Dampak Mutasi Virus Covid-19
Di berbagai belahan dunia muncul varian baru virus pemicu Covid-19. Harapan kita, varian baru itu tidak masuk ke Indonesia. Namun, jika sudah masuk, segera diidentifikasi agar antisipasi dapat dilakukan dengan baik.
Covid-19 masih terus menjadi masalah dunia. Sampai akhir Januari 2021, sudah ada lebih dari 100 juta kasus di dunia dengan lebih dari 2 juta kematian pula. Data Indonesia juga masih terus meningkat.
Kasus baru kita sudah mencapai lebih dari 14.000 orang per hari dan angka kepositifan (positivity rate) sudah lebih dari 20 persen pula dan bahkan ada yang mendekati 30 persen. Hal ini menunjukkan penularan yang tinggi di masyarakat, suatu hal yang amat perlu diwaspadai dan ditangani dengan saksama.
Baca juga: ”Positive Rate” dan Protokol Kesehatan
Kita tahu bahwa peningkatan kasus di negara kita mungkin saja terjadi karena dampak libur akhir tahun yang lalu. Mungkin juga karena pandemic fatigue ketika protokol kesehatan jadi tidak ketat dilakukan lagi. Juga mungkin terjadi karena belum cukup banyak orang yang dites dan juga dilacak sehingga situasi di masyarakat belum terkendali. Di luar itu, perlu pula diperhatikan kemungkinan mutasi yang terjadi.
Kita tahu, Covid-19 disebabkan oleh virus SARS CoV-2. Virus pada umumnya memang selalu bermutasi dari waktu ke waktu. Kita kenal ada mutasi D614G virus penyebab Covid-19 yang sudah dikenal sejak Februari 2020. Mutasi ini disebutkan lebih mudah menular dibandingkan dengan yang asal mula ditemukan di Wuhan. Dalam perkembangan waktu, mutasi D614G menjadi cukup banyak di berbagai belahan dunia dan menjadi bagian dari pandemi sepanjang 2020.
Mutasi ini disebutkan lebih mudah menular dibandingkan dengan yang asal mula ditemukan di Wuhan.
Pada Desember 2020, Pemerintah Inggris melaporkan mutasi jenis baru, yang kini dikenal sebagai B.1.1.7. Laporan Pemerintah Inggris ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikaitkan dalam kerangka Regulasi Kesehatan Internasional (International Health Regulation/IHR) karena memang mutasi kali ini tampaknya lebih serius daripada mutasi sebelumnya.
Sepanjang Desember 2020 kemudian dilaporkan pula berbagai mutasi virus pemicu Covid-19. Yang paling banyak dikhawatirkan adalah mutasi B.1.351 dan E484K serta 501.V yang terjadi di Afrika Selatan.
Penularan, keganasan, dan PCR
Mutasi atau perubahan pada bagian virus akan menghasilkan virus dengan varian baru.
Secara umum ada empat hal yang kini dikaitkan dengan mutasi virus Covid-19 ini. Pertama, yang secara umum disepakati para pakar, pimpinan negara, dan organisasi internasional, seperti WHO, adalah varian baru virus Covid-19 yang sudah bermutasi ini memang lebih mudah menular. Bahkan ada laporan yang mengatakan, peningkatannya sampai 70 persen lebih tinggi.
Baca juga: Vaksinasi dan Ancaman Mutasi Virus
Beberapa negara melaporkan, varian baru ini mungkin jadi penyebab peningkatan kasus di negaranya, misalnya Vietnam. Seperti diketahui, varian dengan mutasi B.1.1.7 ini sudah ditemui di sejumlah negara tetangga kita di ASEAN selain Vietnam, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Direktur Jenderal WHO beberapa waktu lalu juga menyampaikan bahwa mutasi yang menyebabkan varian baru ini akan meningkatkan jumlah kasus dan dapat memberi beban berat pada rumah sakit-rumah sakit yang akan makin penuh dengan pasien. Artinya, kalau ada kenaikan kasus di suatu negara, kita perlu mempertimbangkan mutasi ini sebagai salah satu faktor penyebab.
Hal kedua adalah apakah mutasi ini memengaruhi beratnya penyakit. Bukti ilmiah yang ada memang tidak menunjukkan bahwa mutasi ini membuat varian baru virus menjadi lebih ganas dan membuat penyakit jadi makin berat. Akan tetapi, dengan makin meningkatnya penularan, tentu mereka yang berusia lanjut dan dengan komorbiditas akan mungkin sekali tertular. Sementara kita ketahui bahwa Covid-19 pada usia lanjut dan komorbiditas dapat menjadi lebih berat keadaannya dan lebih tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Baca juga: Varian Baru SARS-CoV-2 dari Brasil Ditemukan di Jepang
Di sisi lain, dengan kasus yang makin banyak, rumah sakit dapat kewalahan menangani pasien sehingga mungkin saja memengaruhi angka kematian. Hal ketiga yang juga dibicarakan adalah tentang dampak mutasi pada akurasi tes PCR. Sejauh ini, para pakar masih sepakat, perubahan yang ada pada mutasi belum memengaruhi akurasi pemeriksaan PCR secara bermakna. Kita masih tetap dapat bergantung pada hasil PCR untuk menyatakan seseorang sakit Covid-19 atau tidak.
Kita masih tetap dapat bergantung pada hasil PCR untuk menyatakan seseorang sakit Covid-19 atau tidak.
Dampak pada vaksin
Yang paling banyak dibicarakan adalah apakah mutasi yang membentuk varian baru ini akan punya dampak terhadap efek proteksi vaksin Covid-19 yang kini mulai digunakan di dunia.
Pada waktu mutasi di Inggris dan Afrika Selatan ini baru mulai dilaporkan, Desember 2020, para pakar sepakat bahwa vaksin yang ada akan tetap dapat memberi proteksi kekebalan pada varian baru ini. Hal ini karena mutasi yang terjadi hanya pada satu atau sedikit tonjolan (spike) virus korona, sementara vaksin akan bekerja pada beberapa tonjolan (spike) sekaligus. Jadi, vaksin masih akan mempan mencegah penyakit.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech Masih Bekerja Melawan Mutasi dari Inggris
Hanya saja, para ahli ketika itu sudah menyatakan bahwa tampaknya virus mulai melakukan semacam langkah-langkah pertama ke arah perubahan yang mungkin saja lebih besar di waktu mendatang.
Dalam perkembangannya, pada Januari 2021 memang ada beberapa data baru. Pada 28 Januari 2021, misalnya, vaksin Novovax melaporkan punya efikasi hampir 86 persen pada uji klinik di Inggris pada varian baru di negara itu. Akan tetapi, ternyata efikasi vaksin Novovax pada uji klinik berskala kecil di Afrika Selatan turun sampai di bawah 50 persen.
Hampir semua sukarelawan yang sakit pada uji klinik di Afrika Selatan berhubungan dengan varian baru virus pemicu Covid-19 yang bermutasi di negara itu. Dan ini diduga menjadi penyebab turun tajamnya efikasi vaksin dalam uji klinik Novovax di Afrika Selatan.
Contoh lain adalah pada vaksin Johnson and Johnson yang pada 30 Januari 2021 menyampaikan hasil uji kliniknya. Dilaporkan efikasi vaksin dosis tunggal ini berbeda di sejumlah negara, yaitu 72 persen di AS, 66 persen di Amerika Latin, dan 57 persen di Afrika Selatan.
Baca juga: Memahami Efikasi, Imunogenisitas, dan Efektivitas Vaksin
Relatif rendahnya efikasi di Afrika Selatan diduga berhubungan dengan kenyataan bahwa 95 persen kasus yang ikut dalam penelitian ini disebabkan oleh varian baru virus penyebab Covid-19, yaitu B.1.351, yang mungkin saja membuat virus menjadi kurang reaktif terhadap respons imun antibodi, mungkin termasuk antibodi yang dihasilkan dengan vaksinasi.
Sementara beberapa produsen vaksin lain ada yang menyatakan bahwa vaksinnya cukup ampuh terhadap varian baru, tetapi belum memberi bukti yang betul-betul valid. Ada juga yang menyebutkan bahwa kalau mutasi terus berkembang, vaksinnya akan dapat dimodifikasi dalam waktu beberapa minggu sehingga tetap ampuh. Ada pula produsen vaksin yang masih mengamati perkembangan yang ada dan akan mengambil langkah kalau nanti diperlukan.
Tentu yang menjadi penting kini adalah bagaimana mencegah atau mendeteksi apakah mutasi dan varian baru ini sudah ada di Indonesia.
Mencegah dan antisipasi
Tentu yang menjadi penting kini adalah bagaimana mencegah atau mendeteksi apakah mutasi dan varian baru ini sudah ada di Indonesia.
Baca juga: Antisipasi Vaksin Covid-19
Dari kacamata lalu lintas penerbangan internasional memang sudah ada pengaturan siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh masuk ke Indonesia. Hanya saja, perlu diketahui bahwa sudah ada laporan dari negara lain, misalnya di South Carolina, Amerika Serikat, bahwa ada kasus yang di tubuhnya ada virus dengan varian Afrika Selatan, padahal yang bersangkutan tidak ada riwayat bepergian. Jadi, mungkin saja tertular di daerah dia sendiri.
Kita juga tahu bahwa beberapa laboratorium di Indonesia sudah melakukan pemeriksaan genomic sequencing dan sejauh ini belum menemukan varian baru virus pemicu Covid-19. Akan baik kalau kegiatan ini dapat lebih ditingkatkan lagi jumlah yang diperiksa dan cakupan pasiennya, tentu yang ideal adalah dilakukan dalam bentuk surveilans genomik yang sistematik dan terstruktur baik berskala nasional.
Tentu harapan kita adalah agar varian baru ini tidak masuk Indonesia, dan kalau toh sudah masuk, akan dapat segera diidentifikasi agar antisipasi dapat dilakukan dengan baik dan jangan makin membebani masalah Covid-19 di negara kita.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi; Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO SEARO; serta Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes.