NU dan puluhan juta anggotanya, dan tentunya juga Muhammadiyah, mempunyai peran besar untuk mengisi kekosongan narasi, termasuk narasi di jagat virtual.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Nahdlatul Ulama, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air, memperingati ulang tahun ke-95. Peringatan itu digelar pada saat pandemi Covid-19.
Perayaan ulang tahun dilangsungkan secara virtual karena pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo dalam sambutannya mengapresiasi peran NU yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari pada 1917 terhadap pembangunan bangsa. Peran NU perlu terus dikembangkan justru di saat bangsa Indonesia sedang menghadapi banyak tantangan.
Menjadi sebuah fakta sejarah, NU lahir sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Oleh karena itu, perjalanan bangsa tidak bisa dilepaskan dari kiprah NU dalam menjaga negara bangsa, dalam merawat tenun kebangsaan bangsa.
Di sejumlah media sosial, ”selebrasi” ulang tahun NU bertebaran dari sejumlah kelompok di Tanah Air. Selebrasi virtual itu menandakan bahwa organisasi NU, dan tentunya juga Muhammadiyah, telah banyak memberikan kontribusi untuk negeri ini. Kedua ormas Islam terbesar itu mempunyai tanggung jawab besar dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia sedang dihadapkan pada koinsidensi sejarah. Hadirnya era disrupsi digital yang melahirkan situasi VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) masih diperparah dengan serangan Covid-19 yang bisa mengancam eksistensi negara bangsa.
Di media sosial, kita mendapati fenomena kebebasan tanpa batas. Dalam jagat virtual muncul orang-orang yang rekam jejaknya belum jelas, dan kontribusinya untuk negeri masih bisa dipertanyakan, bisa tampil dan mengacak-acak kohesivitas anak negeri.
Alissa Wahid dalam esainya di Kompas, 31 Januari 2021, dengan mengutip Otto Scharmer, Guru Besar MIT, menyatakan, masyarakat terjebak pada tiga pola dalam menyikapi situasi. Suara menghakimi (voice of judgement), suara sinis (voice of cynicism), dan suara ketakutan (voice of fear).
Kita memandang NU adalah rumah besar yang bisa mengajak masyarakat untuk membuka pikiran (open mind) melalui dakwahnya, membuka hati (open heart) untuk melihat realitas sosial yang ada, dan memperbesar tekad (open will) untuk membuka ruang lebih luas untuk hidup bersama serta membangun toleransi.
NU dan puluhan juta anggotanya, dan tentunya juga Muhammadiyah, mempunyai peran besar untuk mengisi kekosongan narasi, termasuk narasi di jagat virtual. Dengan paham nasionalisme religius dan moderasi beragama, NU diharapkan lebih banyak mengisi kekosongan narasi yang menyejukkan dan ikut membawa bangsa keluar dari krisis.
Pada sisi lain, pemerintah harus mengajak NU dan ormas lain untuk duduk bersama membicarakan masalah bangsa. Krisis yang sedang terjadi membutuhkan kerja sama pemerintah dan elemen bangsa untuk mencari solusi secara bersama-sama pula.