Pesan Seorang Jenderal Purnawirawan
Potret buram ini dikonfirmasi rilis Transparency International Indonesia yang menunjukkan indeks persepsi korupsi Indonesia 2020 merosot. IPK Indonesia berada di skor 37 dan berada di peringkat ke-102 dari 180 negara.
Jumat, 29 Januari 2021, sambil membaca berita Kompas, pesan masuk ke ponsel. Pesan itu datang dari seorang jenderal purnawirawan. Ia mengirim tangkapan layar judul Kompas, ”Skor Turun, Alarm untuk Pemberantasan Korupsi”. ”Memprihatinkan. Semoga ke depan negeri ini jauh lebih baik.”
Saya merespons singkat; ”Memang menyedihkan. Pengawasan oleh DPR tak berjalan. DPR mati suri.” Sang jenderal purnawirawan merespons, ”Mati suri karena saling mengunci, akhirnya semua suri….” Politik dan bisnis berkelindan.
Saya teringat paparan Romo Herry Priyono SJ dalam diskusi di Kompas tahun 2011 yang makalahnya dibukukan dalam buku Korupsi yang Memiskinkan. Herry, yang berpulang beberapa waktu lalu, menawarkan cara pandang lain soal korupsi.
Baca Juga: IPK Turun, Tak Cuma Akuntabilitas dan Transparansi Tapi Juga Penegakan Hukum
”Pengertian korupsi terlalu berciri ekonomistik dan terlalu terpusat pada penyelenggara negara (state centered). Cara pandang ini melihat korupsi sebatas penyalahgunaan kekuasaan negara yang merugikan keuangan negara. Akibatnya, yang dikejar selalu pejabat negara.”
”Pengertian korupsi terlalu berciri ekonomistik dan terlalu terpusat pada penyelenggara negara (state centered). Cara pandang ini melihat korupsi sebatas penyalahgunaan kekuasaan negara yang merugikan keuangan negara. Akibatnya, yang dikejar selalu pejabat negara”
Bagi Herry, korupsi, sesuai dengan asal katanya, corruptio, berarti pembusukan. Korupsi membusukkan watak dan jaringan kelembagaan yang jadi syarat mutlak kemungkinan hidup bersama. Yang dibusukkan bukan hanya pelakunya, melainkan kinerja, maksud, dan tujuan mengapa institusi berdiri. Akibatnya, korupsi membuat hidup bersama menjadi busuk.
Herry menulis begini, ”Petaruh yang menyuap kiper pertandingan sepak bola agar timnya kalah bukan pejabat negara, tetapi apa yang dilakukannya adalah korupsi. Dosen yang melakukan plagiat bukanlah pegawai pemerintah, tetapi plagiat adalah korupsi.”
Benarkah pembusukan itu begitu dalam? Berita 8 Januari 2021 bisa membantu menjelaskan. Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) mengumumkan, delapan atlet bulu tangkis Indonesia terlibat match fixing atau pengaturan skor, manipulasi, hingga perjudian ilegal. ”Delapan pemain Indonesia yang saling kenal dan berkompetisi di kompetisi internasional level bawah, kebanyakan di Asia hingga 2019, melanggar Peraturan Integritas BWF terkait pengaturan pertandingan, manipulasi pertandingan, dan atau taruhan [judi] bulu tangkis.” Demikian ditulis situs BWF.
Meskipun delapan pemain itu bukan pemain pelatnas, skandal tersebut memalukan dan bisa menghancurkan reputasi bulu tangkis Indonesia. Peristiwa itu kian menunjukkan betapa transaksionalnya dunia olahraga yang sangat mengedepankan sportivitas.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di Komisi III DPR, Kamis (28/1/2021), salah satu calon hakim agung diduga melakukan plagiat dalam makalahnya. Uji kelayakan dan kepatutan dihentikan. Dugaan plagiarisme itu dibantah.
Realitas empiris membuat bangsa ini miris. Di tengah pandemi Covid-19 yang membuat semua orang menjerit, dana bantuan sosial untuk orang yang membutuhkan dikutip. Ada menteri yang meminta komisi dari kebijakan di sektor kelautan yang dibidanginya. Hasilnya dimanfaatkan untuk hidup mewah. Terasa miris ketika pengusaha sogok kiri kanan untuk mendapat proyek pengadaan mesin lab swab PCR (polymerase chain reaction). Pandemi jadi bisnis. Bisnis mengeruk keuntungan.
Potret buram ini dikonfirmasi rilis Transparency International Indonesia (TII) yang menunjukkan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2020 merosot. IPK Indonesia berada di skor 37 dan berada di peringkat ke-102 dari 180 negara. Dalam rentang skor 0-100, makin tinggi angka, makin dipersepsikan bebas korupsi sebuah negara. Sekjen TII Danang Widoyoko menyebut, kebijakan yang mengandalkan hanya pada pertumbuhan ekonomi dan investasi tanpa mempertimbangkan aspek integritas hanya memicu terjadinya korupsi, termasuk penanganan di era pandemi.
"Adapun posisi Indonesia setara dengan Gambia (37) di peringkat ke-102. Pencapaian Indonesia 2020 lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Pada 2019, IPK Indonesia mendapat skor 40 dan berada pada peringkat ke-85"|
Mengacu TII, negara terbersih adalah Selandia Baru dan Denmark (88), peringkat pertama dan kedua, sedangkan negara terkorup adalah Somalia (12) di peringkat ke-179. Adapun posisi Indonesia setara dengan Gambia (37) di peringkat ke-102. Pencapaian Indonesia 2020 lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Pada 2019, IPK Indonesia mendapat skor 40 dan berada pada peringkat ke-85.
Merosotnya IPK—jika dipandang perlu dan penting—perlu dilihat lebih dalam. Apa yang terjadi? UU KPK sudah direvisi, KPK hasil reformasi dibentuk. Inisiator revisi UU KPK berargumen revisi UU KPK adalah untuk memperkuat KPK dan memperkuat pemberantasan korupsi? Tapi, mengapa IPK melorot dan korupsi tetap terjadi.
”Ketika kita memerangi kemiskinan, korupsi menjadi target penting dari upaya kita. Korupsi, baik dalam pemerintahan maupun swasta, adalah perampasan terkeji yang kita rasakan.”
Dalam buku Korupsi yang Memiskinkan (Penerbit Buku Kompas, 2011) halaman 138 ada kutipan menarik. Kutipan itu berasal dari Migraciones (Migration) karya penulis Paraguay, Eligio Ayala, Bern, Swiss 1915. Bunyinya begini.
Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi Turun, Evaluasi Kebijakan dan Sistem Politik
”Ketika kita memerangi kemiskinan, korupsi menjadi target penting dari upaya kita. Korupsi, baik dalam pemerintahan maupun swasta, adalah perampasan terkeji yang kita rasakan. Karena korupsi akan merampok fakir miskin dan kaum melarat sebelum yang lainnya. Korupsi menghalang anak kita untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga merusak fondasi masa depan mereka. Korupsi mencuri akses para lanjut usia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan medis yang mereka butuhkan saat rasa nyeri dan penyakit menyertai masa senja mereka. Korupsi mengurangi bantuan bagi mereka yang tertimpa bencana. Korupsi juga mengosongkan isi piring mereka yang kelaparan, tetapi tetap membayar pajak demi layanan sosial yang mereka harapkan manfaatnya.”
Pembusukan korupsi seharusnya membangunkan masyarakat sipil, para ”muazin” bangsa untuk kembali menggelorakan perang melawan korupsi, menyusun strategi bersama, menyusun agenda bersama untuk mencegah kebangkrutan negeri akibat korupsi.