang perlu pertama kali dilakukan kedua belah pihak adalah berdialog agar tumbuh kepercayaan.
Diplomasi juga ditentukan rezim berkuasa. Juni nanti Iran akan mengadakan pemilu untuk memilih pemimpin baru. Sepertinya AS harus bersabar menunggu rezim baru Iran terbentuk agar dapat memulai kembali perundingan pembatasan nuklir dan pencabutan sanksi ekonomi atas Iran.
(Darmansjah Djumala, Penulis adalah diplomat bertugas di Wina, Austria; Dosen S3 Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung)