Pemerintah pasti akan menikmati surplus kepercayaan dan dukungan publik jika mau mendorong Kementerian ATR/BPN untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Agung dan lebih transparan dalam memberi akses informasi publik.
Oleh
FRIDOLIN BEREK TAROMI
·4 menit baca
Akhir Desember 2020, publik dikejutkan dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tentang data hak guna usaha atau HGU. Selain HGU, dikenal juga hak guna bangunan, hak pakai atas tanah, UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, dan peraturan turunannya mengatur perolehan hak penguasaan tanah ini.
Dalam cuitannya ia menulis: ”Saya dapat kiriman daftar grup penguasaan tanah HGU yang setiap grup menguasai ratusan ribu hektar. Ini gila. Penguasaan itu diperoleh dari pemerintahan dari waktu ke waktu. Ini adalah limbah masa lalu yang rumit penyelesaiannya karena di-cover dengan hukum formal. Tapi, kita harus bisa”.
Mestinya Mahfud dan juga publik tak perlu terkejut seandainya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mematuhi Keputusan Mahkamah Agung No 121K/TUN/ 2017. Dalam sengketa informasi antara Forest Watch Indonesia (FWI) dan Kementerian ATR/BPN, MA telah memutus, data HGU itu informasi publik yang bersifat terbuka. Dengan putusan MA itu, sebenarnya nama pemegang izin HGU, tempat/lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditas, peta areal HGU yang dilengkapi titik koordinat bisa diakses publik.
Namun sayang, sampai sekarang Kementerian ATR/BPN belum melaksanakan putusan itu.
Putusan MA itu juga memerintahkan Kementerian ATR/BPN memberikan informasi yang diminta FWI dan juga membayar biaya perkara Rp 500.000. Namun sayang, sampai sekarang Kementerian ATR/BPN belum melaksanakan putusan itu.
Langkah itu preseden buruk. Buktinya, tak berapa lama kemudian Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, melalui suratnya no TAN.03.02/265/D.II.MEKON/05/2019 tanggal 6 Mei 2019, menetapkan data dan informasi mengenai HGU kebun kelapa sawit sebagai informasi yang dikecualikan sehingga tidak bisa diakses publik.
Informasi spesifik yang dikecualikan itu nama pemegang, peta, dan lokasi HGU. Surat ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan pimpinan perusahaan-perusahaan di sektor sawit.
Bukan Kementerian ATR/BPN sebenarnya yang pertama kali membangkang, kalau boleh disebut demikian, terhadap UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Jauh sebelumnya, kepolisian juga melakukan hal yang sama.
Pada 2012, sengketa informasi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dan kepolisian tentang dugaan rekening gendut yang melibatkan beberapa jenderal polisi yang dimenangi ICW juga berujung pada pembangkangan. Kepolisian menolak perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan keputusan Komisi Informasi untuk membuka rekening gendut sejumlah jenderal polisi ke publik.
Matinya UU KIP?
Pembangkangan institusi pemerintah terhadap putusan MA, keputusan Komisi Informasi, dan keputusan Presiden tentang sengketa informasi mungkin pertanda matinya UU KIP. Pembangkangan institusi pemerintah pada UU KIP berpotensi menumbuhkan dan memperluas ketidakpercayaan publik pada pemerintah. Kalau besok lusa publik terampil dan sering membangkang, jangan tuding siapa-siapa.
Sudah ada contohnya. Mungkinkah keengganan sejumlah warga divaksin anti-Covid-19 imbas dari praktik pembangkangan ini? Malah sebagian di antaranya lantang meminta pemimpin dulu yang divaksin.
Kepercayaan itu keutamaan sosial (social virtues) yang akan mengantarkan sebuah bangsa pada kemajuan dan kemakmuran. Kalau ada distrust antara pemerintah dan publik, pemerintah tak akan efektif mengelola sumber daya publik. Dengan begitu, upaya memajukan dan memakmurkan bangsa akan terganggu. Jadi, menegasikan akses publik pada data dan informasi HGU sebenarnya kontraproduktif dengan upaya memajukan dan memakmurkan bangsa.
Kepercayaan itu keutamaan sosial (social virtues) yang akan mengantarkan sebuah bangsa pada kemajuan dan kemakmuran.
Setelah terkejut, apa yang harus dilakukan Mahfud? Sederhana saja. Pertama, mendorong dan memastikan kementerian dan lembaga patuh dengan UU KIP. Lebih spesifik, mendorong dan memastikan Kementerian ATR/BPN mematuhi keputusan MA untuk memublikasikan data/informasi HGU. Dengan ini, selain tata kelola penguasaan tanah akan lebih transparan, yang lebih penting kematian UU KIP bisa dicegah.
Kedua, demi keadilan, penguasaan HGU yang memusat pada segelintir elite bisnis dan politik sebaiknya dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA). Masih banyak petani kita yang lapar lahan. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 14,2 juta petani gurem (55,30 persen dari total rumah tangga petani) rata-rata hanya menguasai 0,18 hektar lahan. Dengan luasan sedemikian, sulit bagi petani hidup pada level subsistensi pun.
Pemerintah pasti akan menikmati surplus kepercayaan dan dukungan publik kalau mau melakukan dua hal ini. Soal kemungkinan adanya resistensi atau perlawanan dari elite bisnis dan politik terhadap kedua langkah itu, gampang, bisa diatur. Masuknya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke dalam kabinet jelas menunjukkan kenyataan bahwa elite politik dan bisnis segarang apa pun bisa diatur.
(Fridolin Berek Taromi Pegiat Antikorupsi dan Pengamat Kebijakan Publik)