Berkembangnya praktik plagiarisme tidak terlepas dari target dan tuntutan publikasi. Para dosen diwajibkan menulis dan mengumpulkan poin (KUM) dalam jumlah tertentu untuk bisa mengajukan kenaikan jabatan fungsional.
Oleh
SHOLAHUDDIN AL-FATIH
·4 menit baca
Plagiarisme akademik kembali menjadi topik diskusi hangat di kalangan akademisi. Terbaru, kasus dugaan plagiarisme (self-plagiarism) menyasar rektor terpilih Universitas Sumatera Utara (USU) yang sudah dilantik oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (28/1/2021). Kemendikbud berdalih bahwa self-plagiarism tidak dikenal di Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ”plagiarisme” diartikan sebagai penjiplakan yang melanggar hak cipta. Sementara ”plagiat” dalam KBBI diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri.
Sementara berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.
Kekosongan norma hukum
Melihat definisi dan penjelasan tentang arti kata plagiarisme atau plagiat tersebut, secara normatif di Indonesia memang tidak berlaku jenis self-plagiarism. Sebab, terminologi plagiarisme dan plagiat hanya disematkan kepada seseorang yang mengambil karya orang lain dan itu diakui sebagai karya miliknya.
Kekosongan norma hukum inilah yang bisa menjadi celah berkembangnya praktik plagiarisme, terutama self-palgiarism di Indonesia.
Kekosongan norma hukum inilah yang bisa menjadi celah berkembangnya praktik plagiarisme, terutama self-plagiarism di Indonesia. Dengan demikian, dalam konteks ini, pemerintah seharusnya menanggapi dengan serius isu plagiarisme ini dengan menerbitkan aturan baru mengenai definisi, jenis-jenis plagiarisme beserta sanksinya. Tanpa adanya sanksi yang tegas, kasus plagiarisme akan terus terulang.
Sanksi plagiator
Sanksi yang dijatuhkan kepada plagiator beragam, bergantung pada besar dan kecilnya kesalahan yang dilakukan. Berdasarkan Pasal 12 Permendiknas No 17/2010, disebutkan beberapa sanksi bagi plagiator.
Sanksi tersebut, di antaranya, adalah teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak, penurunan/pencabutan jabatan fungsional, pemberhentian dengan hormat/tidak hormat, dan pembatalan gelar akademik yang diperoleh secara plagiat (disebutkan pula dalam Pasal 25 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Seharusnya sanksi tersebut berlaku dan mengikat bagi semua dosen tanpa memandang jabatan fungsionalnya. Tak peduli apakah jabatan fungsionalnya asisten ahli, lektor, lektor kepala, ataupun guru besar.
Masyarakat umum juga bisa memantau perkembangan kasusnya secara real time melalui laman Anjani (anjungan integritas akademik Indonesia) milik Kementerian Riset dan Teknologi- Badan Riset dan Inovasi Indonesia. Melalui Anjani, siapa pun bisa melaporkan dugaan plagiarisme dan akan di tindaklanjuti oleh tim Anjani untuk dilakukan penyelidikan. Jika terbukti plagiat, nama penulis, judul artikel, beserta jurnalnya akan ditampilkan di laman Anjani.
Sayangnya, mengandalkan kinerja Anjani saja tidak cukup. Masyarakat perlu membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus dalam mengawasi praktik plagiarisme, misalnya menggunakan nama Indonesia Plagiarism Watch atau sejenisnya. Keterlibatan LSM akan membuat pengawasan terhadap praktik plagiarisme menjadi lebih berimbang. Pola seperti ini sudah lazim dilakukan di luar negeri, sebagai bentuk kontrol masyarakat pada publikasi yang dilakukan para akademisi.
Target dan tuntutan publikasi
Berkembangnya praktik plagiarisme tidak terlepas dari target dan tuntutan publikasi. Para dosen diwajibkan menulis dan mengumpulkan poin (KUM) dalam jumlah tertentu untuk bisa mengajukan kenaikan jabatan fungsional.
Berkembangnya praktik plagiarisme tidak terlepas dari target dan tuntutan publikasi.
Padahal, dosen tidak hanya dibebani kewajiban untuk menulis, tetapi juga Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Alur kerja (workflow) yang cukup padat, bagi sebagian dosen, membuat mereka tidak sempat menulis. Di lain sisi, mereka dituntut untuk segera mengajukan kenaikan jabatan fungsional.
Kondisi inilah yang kadang menjadi dilema dan direspons secara ceroboh dengan menulis ulang artikel yang pernah terbit. Sayangnya, beberapa pengelola jurnal tidak memiliki kualitas dan waktu yang sama untuk melakukan cek plagiasi terhadap artikel yang masuk ke dapur redaksi.
Padahal, idealnya pengelola jurnal setidaknya melakukan dua hal untuk mencegah plagiasi. Pertama, cek plagiasi menggunakan bantuan aplikasi plagiarism tools, seperti Turnitin, I-Thenticate, dan sejenisnya. Kedua, menyodorkan surat perjanjian bermaterai tentang orisinalitas karya (umumnya berisi pernyataan bahwa karya tersebut tidak pernah dipublikasikan di tempat lain, baik sepenuhnya maupun sebagian).
Dengan dua cara tersebut, praktik plagiarisme bisa diminimalkan. Selain itu, perlu pengetatan cek persyaratan pengajuan kenaikan jabatan fungsional oleh Tim Penilai Angka Kredit (TPAK). Terhadap artikel yang dijadikan sebagai syarat kenaikan jabatan fungsional, perlu diteliti lebih mendalam, apakah ada kemungkinan terjerat plagiarisme atau tidak.
Jika pengelola jurnal dan TPAK sudah memastikan bebas plagiarisme, suatu artikel layak untuk dipublikasikan. Namun, jika hal-hal tersebut tidak dilakukan oleh pengelola jurnal dan TPAK, bisa jadi pengelola jurnal dan TPAK juga perlu mendapatkan sanksi atas sebuah kasus plagiasi.
Sholahuddin Al-Fatih, Dosen Fakultas Hukum UMM, Editor in Chief Legality: Jurnal Ilmiah Hukum