Mitigasi Sosial sebagai Instrumen Resolusi Konflik
Dalam mengatasi masalah konflik sosial sering kali kita tergagap manakala api sudah membesar, lalai memadamkan di saat masih berupa asap. Karena itu, penting untuk memahami masyarakat melalui mitigasi sosial.
Oleh
ALI RAHMAT KURNIAWAN
·6 menit baca
Dunia industri pengolahan mineral Indonesia kembali menjadi sorotan. Pada hari Senin (14/12/2020) dikabarkan terjadi pembakaran terhadap fasilitas dan alat berat milik pabrik smelter nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. Peristiwa ini terjadi setelah adanya aksi unjuk rasa oleh aliansi serikat pekerja yang mempertanyakan kejelasan kontrak karyawan dan tuntutan kenaikan upah pekerja.
Seperti diketahui, proyek smelter nikel VDNI yang diresmikan pada 25 Februari 2019 merupakan implementasi dari Perpres 58 tahun 2017 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang nilai investasinya sekitar 14 triliun dan akan terus bertambah nilai investasinya.
Dari informasi yang dikumpulkan Kompas.com, proyek yang dikembangkan oleh investor dari Cina ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 6.000 orang dari perkiraan 18.000 pekerja yang akan diserap, sebagian besar merupakan warga asli yang tinggal di Sulawesi Tenggara.
Kerusuhan di PT VDNI ini menambah rentetan kasus serupa, seperti yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, di PT Weda Bay Industrian Park (IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Terjadinya kerusuhan ini tentu saja disesalkan oleh berbagai pihak, di antaranya Dirjen Minerba KESDM, Ridwan Djamaluddin, yang menyayangkan kejadian tersebut, terutama ketika pemerintah sedang gencar meningkatkan investasi. Sejurus dengan itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mengingatkan pentingnya dialog terbuka semua pihak (Kompas, 16 Desember 2020).
Menggenjot investasi
Tak pelak, peristiwa tersebut akan menjadi perhatian bagi pemerintah dan catatan kalangan investor khususnya dari luar negeri tentang jaminan rasa aman dan kesinambungan investasi yang mereka tanam di Indonesia. Di tengah upaya keras pemerintah mengalirkan investasi ke dalam negeri lebih deras melalui UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang dikenal publik sebagai Omnibus Law.
Seperti yang santer diberitakan, belakangan perusahaan mobil listrik (electric vehicle) Tesla milik Elon Musk, menyatakan minatnya membangun pabrik komponen baterai di Batang, Jawa Tengah, karena melihat potensi produksi nikel Indonesia yang besar. Sinyal ini dikuatkan oleh pernyataan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan telah dihubungi langsung oleh pihak Tesla akan maksud mereka tersebut.
Tentu hal tidaklah berlebihan mengingat cadangan nikel Indonesia yang cukup besar di mana, menurut data KESDM, Indonesia memiliki cadangan sumber daya nikel terbukti yang diperkirakan sekitar 3,1 miliar ton. Pada 2016, Indonesia juga menjadi salah satu produsen nikel terbesar dunia dengan total kontribusi berkisar 7 persen dari produksi nikel dunia.
Menimbang akar masalah secara makro
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa berbagai peristiwa kericuhan yang berakhir dengan perusakan fasilitas industri itu bisa terjadi berkali-kali. Barangkali kita bisa menilai bahwa gejolak peristiwa tersebut merupakan puncak dari gunung es (iceberg) dari masalah yang perlu dieksplorasi secara lebih mendalam.
Apakah yang menjadi akar masalah dan bagaimana semestinya pemerintah sebagai regulator mencari solusi dengan pendekatan terbaik sehingga mampu diterima pihak yang bersengketa dengan legawa? Pihak terkait dalam hal ini adalah pengusaha, pekerja, dan masyarakat sekitar.
Mencari akar masalah dari terjadinya ketegangan sosial semacam ini tentu bukan hal mudah karena ada latar dan story behind yang bersifat makro yang berkelindan terkait aspek seperti politik, sosial budaya serta ekonomi. Apalagi di negara yang masih mencari titik kesetimbangan dalam kehidupan berdemokrasi seperti Indonesia.
Secara politik, kita masih merasakan adanya persaingan antar-elite baik yang ada di pusat dan daerah untuk mencari posisi yang lebih dominan dengan upaya mengapitalisasi sumber ekonomi bagi kelangsungan atau eksistensi kelompok politik tersebut. Kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya memberikan pertumbuhan yang berkualitas, dan ketimpangan pembangunan Jawa-luar Jawa, daerah kaya SDA dan miskin SDA ditengarai masih menjadi penyebab utama.
Meskipun akhir-akhir ini masalah tersebut semakin berkurang setelah pemerintah di bawah komando Presiden Joko Widodo dalam periode pertama dan keduanya dengan gencar menggeser konsentrasi pembangunan ke luar Jawa. Pembangunan infrastruktur juga tersebar merata di seluruh Indonesia.
Aspek ketiga yang sering kali luput menjadi perhatian adalah aspek sosial budaya. Karena aspek sosial budaya ini sifatnya bergerak sangat dinamis dan laten, tak mudah dilihat dan diamati. Meskipun jika bisa dipetakan melalui social-mapping, kontribusinya sangat besar dalam upaya resolusi dari konflik yang muncul di lingkungan sekitar industri pengolahan mineral.
Terhadap aspek yang bersifat makro ini, pendekatan yang memungkinkan adalah melalui rumusan kebijakan berupa policy framework yang mampu mengakomodasi konsep dan prinsip universal, seperti sustainability (keberlanjutan) dan environmental justice (keadilan lingkungan).
Tinjauan prosedural dalam mitigasi sosial
Sementara pada tinjauan secara mikro sorotan kita terarah pada hal yang bersifat prosedur, yang lebih practical. Meskipun potret terhadap kondisi sosial masyarakat di sekitar lokasi industri pertambangan umumnya sudah dibuat oleh pemilik industri, bahkan sebelum mereka beroperasi secara tetap di wilayah tersebut, melalui dokumen amdal, pengamatan penulis terhadap beberapa dokumen amdal proyek pembangunan smelter nikel sering kali belum memadai. Setidaknya ada tiga catatan terkait hal itu.
Pertama, dari sisi substansi komponen sosial budaya masyarakat yang dijelaskan dalam dokumen amdal masih terlalu umum dan kurang fokus terhadap wilayah yang menjadi lokasi proyek. Pada umumnya studi amdal yang dilakukan cenderung melihat masyarakat sebagai komponen ekonomi ketimbang sisi lainnya.
Kedua, validitas data sosial budaya yang masih lemah. Para penyusun dokumen amdal lebih banyak mengambil data sekunder yang bersumber dari BPS atau bahkan menukil studi serupa yang dilakukan pada lokasi yang sama atau berdekatan.
Meskipun telah melakukan studi melalui wawancara langsung, tetapi dengan kualitas yang masih terbatas, seperti jumlah responden penduduk minim hingga jenis pertanyaan yang kurang mampu menggali sisi uniqueness (kekhasan) masyarakat setempat.
Ketiga, alokasi sumber daya yang minimalis dan kapabilitas SDM. Tidak dapat disangkal, untuk menghasilkan dokumen mitigasi sosial diperlukan sokongan sumber daya yang mumpuni, baik dari sisi pendanaan, waktu, maupun instrumen. Studi mitigasi sosial barangkali masih dianggap sebagai ’kelas dua’ dibandingkan dengan pengukuran data kondisi biogeofisik.
Peningkatan peran komunitas
Satu pandangan yang perlu menjadi bahan renungan bersama, yakni menjadikan pembangunan yang memandang komunitas masyarakat sebagai titik tolak (starting line) dan sekaligus tujuan akhir (finish line), bukan sebagai instrumen ekonomi semata.
Oleh karena itu, rumusan pelibatan masyarakat secara lebih proaktif (direct involvement) akan memberikan dampak positif bagi kelangsungan sebuah proyek industri pengolahan mineral. Studi mengindikasikan jika tahapan follow-up berupa kegiatan pengawasan menjadi tahapan yang paling lemah dari keseluruhan tahapan proses sebuah proyek di Indonesia.
Pemerintah yang memiliki peran utama dalam proses pengawasan semestinya memberikan peran yang lebih bermakna terhadap komunitas dengan cara menjadikan pendapat (feedback) masyarakat sebagai bahan pertimbangan secara formal dalam menilai jalannya sebuah kegiatan. Sehingga masyarakat sekitar yang di dalamnya terdapat buruh atau pekerja tidak merasa menjadi pihak yang terasingkan (teralienasi) dan semata-mata dieksploitasi oleh industri pengolahan mineral.
Sering kali kita tergagap ketika api sudah membakar, lalai memadamkan pada saat masih berupa asap. Oleh karena itu, penting untuk memahami masyarakat melalui mitigasi sosial, melakukan pelibatan yang proaktif terhadap masyarakat dan dirangkai dalam harmoni kebijakan dan aturan yang adil dan berkelanjutan.
(Ali Rahmat Kurniawan, Alumnus program Doktor dari Global Engineering for Development, Environment and Society (GEDES) Tokyo Institute of Technology)