Rusia dan Amerika Serikat berseteru. Perseteruan mereka tak hanya meliputi dimensi militer dan perluasan pengaruh, tetapi juga ideologi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hubungan Rusia dan Amerika Serikat nyaris selalu tidak menggembirakan. Demonstrasi oposisi Rusia menunjukkan kompleksitas hubungan keduanya.
Kota-kota di Rusia didera demonstrasi oposisi pada akhir pekan lalu. Demonstrasi ini cukup besar. Total ada sekitar 3.000 pengunjuk rasa yang ditangkap petugas keamanan. Jumlah yang tidak sedikit. Otoritas keamanan menyebut penangkapan dilakukan karena demonstrasi digelar secara tidak sah alias tak berizin.
Demonstrasi digelar oleh pendukung tokoh oposisi Alexei Navalny yang baru pulang ke Rusia. Ia ditangkap di bandara dan ditahan selama 30 hari. Hal ini direspons kubu Barat, yakni Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), Perancis, dan Kanada, dengan secara kompak meminta Rusia untuk membebaskan Navalny. Moskwa tentu menolaknya dan menyebut kasus Navalny sebagai urusan domestik.
Hampir bersamaan dengan terjadinya demonstrasi, kubu Navalny merilis video di Youtube yang menggambarkan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai koruptor besar. Ia mengumpulkan uang secara tak sah untuk membangun istana raksasa. Video itu memperlihatkan kompleks bangunan besar yang diklaim mereka sebagai istana milik Putin.
Putin membantahnya. Menurut Putin, ia dan kerabatnya sama sekali tidak memiliki sangkut paut dengan kompleks bangunan besar di tepi Laut Hitam yang digambarkan dalam video yang dirilis kubu Navalny. Rusia juga mengecam Kedubes AS karena dituduh terlibat dalam unjuk rasa. Demonstrasi di sejumlah kota di Rusia itu dinilai sebagai hasil campur tangan AS.
Di satu sisi, kasus Navalny dapat dilihat sebagai isu penghormatan hak asasi dan demokrasi. Hal ini pula yang disuarakan oleh negara Barat.
Namun, di sisi lain, kasus Navalny memperlihatkan betapa kompleks relasi Rusia dan Barat, khususnya AS. Keduanya berseteru. Perseteruan tak hanya meliputi dimensi militer dan perluasan pengaruh, tetapi juga ideologi.
Bagi Rusia, Barat merupakan ancaman. Perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membuat anggota organisasi pertahanan itu kian mendekati Moskwa sehingga Kremlin lebih gampang diserbu. Maka, dapat dipahami, muncul upaya membendung perluasan pengaruh Barat dengan mengubah status politik Crimea dan mendukung persenjataan milisi di Ukraina timur.
Bagi Rusia pula, menurut akademisi dan Dubes AS untuk Rusia 2012-2014 Michael McFaul (”How to Contain Putin’s Russia”, Foreign Affairs, 19 Januari 2021), Barat secara ideologis dan tata nilai memiliki posisi yang berseberangan. Putin, antara lain, menolak liberalisme Barat.
Protes pendukung Navalny dan seruan antikorupsi mungkin akan terus muncul di Rusia. Hal ini bisa dilihat sebagai isu terkait demokrasi dan penegakan hak asasi. Namun, tak boleh dilupakan, ada kompleksitas relasi AS-Rusia yang menyertainya dan rasanya ikut mewarnai isu tersebut.