Menangani ”Stunting” secara Berkelanjutan
Penanganan masalah kekurangan gizi dan ”stunting” membutuhkan sinergi dari berbagai lembaga dan masyarakat agar bergerak bersama secara berkelanjutan. Harapan di masa mendatang kasus kurang gizi dan ”stunting” berkurang.
Dengan tugas kampanye Keluarga Berencana secara besar-besaran pada akhir tahun 1980-an, Kepala BKKBN almarhum dr Suwarjono Suryaningrat didampingi para staf sering mengadakan peninjauan lapangan di desa-desa.
Suatu ketika dalam salah satu kunjungan ke sebuah desa, sebagai seorang deputi, Dr Haryono Suyono mengecek lapangan secara cermat. Begitu Kepala BKKBN hadir, ibu-ibu yang menggendong bayi dan yang menuntun anak berderet ingin bersalaman. Sambil berjalan di samping Kepala BKKBN, deputi yang sudah lebih dulu mengecek lapangan itu menjelaskan satu demi satu ibu-ibu yang siap untuk ikut KB.
Sambil senyum tanda terima kasih, Kepala BKKBN menyambut salam ibu-ibu itu dengan ucapan basa-basi yang menyejukkan. Sampailah pada seorang ibu yang menggendong bayi yang sedang menangis. Deputi berkomentar bahwa ibu ini ingin ber-KB, tetapi sedang hamil. Spontan Kepala BKKBN yang seorang dokter ahli kandungan menjawab sambil tertawa. Kok, sudah tahu? Ya Pak, karena bayinya terus menangis dan tidak mau menyusui.
Setelah acara selesai dan kembali ke kantor di Jakarta, ”peristiwa kecil” di desa itu menjadi ”persoalan besar”. Pasalnya, bayi yang saat itu dijumpai menangis adalah bayi kurang gizi, tidak cukup minum susu dari ibunya, dan ibunya ingin ikut KB serta sangat ingin mengikuti anjuran dua anak cukup.
Kami lalu usulkan agar dalam program KB juga memadukan program gizi untuk ibu hamil dan anak balita. Pada waktu itu program Gizi Keluarga menjadi wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan dan belum dilaksanakan di banyak desa. Melihat kenyataan itu, Kepala BKKBN tidak menolak kalau BKKBN ikut menangani program gizi karena sasarannya adalah ibu hamil dan anak balita, yang berarti anak-anak dari para ibu muda sasaran utama program KB.
Kami lalu usulkan agar dalam program KB juga memadukan program gizi untuk ibu hamil dan anak balita.
Pada waktu itu masalah kekurangan gizi menjadi sorotan media karena berita anak-anak kurang gizi parah selalu terjadi dan menonjol setiap tahun. Akhirnya BKKBN berunding dengan Departemen Kesehatan.
Setelah berunding dengan pejabat eselon satu Depkes, BKKBN diberi tanggung jawab operasional pelaksanaan program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) bekerja sama dengan Unicef menangani program ini dengan cakupan 15.000 desa.
Sejalan dengan pembentukan posyandu pada tahun 1983, program UPGK diperluas sampai akhirnya meliputi 60.000 desa di Indonesia. Programnya tidak muluk-muluk, tetapi sangat sederhana, dengan setiap bulan menimbang semua anak balita dengan timbangan dacin sederhana karena prinsipnya setiap bayi sehat selalu naik berat badannya.
Kalau tidak ada kemajuan, ibu-ibu pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) memberikan contoh makanan sehat kaya gizi untuk konsumsi anak balita yang ditimbang berat badannya setiap bulan. Kalau tidak ada kemajuan, pendidikan, bimbingan, dan pengawasan oleh para anggota PKK serta penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB) kepada ibu dan keluarganya diperketat.
Ibu hamil juga ditimbang berat badannya setiap bulan dan diharuskan datang bertemu bidan setidaknya empat kali selama masa kehamilan, mendapatkan penjelasan rinci tentang kehamilan, makanan yang harus dimakan, serta perawatan kesehatan yang perlu diperhatikan.
Kalau dalam pemeriksaan ada kelainan atau tidak ada kemajuan, ibu hamil harus datang ke posyandu bersama suami agar suami membantu merawat dan memberi perhatian lebih kepada istrinya selama masa kehamilan.
Dampak program ini pada tahun 1990-an luar biasa. Kasus gizi buruk hampir tidak ada, berita miring tentang peristiwa anak kurang gizi tidak muncul lagi di media massa, dan para ibu serta keluarganya makin marak membawa anak-anaknya ke posyandu.
Angka kematian ibu hamil dan melahirkan turun drastis meski masih tertinggi di ASEAN. Awal tahun 2000, perhatian masyarakat dan pemerintah condong pada isu demokratisasi, otonomi daerah, dan berbagai kesibukan pilkada dan lainnya. Program UPGK terhenti dan tidak mendapat perhatian lagi. Peran BKKBN dalam program dihentikan. Posyandu yang menjadi pusat penimbangan anak balita, ibu hamil, serta tempat konsultasi dengan PLKB dan bidan tidak lagi berfungsi baik.
Perlahan-lahan kasus gizi buruk merebak lagi.
Akibatnya sangat menyedihkan. Perlahan-lahan kasus gizi buruk merebak lagi. Akumulasi gizi buruk itu ditandai munculnya kasus stunting pada anak balita (tidak tumbuh baik, cebol, dan otaknya tidak tumbuh sehingga menjadi anak cacat mental yang sangat menyedihkan).
Keadaan memprihatinkan ini berlangsung beberapa tahun hingga sekitar 2015 Presiden Joko Widodo yang sering blusukan terkejut, lalu segera mengambil langkah-langkah mengatasi masalah. Sejumlah kementerian dan lembaga ditugaskan untuk bersama-sama mengatasi stunting dengan koordinasi agak longgar. Masing-masing mengambil langkah terpisah-pisah sehingga sasaran tidak fokus teratasi secara tuntas.
Akhirnya setelah lima tahun dilaksanakan dengan hasil belum kelihatan secara jelas, belum lama ini Presiden Jokowi menugasi BKKBN sebagai focal point operasional menangani gizi buruk dan stunting. Semoga program UPGK yang dikoordinasikan BKKBN sejak tahun 1980-an dengan berbagai program pembangunan keluarga sejahtera bersama berbagai kementerian untuk menghilangkan kasus kurang gizi dan stunting dari keluarga di desa-desa segera bisa ditangani baik.
Seperti pengalaman masa lalu, kasus kurang gizi dan stunting bukan semata masalah kesehatan, tetapi menyangkut masalah sikap, tingkah laku, dan budaya masyarakat luas. Oleh karena itu, melalui pelaksanaan program UPGK yang disegarkan perlu sekaligus dikembangkan sikap, tingkah laku, dan budaya yang mendukung pembangunan keluarga secara paripurna.
Untuk itu, peta jalan berupa pemetaan keluarga prasejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III dan III plus perlu disegarkan kembali. Lebih-lebih hasilnya dewasa ini, seperti di Kabupaten Madiun, bisa langsung dimasukkan ke telepon genggam sehingga setiap kepala desa dan perangkatnya bisa melakukan cek rutin di setiap pedukuhan di desa.
Keluarga yang memiliki istri sedang hamil dan anak balita yang bermasalah jauh lebih mudah didampingi PLKB dan kader PKK. Setiap keluarga dapat dihubungi melalui telepon genggam agar mendapat perhatian gizi yang dikonsumsi ibu yang sedang hamil atau anak balita mereka.
Persoalan kedua yang sangat penting adalah koordinasi lapangan. Dengan perhatian yang meningkat, ternyata banyak kementerian yang mengambil prakarsa menangani masalah gizi dan stunting. Kementerian Pertanian melalui Dirjen Dr Ir Suwandi sejak tahun lalu mengembangkan penanaman padi bergizi dan khusus stunting di lahan seluas sekitar 5.000 hektar dan akan ditingkatkan hingga 25.000 hektar di daerah padat kurang gizi.
Dirjen Pendidikan Tinggi Prof Dr Nizam serta Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Dr Jumeri siap partisipasi. Perguruan tinggi dalam rangka Kuliah Merdeka di desa-desa dapat berlangsung hingga tiga semester. Sementara Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah siap memberi petunjuk 5.000 SMA membangun Kebun Bergizi di lingkungan sekolah sebagai upaya pelatihan agar bisa membangun Kebun Bergizi di sekitar rumah.
Bahkan, dewasa ini sedang dirintis anak-anak belajar dari rumah setiap pagi mulai dengan ”kurikulum pagi” mengumpulkan sampah untuk ”membuat pupuk” serta mengolah halaman menjadi kebun sayur, kebun buah, kolam ikan, dan kandang ayam untuk peningkatan gizi keluarga masing-masing.
Pada Kementerian Pertanian diperoleh komitmen dari Dirjen Hortikultura Dr Ir Prihasto Setyanto, MSc berupa bantuan bibit sayur kepada sekolah maupun kegiatan Kebun Bergizi di halaman rumah. Barangkali bisa diutamakan keluarga muda yang hamil atau memiliki anak balita sehingga bisa menjadi bahan masukan gizi untuk ibu hamil dan anak balitanya.
Lebih lanjut kita bisa mengajak Menteri Koperasi dan Menteri Desa PDTT agar sisa hasil keuntungan usaha koperasi dan BUMDes bisa disumbangkan kepada setiap posyandu untuk program makanan tambahan bagi keluarga yang hamil atau anak balita dengan keadaan gizi buruk.
Apabila melalui peta keluarga bisa mempersatukan ”masukan berbagai instansi” secara terfokus, dalam lima tahun mendatang kiranya kasus kurang gizi dan stunting, seperti pengalaman pada tahun 1980-an, akan sangat berkurang dan tidak lagi menghantui anak-anak yang kelak menjadi kekuatan sumber daya manusia masa depan bangsa.
(Haryono Suyono, Mantan Menko Kesra/Taskin/Kepala BKKBN)