Mencermati dinamika politik global ataupun nasional, dalam menghadapi tantangan terhadap keutuhan negara-bangsa Indonesia, konsep negara-bangsa yang mendasarkan pada nasionalisme kewarganegaraan harus diaktualisasikan.
Oleh
AGUS SRIYONO
·5 menit baca
Peristiwa kerusuhan politik pada 6 Januari 2021 di Capitol Hill, Washington DC, menimbulkan pertanyaan publik: bagaimana persepsi rakyat Amerika Serikat saat ini terhadap konsep negara-bangsa (nation-state)? Apakah negara-bangsa Amerika hanya milik warga dari etnis tertentu? Padahal, dalam perspektif sejarah, salah satu pioner terbentuknya negara-bangsa adalah Negeri Paman Sam setelah pemakluman ”Declaration of Independence” 4 Juli 1776.
Sejumlah pengamat melihat peristiwa di Capitol Hill hanyalah sebuah puncak gunung es. Seorang penulis ternama, Jeffrey Sach, berpendapat bahwa sejarah kerusuhan karena perbedaan warna kulit sudah berlangsung lama di Amerika Serikat (Project Syndicate, 8 Januari 2021).
Pertanyaan yang sama dapat ditujukan pula kepada negara lain seperti Perancis dan Jerman karena menguatnya aliran ”ultrakanan” (far right) akhir-akhir ini. Pandangan aliran ini bercirikan: anti-imigran, xenofobia, anti-semitisme, islamofobia, dan supremasi kulit putih.
Fenomena di dua negara ini menarik untuk dikaji mengingat Perancis dan Jerman merupakan pelopor lain bagi terbentuknya negara-bangsa. Setelah menyandingkan tiga negara, pertanyaan lebih lanjut yang relevan: bagaimana dengan negara-bangsa Indonesia?
Pandangan aliran ini bercirikan: anti-imigran, xenofobia, anti-semitisme, islamofobia, dan supremasi kulit putih.
Lahirnya negara-bangsa
Sejarah Eropa abad ke-16 sampai ke-18 ditandai oleh perang berkepanjangan antara kekuasaan sentralistik kekaisaran dan wilayah-wilayah subordinasinya (”provinsi”). Di tengah berkecamuknya perang, timbul kesadaran rakyat di banyak wilayah bahwa penguasa harus memerintah demi kepentingan rakyat, bukan dinasti.
Dari kesadaran inilah kemudian muncul berbagai pemberontakan rakyat atau revolusi menentang pemerintahan kekaisaran. Sebuah gerakan nasionalisme yang ditengarai sebagai mesin penggerak bagi keberadaan negara-bangsa di zaman modern.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1750 sistem pemerintahan dunia didominasi kekaisaran yang bersifat multinasional seperti Austria, Britania, China, Ottoman, Rusia, dan Spanyol. Ketika tahun 1775 terjadi Revolusi Amerika, disusul Revolusi Perancis pada 1789, kekaisaran satu per satu runtuh. Dua abad kemudian secara berangsur kekaisaran diganti sistem negara-bangsa. Tahun 1950 tercatat sekitar 70 persen pemerintahan di dunia berbentuk negara-bangsa.
Di sini konsep negara-bangsa dimaknai sebagai institusi negara berdaulat yang warga negaranya memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan bahasa nasional yang sama atau ’orang dari luar’ yang memiliki kesetiaan terhadap negara-bangsa yang mereka pilih. Sebagai sebuah institusi tertinggi, negara-bangsa memiliki legitimasi politik, hukum, dan kewilayahan yang diakui secara internasional. Dalam hal ini, bangsa dan negara merupakan cultural unity sekaligus political unity.
Perkembangan negara-bangsa
Dalam perkembangannya, ternyata banyak negara-bangsa menyimpan potensi konflik internal karena perbedaan persepsi tentang siapa yang berhak menjadi bagian atau pemilik negara-bangsa tertentu.
Negara seperti Perancis yang memelopori negara-bangsa setelah kemenangan Revolusi Perancis tahun 1789 dewasa ini menghadapi dilema kebangsaan setelah menguatnya kelompok ”ultrakanan”. Meskipun dalam pemilihan umum tahun 2017 Marine Le Pen, pemimpin Partai Font Nasional yang ”ultrakanan”, dikalahkan Emmanuel Macron dari jalur independen-tengah, namun Le Pen memperoleh 33,94 persen suara. Sebuah persentase yang cukup signifikan di negara yang menganut sistem multipartai.
Dari segi kebangsaan, identitas nasional bangsa Perancis sesungguhnya tecermin dari semboyan ”Liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Namun, dengan membanjirnya pendatang, resistensi warga kulit putih, khususnya terhadap kaum pendatang, meningkat. Nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan persaudaraan tergerus. Dari sekitar 67 juta warga Perancis tiga tahun lalu, jumlah etnis minoritas pendatang mencapai 30 persen, sebagian besar berasal dari Afrika Utara dan Asia.
Hal yang mirip terjadi pula di Jerman. Dalam pemilihan umum 27 Desember 2017, untuk pertama kalinya setelah 60 tahun, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang berorientasi ”ultrakanan” menduduki parlemen dengan 12,6 persen suara. Sementara itu, partai moderat CDU/CSU yang berkuasa perolehan suaranya turun sebesar 8 persen dibandingkan pemilu 2013.
Meningkatnya pengaruh aliran ”ultrakanan” di Jerman menarik diamati karena peristiwa runtuhnya Tembok Berlin pada 13 Januari 1990 sebagai simbol bersatunya bangsa Jerman kini mulai kehilangan makna.
Meningkatnya pengaruh aliran ”ultrakanan” di Jerman menarik diamati karena peristiwa runtuhnya Tembok Berlin pada 13 Januari 1990 sebagai simbol bersatunya bangsa Jerman kini mulai kehilangan makna. Sekat-sekat ideologis yang berhasil dipersatukan tahun 1990-an kini berganti dengan sekat-sekat penduduk asli vs pendatang atau ”kami” vs ”mereka”.
Dengan mencermati fenomena di Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman, sudah saatnya dunia mengaktualisasikan kembali konsep serta nilai-nilai negara-bangsa yang telah berusia empat abad. Caranya antara lain penguatan dukungan politik rakyat kepada partai-partai politik yang menghargai moderasi, multikulturalisme, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Indonesia sebagai negara-bangsa
Terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa tidak terlepas dari semangat perjuangan melawan penjajahan. Tonggak-tonggak sejarah seperti Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 yang dilanjutkan hari berikutnya dengan pengesahan UUD 1945 oleh PPKI membuktikan kuatnya tekad bangsa Indonesia membentuk negara-bangsa Indonesia.
Dari proses sejarah dapat ditarik benang merah bahwa negara-bangsa Indonesia dilahirkan oleh kuatnya nasionalisme, kesadaran multikulturalisme sebagai sebuah keniscayaan, serta Pancasila sebagai fondasi negara-bangsa. Dalam catatan sejarah, pilihan nasionalisme Indonesia tidak berdasarkan kesamaan suku, etnis, atau agama (ethnonationalism), melainkan nasionalisme kewarganegaraan (civic-nationalism).
Nasionalisme kewarganegaraan menghendaki hidup bersama sebagai satu bangsa dalam keragaman tanpa membedakan suku, agama, ras, warna kulit, atau tanah kelahiran. Seluruh warga negara Indonesia merupakan bagian integral dari negara-bangsa Indonesia yang bercita-cita mewujudkan Indonesia yang damai, adil, dan makmur.
Ke depan, dalam menghadapi tantangan terhadap keutuhan negara-bangsa Indonesia, konsep negara-bangsa yang mendasarkan pada nasionalisme kewarganegaraan harus diaktualisasi dan direvitalisasi. Dan penguatan negara-bangsa Indonesia harus dimulai sejak usia dini melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal serta pergerakan nasional dari unsur masyarakat dan pemerintah secara masif.
(A Agus Sriyono, Anggota Pusat Studi Kebangsaan Universitas Prasetiya Mulya)