Penangkapan lima terduga teroris di Aceh membuktikan bahwa sel teroris masih hidup dan aktif di Indonesia. Deteksi dini polisi bersama warga sungguh penting.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Penangkapan lima terduga teroris di Aceh membuktikan bahwa sel teroris masih hidup dan aktif di Indonesia. Deteksi dini polisi bersama warga sungguh penting.
Pekan lalu, Detasemen Khusus Anti-Teror Polri menangkap lima terduga teroris di Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh, dan Langsa. Mereka diduga bagian dari Jemaah Ansharut Daulah (JAD) Aceh. Kelimanya disebut terlibat dalam insiden bom bunuh diri di Polrestabes Kota Medan, November 2019.
Aksi terorisme perwujudan paham radikalisme, yang belakangan meluas melalui media sosial. Kajian International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia (IACSP) menyebutkan, sekitar 12,5 persen dari populasi RI atau sekitar 30 juta orang terpapar radikalisme. Dari 30 juta itu, yang terlibat terorisme, meskipun bukan sebagai pelaku, diprediksi 17.000 orang, termasuk keluarganya.
Kelima teroris anasir JAD itu diduga berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kelompok terafiliasi dengan NIIS biasanya menargetkan aparat penegak hukum, yakni polisi. Ini juga fenomena yang terekam sejak 2010 ketika sasaran teror bergeser dari semula warga ataupun simbol asing menjadi polisi dan simbolnya termasuk kantor polisi.
Sebelum 2010, terorisme di Indonesia menjadikan orang asing berikut simbol asing sebagai target serangan. Tak heran, terjadi musibah Bom Bali 1 dan 2, juga bom Hotel JW Marriott dan bom Kedutaan Besar Australia.
Sejak 2010, kelompok teroris mengubah sasaran, salah satunya polisi. Perubahan itu terkait seruan terpidana terorisme Aman Abdurrahman, pentolan JAD. Aman, dipenjara pada 2005-2008 karena terorisme, secara terbuka menyerukan perubahan sasaran dari warga negara asing (WNA) menjadi polisi.
Polri tentu menyadari, jauh lebih efektif mencegah meluasnya radikalisme ketimbang menangani di ”hilir”, atau lebih banyak menangkap tersangka teroris, apalagi setelah aksi teror telanjur terjadi dan menimbulkan korban.
Perlu dimatangkan beberapa solusi yang tak cuma terpusat di Polri. Pemerintah, bisa dikoordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), harus segera menyusun narasi-narasi kebangsaan, nasionalisme, dan cinta Tanah Air guna menjadi penyeimbang narasi sektarianisme dan radikalisme, benih terorisme. Ini demi menurunkan jumlah yang terpapar radikalisme.
Perlu dipastikan agar pam swakarsa itu tidak berdampak aksi main hakim sendiri oleh unsur-unsur di dalamnya.
Terhadap mereka yang sudah terlibat terorisme, lagi-lagi Polri tidak bisa bekerja sendiri. Muncul wacana pelibatan masyarakat sebagai upaya deteksi dini terorisme. Terlebih, Komisaris Jenderal Listyo Sigit yang pada Rabu (27/1/2021) ini dilantik sebagai Kepala Polri berniat menggiatkan pengamanan (pam) swakarsa sebagai bagian dari pelibatan warga.
Hanya, perlu dipastikan agar pam swakarsa itu tidak berdampak aksi main hakim sendiri oleh unsur-unsur di dalamnya. Apalagi, kita mempunyai pengalaman pahit dengan pam swakarsa yang digunakan untuk kepentingan politik sehingga menciptakan konflik horizontal.
Menggiatkan lagi sistem keamanan lingkungan (siskamling), sebagai sistem berbasis kesadaran warga, menjadi salah satu solusi rasional. Dengan siskamling, warga setempat bisa mendeteksi aktivitas kelompok teroris secara lebih dini.
Bukan seperti sekarang. Sudah berbulan-bulan seorang teroris tinggal di satu kawasan, warga seolah abai. Setelah yang bersangkutan menjalankan aksi teror dan rumahnya dipasangi garis polisi, baru warga menyadari.