Dalam situasi pandemi seperti sekarang, revisi UU ASN perlu dipersoalkan dari sisi urgensinya. Naskah akademis di balik gagasan merevisi UU ASN juga perlu diperdebatkan secara luas.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kegaduhan berpotensi terjadi di balik gagasan politik mengubah undang-undang tentang aparatur sipil negara, khususnya bab mengenai pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU ASN itu selain mencakup soal ASN, juga mengatur soal KASN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). KASN dimaksudkan, antara lain, untuk mengawasi pengangkatan pejabat di lingkungan birokrasi agar tetap berdasarkan merit system.
Telah menjadi bagian dari praktik politik di birokrasi—apakah ketika bernama Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) atau ASN—selalu dianggap satu kekuatan politik. ASN yang jumlahnya besar selalu dianggap mempunyai daya tarik penambah suara elektoral. Dalam praktik ada politik balas budi, tetapi ada juga politik balas dendam. Politik balas budi mencuat dalam proses penempatan posisi tertentu kepada orang dekat yang berjasa memenangi pertarungan politik.
Secara sinikal sering disebut NKK (narik kanca-kanca) atau menarik teman-teman. Sebaliknya, ada politik balas dendam, yaitu ketika orang-orang yang menghambat atau berseberangan justru digantikan atau disingkirkan.
Dalam latar belakang politik kecurigaan seperti itulah ketegangan antara komisioner ASN dan partai politik di luar pemerintahan terjadi dalam revisi UU ASN. Mantan Ketua KASN Sofian Effendi menyebut gagasan membubarkan KASN adalah serangan balik dari pihak yang dirugikan dengan keberadaan KASN.
Ketua KASN Agus Pramusinto menyebut praktik birokrasi menunjukkan ada praktik jual beli jabatan dan potensi uangnya sekitar Rp 160 triliun. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menolak revisi UU ASN.
Sebaliknya, pihak yang menggagas revisi UU ASN dan pembubaran KASN berdalih KASN telah menambah birokrasi baru. Juga menjadi fakta bahwa sejumlah rekomendasi KASN tumpul karena tidak ditindaklanjuti. Semangat KASN berperan dalam penempatan jabatan tinggi di birokrasi berdasarkan merit system juga belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Komisi-komisi negara (state auxiliary body) dibentuk dalam semangat transisi demokrasi. Semangat besarnya adalah saling mengawasi. Meski dalam praktiknya, praktik saling mengawasi yang sangat ekstrem justru bisa melumpuhkan birokrasi.
Dari dua sudut pandang yang berbeda itu, dialog dengan hati tulus—bukan dengan politik kecurigaan—harus terus dibangun. Perdebatan publik harus dibuka seluas mungkin supaya proses revisi UU ASN memiliki legitimasi sosial, bukan hanya pembenaran secara politik, apalagi politik kekuasaan. Reformasi ASN haruslah dengan horizon panjang, bukan dengan horizon periodisasi kekuasaan. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, revisi UU ASN perlu dipersoalkan dari sisi urgensinya. Naskah akademis di balik gagasan merevisi UU ASN juga perlu diperdebatkan secara luas.