Ke depan harus ada pemahaman bersama aparat penegak hukum dan masyarakat bahwa kebrhasilan sistem peradilan pidana bukanlah terletak pada berapa banyak kasus yang bisa diungkap, namun terletak pada pencegahannya.
Oleh
EDDY OS HIARIEJ
·5 menit baca
"Poena ad paucos, metus ad omnes perveniat" yang berarti biarkanlah hukuman dijatuhkan kepada beberapa orang agar orang lain tidak berbuat jahat.
Adagium ini mengandung kedalaman makna yang berfungsi sebagai prevensi umum agar orang lain tidak berbuat jahat. Kendatipun demikian, tidaklah berarti bahwa setiap orang yang berbuat jahat harus dihukum (baca : dipenjara), namun banyak alternatif lain yang bisa diterapkan dengan tujuan penjeraan dan pencegahan.
Dalam dua minggu setelah ditunjuk sebagai Wakil Menteri Hukum Dan HAM RI, Irjen Pol. Reynhard Silitonga, Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengajak Saya melakukan inspeksi mendadak di dua Rutan dan satu Lapas, masing-masing Rutan Salemba, Rutan Cipinang dan Lapas Cipinang. Boleh jadi kondisi kedua Rutan dan satu Lapas ini kurang – lebih menggambarkan situasi dan kondisi semua Rutan dan Lapas yang ada di Indonesia.
Idealnya jumlah Rutan dan Lapas di Indonesia hanya bisa untuk menampung 160 ribu narapidana dan tahanan.
Potret singkatnya adalah sebagai berikut : Pertama, over capacity. Idealnya jumlah Rutan dan Lapas di Indonesia hanya bisa untuk menampung 160 ribu narapidana dan tahanan. Faktanya jumlah narapidana dan tahanan saat ini sebanyak 247.364 orang. Jumlah ini belum termasuk tahanan yang berada di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua, rawan keamanan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari over capacity. Idealnya seorang petugas keamanan mengawasi 5 orang narapidana/tahanan namun kenyataannya perbandingan antara jumlah petugas dengan narapidana/tahanan adalah 1 berbanding 15. Bahkan di Cipinang, 3560 narapidana/tahanan hanya diawasi oleh 50 petugas keamanan dalam sehari semalam. Dalam konteks demikian, tidak terjadi kerusuhan di Rutan/Lapas saja sudah merupakan prestasi tersendiri.
Ketiga, lebih dari separuh narapidana/tahanan adalah kasus narkotika. Dari jumlah narapidana/tahanan di Indonesia, sebanyak 127.301 adalah penyalahgunaan narkotika. Bahkan, di Cipinang dari 3560 narapidana/tahanan, pelaku penyalahgunaan narkotika adalah sebanyak 3080 orang. Celakanya, rata-rata narapidana divonis berkisar antara 5 – 6 tahun penjara dengan barang bukti di bawah 1 gram dan mereka berstatus sebagai pengguna.
Pertanyaan lebih lanjut dari berbagai gambaran singkat di atas, bagaimana memperbaiki situasi yang ada ? Kiranya tidak adil jika persoalan pemasyarakatan hanya diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM semata.
Hal ini mengingat Pemasyarakatan hanyalah tempat pembuangan akhir dari bekerjanya sistem peradilan pidana secara keseluruhan tanpa bisa mengintervensi berbagai proses tersebut dari awal. Membangun Lapas dan penambahan jumlah personil keamanan bukanlah solusi terbaik, namun perlu perbaikan secara menyeluruh dan komprehensif.
Wesley Cragg dalam The Practice Of Punishment : Towards a theory of restorative justice menyatakan bahwa ada empat hal dalam pemidanaan masyarakat moderen. Pertama, pemidanaan adalah sesuatu yang dapat dimengerti dan tidak dapat dihindari dalam masyarakat moderen.
Kedua, pelaksanaan pemidanaan adalah refleksi sistem peradilan pidana yang berevolusi dan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan tidak terlepas dari tipe dan karakter perbuatan piana yang dilakukan. Ketiga, pelaksanaan pidana harus mengalami reformasi yang signifikan dengan merujuk pada pelaksanaan pidana di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Apakah pemidanaan yang diterapkan perlu direformasi menuju perbaikan?
Keempat, sejumlah pemidanaan yang digunakan harus menyediakan kriteria untuk mengevaluasi apakah pelaksanaan pidana tersebut sudah sesuai dengan tujuan dari pemidanaan itu sendiri.
Apakah pemidanaan yang diterapkan perlu direformasi menuju perbaikan ? Merujuk apa yang dikemukakan Cragg dalam rangka reformasi sistem pemasyarakatan di Indonesia, paling tidak dapat dilakukan melalui perubahan legal substance dan legal culture. Dari segi legal subtance ada beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang harus segera disahkan. Pertama, RUU KUHP.
RUU a quo telah mengacu pada paradigma hukum pidana moderen yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif. Di sini, pidana penjara bukanlah pilihan utama, namun ada beberapa alternatif pidana lainnya seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan dan pidana denda yang lebih diprioritaskan.
Alternatif pidana yang demikian telah berlangsung lebih dari 30 tahun di Eropa Barat dan Amerika Utara. Penjatuhan pidana didasarkan pada standar pemidanaan yang jelas termasuk pemaafan hakim sehingga tidak menutup kemungkinan meskipun seseorang dinyatakan bersalah namun tidak diikuti oleh pemidanaan.
Kedua, RUU Pemasyarakatan. Dalam RUU a quo, Pemasyarakatan tidak lagi sebagai tempat pembuangan akhir tetapi sudah terlibat sejak tahapan pra-ajudikasi dan ajudikasi dalam sistem peradilan pidana. Peran Pemasyarakatan in line dengan konsep pemidanaan dalam RUU KUHP. RUU tersebut juga merubah perihal remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas menjadi hak dengan persyaratan tertentu.
Ketiga, RUU Narkotika yang merubah beberapa pasal khususnya terkait pengguna narkotika. Terhadap bandar narkotika kiranya tidak ada kompromi bahwa harus dijatuhkan hukuman berat. Akan tetapi terhadap pelaku yang hanya berstatus sebagai pengguna dan bukan pengedar, kiranya tidak dijatuhkan pidana melainkan tindakan berupa rehabilitasi. Hal ini jauh lebih efektif dan efisien dalam rangka memperbaiki pengguna narkotika bila dibandingkan dengan penjatuhan pidana penjara.
Dari sisi legal culture, perubahan mindset masyarakat menjadi penting untuk tidak menjadikan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam. Dalam konteks ini, tidak lagi mengedepankan keadilan retributif berupa pemenjaraan dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana namun berorientasi pada keadilan restoratif yang lebih mengutamakan pemulihan terhadap korban berupa ganti kerugian.
Selain itu harus ada pemahaman bersama aparat penegak hukum dan masyarakat bahwa keberhasilan sistem peradilan pidana bukanlah terletak pada berapa banyak kasus yang bisa diungkap, namun terletak pada pencegahan terjadinya suatu tindak pidana.
Eddy OS Hiariej,Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Wakil Menteri Hukum dan HAM