Intoleransi dan Ambivalensi Siswa
Selain literasi kritis, siswa diberi ruang bersama untuk menyelenggarakan berbagai ”event” agar tercipta kesempatan bergaul dengan siswa yang beragam dan membiasakan siswa menghadapi perbedaan sebagai suatu keniscayaan.
Salah satu tantangan bagi pengembangan kehidupan berdemokrasi di Indonesia adalah meningkatnya sikap intoleransi agama dan sikap diskriminatif dalam masyarakat sipil. Meskipun kebebasan telah diperluas di banyak bidang, termasuk media massa, perkembangan sikap intoleransi dan bahkan radikalisme tetap menjadi masalah serius di Indonesia.
Di Indonesia, praktik intoleransi dan benih-benih radikalisme tidak hanya tumbuh di kelompok masyarakat garis keras. Yang mencemaskan, di institusi pendidikan yang seharusnya steril dari pengaruh kelompok garis keras, belakangan ini pelan-pelan mulai terdampak virus intoleransi.
Di SMKN 2 Padang—yang notabene sekolah negeri milik negara—praktik intoleransi bahkan dilakukan pihak sekolah. Meski menyatakan tidak wajib, sekolah terbukti mendorong, mengarahkan, dan bahkan memaksa siswi yang non-Muslim untuk mengenakan jilbab selama di sekolah. Tercatat 46 siswi yang non-Muslim mengenakan jilbab karena diduga untuk menghindari tindakan diskriminatif dari guru dan teman-temannya.
Perkembangan benih-benih sikap intoleransi di sekolah meski belum berkembang massif, tetapi menjadi peringatan yang mencemaskan.
Intoleransi
Perkembangan benih-benih sikap intoleransi di sekolah meski belum berkembang massif, tetapi menjadi peringatan yang mencemaskan. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk (2019) menemukan siswa di lembaga pendidikan yang idealnya steril dari tindakan intoleransi memperlihatkan bagaimana mereka sebagian mulai terbiasa menarik jarak sosial dengan siswa lain yang dianggap berbeda, baik dari segi agama maupun ras.
Ketika intensitas perjumpaan sosial antarsiswa yang berbeda makin jarang, maka kemungkinan munculnya syakwasangka yang berujung pada munculnya sikap intoleran menjadi lebih terbuka.
Temuan studi ini sama seperti hasil kajian Kanas, Scheepers, dan Sterkens (2015) yang meneliti hubungan antara kontak antaragama dan sikap negatif terhadap agama out-group antara Kristen minoritas dan Muslim mayoritas di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan di Ambon dan Yogyakarta ini menemukan bahwa kuantitas kontak antaragama yang lebih tinggi dapat mengurangi sikap negatif out-group di antara Muslim mayoritas, tetapi tidak berlaku di antara Kritsen minoritas. Artinya, lebih tingginya kualitas dan kuantitas kontak dapat mereduksi sikap negatif terhadap agama out-group.
Dalam suasana dan latar belakang kehidupan politik yang panas tatkala Pilkada DKI Jakarta dan pemilu berlangsung, masyarakat—tak terkecuali para pelajar—memang sebagian sikap mereka cenderung terbelah dalam dua kubu. Satu kelompok yang lebih mengidentifikasi sebagai representasi kelompok Islam dan pribumi, sedangkan kelompok yang lain ditempatkan sebagai representasi kelompok Islam Liberal atau Abangan, dan pembela kelompok Aseng (non-pribumi). Kelompok yang dinilai merepresentasikan kelompok Aseng dan Islam liberal, mereka biasanya cenderung lebih berpotensi menjadi korban persekusi teman di sekolah.
Studi yang dilakukan penulis di lima kota/kabupaten di Jawa Timur ini menemukan bahwa cukup banyak siswa yang enggan atau merasa tidak perlu memberi ucapan selamat merayakan hari Natal kepada teman mereka yang merupakan umat Nasrani karena dianggap melanggar akidah.
Lingkungan pergaulan, proses sosialisasi dan habitus yang menjadi tempat siswa tumbuh kembang umumnya mendukung perkembangan sikap intoleransi di kalangan sebagian siswa. Tidak hanya sosialisasi orangtua, tetapi penjelasan guru agama di sekolah juga sering kali mendorong siswa untuk mengambil jarak dengan kelompok yang berbeda (the other), terutama ketika mereka harus memilih memberi ucapan selamat hari Natal atau tidak.
Kalau berbicara idealnya, peran guru sebetulnya sangat strategis dalam mendorong pertumbuhan sikap toleransi antara siswa satu dengan yang lain. Seperti dikatakan Raihani (2011) bahwa kualitas pengajaran tidak hanya berupa kemampuan teknikal dan pedagogik, tetapi juga pada pengembangan nilai yang sepenuh hati akan penghargaan bagi keunikan dan kebutuhan setiap murid.
Guru-guru berkualitas tinggi adalah mereka yang mampu menciptakan budaya yang suportif bagi anak untuk hidup dalam kebersamaan, yaitu dengan secara sengaja dan eksplisit bertindak sesuai dengan ritual, norma, dan standar yang konsisten dengan pendidikan toleransi. Di Indonesia, sayangnya sebagian guru ternyata tidak bertindak ideal seperti yang dikatakan Raihani.
Sebagian guru, terutama guru agama, ternyata justru sering mengajarkan sikap intoleransi atas nama keteguhan akan keyakinan. Memberi ucapan selamat merayakan hari Natal yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun sikap kebersamaan dan toleransi justru menurut sebagian guru agama tidak diperkenankan karena dianggap melanggar akidah.
Ambivalen
Tidak semua siswa tentu selalu mengembangkan sikap dan tindakan intoleran. Ada banyak faktor yang memengaruhi perkembangan sikap intoleran di kalangan siswa. Pada tataran konstruksi, sebagian besar siswa sebetulnya sudah menyadari bahwa keberagaman dan toleransi adalah prasyarat dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang pluralistik.
Namun, cukup banyak siswa yang mengaku lebih memilih berdiam diri tatkala melihat ada teman mereka dipersekusi dengan alasan tidak mau mencari perkara. Keselamatan diri sendiri dan sikap enggan untuk mencari perkara yang berpotensi merugikan, menyebabkan sebagian besar siswa lebih memilih tidak ikut campur urusan-urusan yang bisa merugikan dirinya. Inilah yang membuat sebagian siswa terlihat gamang.
Ada semacam kegamangan di kalangan siswa menyikapi perbedaan dan tindakan intoleransi yang terjadi di lingkungan sosialnya.
Studi ini menemukan, di kalangan siswa sering kali muncul sikap yang ambivalen. Ada semacam kegamangan di kalangan siswa menyikapi perbedaan dan tindakan intoleransi yang terkadang terjadi di lingkungan sosialnya. Temuan studi ini tentang sikap ambivalensi siswa dalam menyikapi perbedaan, sama seperti studi yang dilakukan Parker, Hoon dan Raihani (2014).
Survei yang dilakukan terhadap 3.000 murid SMA di lima provinsi di Indonesia: Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dan Bali itu menemukan bahwa sebagian besar murid memiliki pandangan positif terhadap pertemanan dengan orang-orang dari etnis dan kepercayaan yang berbeda. Namun, di saat yang sama sebagian besar murid tidak setuju dengan pernikahan inter-religi atau antaragama karena mereka menerima bahwa agama mereka melarang hal itu.
Studi Parker et al (2014) menemukan sebagian besar anak muda akan memilih untuk mengikuti perayaan agama lain jika mereka diundang. Walaupun banyak siswa yang bersikap positif terhadap perbedaan, tetapi Parker et al (2014) menemukan masih terdapat perasaan bahwa asimilasi dengan kultur dominan tetap diperlukan. Terlebih lagi, banyak anak muda yang dapat menghubungkan sifat-sifat yang tidak komplementer dengan agama dan etnis yang lain, seperti arogan, ekstrem, kikir, teroris, dan materialistis.
Sejauh ini, para siswa di Indonesia ditemukan menyetujui hubungan berpacaran dengan orang berbeda agama dan etnis. Hampir satu pertiga dari responden pernah berpacaran antaragama. Namun, saat ditanya pada murid yang belum pernah memiliki pacar dari agama yang berbeda apakah mereka akan mempertimbangkannya, 77 persen menjawab tidak dengan alasan perbedaan agama.
Membangun ”event”
Intoleransi sesungguhnya adalah sebuah konstruksi yang tumbuh dan berkembang dalam habitus yang keliru. Ketika siswa terpapar berbagai informasi yang mendukung atau pro sikap intoleransi atau bahkan paham radikalisme, maka cepat atau lambat mereka akan terpengaruh, terutama ketika anak-anak muda itu tidak memiliki fondasi sikap dan literasi kritis yang kuat.
Untuk itu, dalam rangka mencegah agar anak-anak muda tidak terkontaminasi sikap intoleransi dan paham radikalisme, perlu sejak dini dikembangkan literasi kritis yang melibatkan peran guru dan orangtua siswa.
Di sekolah, guru memiliki peran strategis untuk mendorong siswa selalu bersikap kritis terhadap berbagai informasi dan berita bohong dengan cara menyosialisasikan arti penting literasi kritis. Sementara itu, di rumah peran orangtua tak kalah penting untuk ikut mendampingi, mengawasi, dan membimbing siswa agar tidak mudah menelan bulat-bulat berbagai informasi yang kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Berbagai kasus intoleransi yang terjadi di sekolah ataupun masyarakat umum menggarisbawahi arti penting memberdayakan peran thought communities lingkungan terdekat dalam upaya mencegah berkembangnya sikap dan tindakan intoleransi keagamaan. Para pemangku kepentingan utama—negara, sekolah, dan keluarga—perlu bersinergi dalam menangkal semenjak dini lahirnya benih-benih kebencian terhadap mereka yang berbeda yang sering kali menjadi titik awal sikap intoleransi keagamaan di kalangan anak muda dan pelajar.
Di sekolah, guru memiliki peran strategis untuk mendorong siswa selalu bersikap kritis terhadap berbagai informasi dan berita bohong dengan cara menyosialisasikan arti penting literasi kritis.
Untuk membangun pemahaman dan konstruksi sosial yang positif terhadap perbedaan, siswa seyogianya tidak terjebak pada pola-pola segregasi sosial yang ekslusif. Siswa sejak dini seyogianya diperkenalkan dengan arti penting menyapa kelompok yang berbeda, membangun cross cutting affiliation, untuk kemudian dapat dikembangkan cross cutting loyality.
Menyelenggarakan berbagai event yang memungkinkan siswa memiliki kesempatan bergaul dengan siswa yang beragam adalah salah satu cara untuk membiasakan siswa menghadapi perbedaan hingga pada titik mereka paham bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak.
(Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga)