Saran Pengungkit untuk Listyo Sigit
Kekerasan seperti candu di mana penggunanya akan cenderung mengulanginya, bahkan dalam eskalasi yang lebih tinggi. Maka, kekerasan harus dihindarkan dengan berbagai cara dan tidak pernah boleh didukung.
Kapolri yang baru, Listyo Sigit Prabowo, tampaknya perlu sering-sering diingatkan bahwa lingkungan eksternal yang mengelilingi Polri dewasa ini tambah ”keras” terhadap Polri. Mengapa tambah keras, mengingat publik melihat Polri dewasa ini tidak lagi berhak mengantongi privilege berupa sejumlah kilah yang biasa diajukan jika menghadapi masalah. Menyadari itu, publik menjadi semakin gampang antipati terhadap Polri.
Dulu, ketika Polri memperlihatkan kegagalan dalam tugas atau ada perilaku bermasalah dari anggota Polri, maka alasan bahwa Polri kurang anggaran biasa diajukan. Namun, dengan anggaran yang kini mencapai lebih dari Rp 70 triliun per tahun, maka kalau masih berkilah anggaran kecil, tentu kebangetan.
Demikian pula ketika Polri gagal menangani masalah kamtibmas, biasanya persoalan kurangnya personel menjadi kambing hitam. Namun, kini, dengan total personel (polisi berseragam plus PNS) yang mencapai setengah juta orang, kilah itu hanya akan mengundang senyum dikulum.
Saat ada anggota Polri melakukan kekerasan, pimpinan Polri juga cenderung pusing mencari alasan mengingat dewasa ini perekrutan dan pendidikan Polri semakin baik, demikian pula pelatihan HAM bagi anggota kepolisian terus berlangsung.
Maka, pembenahan gaya kepolisian (policing style) dan dilanjutkan dengan pembenahan kegiatan kepolisian (police strategy and activity) adalah cara paling masuk akal agar pimpinan Polri tidak gampang di-skakmat oleh Komisi III DPR saat rapat dengar pendapat.
Pembenahan itu, antara lain, terlihat dari beberapa program yang diajukan Listyo Sigit saat uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di DPR, beberapa saat lalu. Saat mantan Kabareskrim ini mengatakan bahwa polantas tidak perlu menilang dan petugas tidak perlu ke mana-mana membawa senjata, pada dasarnya itu adalah sekelumit kecil strategi dan kegiatan kepolisian yang secara akumulatif membentuk gaya kepolisian yang khas.
Jika Listyo Sigit serius membenahi strategi dan kegiatan kepolisian, Polri tidak perlu berkilah aneh-aneh. Selanjutnya, publik yang keras terhadap kepolisian juga diharapkan akan melunak.
Berikut ini beberapa saran pada tingkat strategi dan kegiatan kepolisian yang, jika dilakukan, diharapkan bisa mengungkit kinerja kepolisian di era Lisyo Sigit.
Meningkatkan kehadiran polisi
Kehadiran atau ketampakan (visibility), sudah teruji dalam banyak teori pemolisian sebagai salah satu resep keberhasilan kepolisian dalam rangka mengamankan wilayah. Dengan anggota polisi hadir di persimpangan jalan, di mulut gang yang macet atau setiap kali ada kerumunan, maka pasti muncul rasa aman. Sebaliknya, kehadiran kepolisian berkorelasi dengan penangkalan (deterrence) yang artinya akan membuat jera bagi pelaku kejahatan untuk beraksi.
Pada konteks jalanan, maka kehadiran itu bisa terlihat melalui mobil polisi yang berseliweran demikian pula anggota yang berjaga di mana-mana. Manajemen pengerahan personie harus didorong sedemikian rupa sehingga, praktis, tidak ada ruang yang kosong dari jangkauan kepolisian. Kalaupun mata manusia tidak bisa menjangkaunya, ada kamera pemantau atau CCTV yang bisa menjadi mata dan telinga kepolisian. Jangan sampai polisi hanya hadir pada saat ada pejabat mau datang atau pada saat terjadi gangguan kamtibmas.
Pada konteks aktivitas non-jalanan, maka kehadiran kepolisian terasakan ketika polisi mengantisipasi semua isu atau kemungkinan bagi terjadinya kejahatan siber, kejahatan keuangan, kejahatan korupsi hingga kejahatan seksual. Awalnya antisipasi, kemudian dilanjutkan dengan pengungkapan kejahatan-kejahatan yang selalu mungkin tidak pernah dilaporkan oleh masyarakat (mungkin karena masyarakat tidak menyadarinya).
Hal itu bisa dilakukan dengan sosialisasi melalui dunia digital atau manual. Bisa juga dilakukan dengan penempatan (diawali dengan pendidikan, tentunya) anggota untuk menjadi penyidik bagi kejahatan-kejahatan non-jalanan tersebut.
Sebagai contoh, Polri dewasa ini memiliki peralatan yang baik sekali guna mengungkap berbagai jenis kejahatan siber. Penyidiknya pun telah mendapat pendidikan dalam dan luar negeri. Sayang sekali, pada kenyataannya, masih banyak saja terjadi kejahatan siber dewasa ini.
Taat jadwal dalam penyidikan
Dewasa ini Polri termasuk yang paling banyak dilaporkan di Ombudsman RI. Tidak untuk semua hal, tetapi hanya untuk penyidikan saja. Itu pun hanya pada item keterlambatan saja (undue delay). Setelah orang melapor, tak jelas kapan dipanggil. Kalaupun dipanggil, tak jelas kapan barang curian (misalnya) akan kembali. Setelah dipanggil, tak jelas kapan berkas akan P-21 (diterima kejaksaan guna dilanjutkan ke persidangan). Setelah P-21, tak jelas kapan tahap 2 (penyerahan tersangka kepada jaksa penuntut umum).
Saat penulis menjabat Komisioner Kompolnas era 2012-2016, persoalan keterlambatan atau ketidakpastian itu juga tercatat sebagai keluhan nomor satu dari masyarakat. Hal ini amat merusak citra mengingat kepolisian selalu disebut-sebut sebagai instansi yang bermasalah, padahal hanya terkait dengan satu aspek saja.
Saya bingung mengapa sulit sekali memperbaiki situasi ini. Bukankah bisa dibuat metode ban berjalan sehingga semua memiliki limitasi waktu dalam rangka penanganannya. Atau bisa dibuat metode monitoring yang ketat sehingga suatu berkas tidak di tangan penyidik terlalu lama.
Terkait kasus yang sulit diungkap, maka belajar dari kepolisian mancanegara, Polri bisa membentuk suatu direktorat yang dibebaskan dari kewajiban untuk tepat waktu sepanjang hasil penyidikan memuaskan.
Jika alasannya adalah kurangnya penyidik sehingga menjadikan seorang penyidik bekerja overload dan, ujung-ujungnya, terlambat menyelesaikan berkas, lalu timbul masalah lain, yakni bagaimana sebenarnya prediksi Polri tentang permasalahan penegakan hukum dan kebutuhan SDM untuk menghadapi permasalahan itu.
Jika kilahnya adalah ketiadaan anggaran penyidikan, itu sulit diterima mengingat dewasa ini setiap satuan kerja wilayah Polri telah dibekali paket anggaran guna penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah.
Kualitas digital
Yang juga cenderung mengecewakan di lingkungan kepolisian adalah keberadaan teknologi digital dan pemanfaatannya. Penulis memakai istilah maturitas, ketika teknologi digital merambah ke semua aspek strategi dan kegiatan kepolisian, bukan hanya di Direktorat Siber Bareskrim atau di Pusat Laboratorium Forensik saja, untuk menyebut contoh.
Banyaknya anggota Polri yang menggunakan gawai pribadi (tentunya dengan pulsa yang juga dibeli secara pribadi) saat bertugas adalah satu indikator dari maturitas yang kurang itu.
Banyak aplikasi dibangun dengan pendekatan ”warungan” alias tidak berusaha berjejaring, dijadikan etalase oleh para kepala satuan dan tidak di-update. Sama pula halnya dengan berbagai aplikasi yang dibangun untuk eksternal dan internal, tidak ada yang benar-benar masif (misalnya karena menjangkau 100 juta orang Indonesia) sehingga amat efektif dalam rangka pemeliharaan kamtibmas. Ada juga kecenderungan suatu aplikasi hanya ramai di awal lalu kemudian ditinggalkan.
Dalam paparan saat uji kelayakan dan kepatutan, Listyo Sigit bicara tentang teknologi 4.0 yang diharapkan mengejawantah dalam rangka operasi kepolisian. Semoga hal ini menjadi kenyataan mengingat basis teknologi 3.0 saja belum sepenuhnya dijalankan oleh kepolisian, antara lain, terkait dengan belum optimalnya penggunaan internet.
Konsisten menjauhi pelanggaran
Dalam berbagai aksi penanggulangan huru-hara, kerja keras ribuan anggota Polri sering kali ternoda oleh perilaku beberapa oknum yang tidak mampu menahan emosi dan kemudian melakukan kekerasan kepada pengunjuk rasa. Sayangnya, ada pula kalangan dalam Polri yang membela dengan alasan bahwa oknum tersebut sudah lelah, massa beringas terhadap petugas, dan sebagainya.
Poin penulis adalah bahwa semua jajaran Polri harus habis-habisan dan konsisten menjauhi pelanggaran apa pun alasannya. Ketentuan terkait pelanggaran itu sendiri telah lengkap tercantum mulai dari undang-undang kepolisian, berbagai peraturan kapolri, hingga tersirat dan tersurat di berbagai pidato dan pengarahan para kepala satuan.
Mengapa penulis menekankan hal ini mengingat selalu terdapat kesan bahwa ada kondisi di mana kekerasan (apakah itu berupa violence atau unlawful killing) dibenarkan untuk dilakukan, di luar dari prinsip bahwa kekerasan harus selalu merupakan pilihan terakhir dan khususnya pada kondisi keberbahayaan yang tak terelakkan (imminent danger).
Apa yang terjadi jika jajaran kepolisian secara diam-diam memberikan reservasi atau tempat bagi kekerasan? Kekerasan itu seperti candu, di mana penggunanya akan cenderung mengulanginya, bahkan dalam eskalasi yang lebih tinggi. Maka, ia harus dihindarkan dengan berbagai cara dan tidak pernah boleh didukung.
Mengapa Komnas HAM menganggap penembakan empat Laskar FPI dalam sebuah mobil saat Peristiwa Km 50 yang lalu adalah suatu unlawful killing dan bukan akibat suatu pergulatan hidup-mati yang justified bagi suatu tindakan tegas kepolisian, mengingat lembaga itu percaya bahwa kekerasan mendapat tempat sebagai cara bertindak kepolisian.
(Adrianus Meliala, Kriminolog FISIP UI)