Pandemi akibat virus korona yang melanda dunia selama setahun terakhir ini mengubah banyak hal dan menyingkap hal-hal baru yang sebelumnya absen dari kesadaran dan perhatian kita.
Satu contoh, pada akhir tahun 2020 di Belanda terdapat penambahan 20 kata baru dalam Kamus Van Dale yang menjadi rujukan utama semacam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di sini. Itu jauh lebih banyak dari tahun 2019 yang hanya terjadi penambahan 3 kata baru. Dari 20 kata baru itu, sebagian besar kosakata yang berkaitan dengan wabah korona.
Salah satu kata di antaranya adalah eenzaamheidsvirus yang berarti “virus kesepian”. Ini sebuah penggambaran untuk situasi kesepian yang akut saat orang-orang terkurung di rumah selama proses lockdown dan karantina atau saat jatuh sakit dan harus dirawat di bangsal khusus.
Virus kesepian ini terutama menyerang orang-orang yang hidup sendiri dan makin akut selama karantina atau isolasi yang membuat banyak orang tak bebas pergi ke luar rumah dan bertemu orang lain. Albert Camus, filsuf dan sastrawan peraih Hadiah Nobel Sastra, dalam novelnya yang kini kembali relevan, The Plague (1947), menyebut situasi itu sebagai “exile in one’s home” atau “pengasingan di rumah sendiri”.
Menurut Fay Bound Alberti dalam buku berjudul A Biography of Loneliness (2020), konsep kontemporer tentang kesepian baru muncul belakangan, yakni sekitar abad ke-19. Kesepian tidak sama dengan kesendirian karena kesepian juga melibatkan rasa kekurangan emosional. Kesepian adalah semacam campuran emosional dari unsur-unsur kesedihan, rasa malu, dan mengasihani diri sendiri. Namun, kesepian bukan kondisi mental murni. Seperti semua emosi, itu dialami dan dipengaruhi oleh tubuh dan pikiran.
Kata "sepi" atau lonely dalam bahasa Inggris berasal dari abad ke-16. Kata itu punya dua arti: sedih karena tidak ada teman dan merujuk ke satu tempat yang terpencil dan jauh. Namun, hanya makna kedua yang banyak digunakan sebelum abad ke-19. Sementara, istilah "kesepian" (loneliness) baru mulai banyak digunakan sekitar waktu yang sama.
Dalam bahasa Indonesia, pandemi ini juga melahirkan sejumlah kata dan istilah baru yang terkait dengan situasi keterasingan. Salah satunya adalah “isoman”. Ketika kali pertama membaca istilah ini di linimasa media sosial, saya mengira itu akronim dari “istirahat-salat (sholat)-makan” sebagai istilah penggganti untuk jeda kerja.
Namun, saya keliru. Istilah itu ternyata akronim dari “isolasi mandiri” (sebagai padanan dari self isolation atau self quarantine). Banyak orang terpaksa mengasingkan diri dan melakukan isoman setelah dinyatakan positif terpapar virus korona meski tak merasakan gejala penyakit apa pun. Orang semacam ini disebut OTG (orang tanpa gejala).
Agar tak menulari orang lain, dia melakukan isoman di rumah hingga tes berikutnya menyatakan dia negatif dari virus jahat. Proses isoman itu bisa jadi berminggu-minggu seperti dalam kasus yang menimpa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Maka, orang yang menjalani isoman rentan menderita kesepian karena harus berjauhan dari orang lain dalam waktu lama.
Kini vaksin antivirus korona memang telah ditemukan dan mulai disebarluaskan di Indonesia. Dengan ditemukannya vaksin tersebut, virus korona yang telah merenggut lebih dari 2 juta nyawa di seluruh dunia diharapkan akan segera bisa ditangkal. Namun, bagaimanakah kita dapat menangkal virus kesepian yang telah telanjur merajalela akibat isoman?
(Anton Kurnia, penulis partikelir)