Keberanian Membangun Kepolmasan dan Teknologi Informasi Polri
Membangun pemolisian masyarakat dan sistem teknologi informasi yang modern dan terintegrasi bakal menjadi prioritas Kapolri yang baru.
Oleh
WINDORO ADI
·5 menit baca
Membangun pemolisian masyarakat (community policing) atau kepolmasan yang modern dan tepat serta sistem teknologi informasi yang meluas dan merata tampaknya bakal menjadi prioritas Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kedua aspek tersebut bisa terbangun dengan sejumlah kemampuan kepemimpinan setiap kepala polisi dari tingkat paling bawah hingga puncak.
Pada uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon kapolri di hadapan Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021), Sigit mengakui sejumlah pandangan negatif masyarakat terhadap Polri, antara lain, pelayanan yang masih berbelit-belit, ucapan anggota yang arogan, adanya pungli di berbagai sektor pelayanan, kekerasan dalam penyelesaian masalah, penanganan kasus tebang pilih.
Dengan mengandalkan pemanfaatan teknologi informasi, Sigit berharap, kegiatan Polri yang bersentuhan dengan penegakan hukum di lapangan berlangsung lebih bersih, cepat, dan tertib. Penegakan hukum di jalan raya, terutama menyangkut pelanggaran pengemudi kendaraan bermotor, diselesaikan lewat sistem yang mengandalkan teknologi informasi, antara lain, jaringan kamera pemantau (CCTV) dan adanya ruang-ruang kendali teknologi informasi. Pelayanan yang dirasakan masih berbelit-belit pun bisa disederhanakan melalui pemanfaatan teknologi informasi.
Terkait prioritas kepolmasan dalam kegiatan Polri dalam skala besar, Sigit bakal merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE).
Tujuan Perpers meningkatkan daya tahan kelompok rentan agar terhindar dari tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Upaya tersebut dilakukan melalui sejumlah langkah, di antaranya, melalui pemolisian masyarakat (kepolmasan) dalam mencegah ekstremisme.
Dalam skala umum atau harian, Sigit tampaknya bakal memanfaatkan kegiatan kepolmasan berbasis teknologi informasi untuk meredam dan mengubah isu-isu seperti kriminalisasi ulama serta penegakan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Lewat kegiatan kepolmasan, diharapkan tidak muncul lagi kasus kasus anak memerkarakan orangtuanya dalam perkara-perkara sepele, saling mengadukan pencemaran nama baik, dan kasus kasus sepele lainnya, seperti pada kasus pencurian tiga kakao oleh Nenek Minah, di Banyumas, Jawa Tengah. Kasus-kasus seperti ini dinilai melukai rasa keadilan masyarakat dan memicu isu penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sebagai catatan, kegiatan kepolmasan adalah kegiatan kemitraan anggota Polri dan masyarakat untuk mendeteksi dan mengidentifikasi masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya.
Melalui kegiatan kepolmasan, Polri di bawah kepemimpinan Sigit bakal menghidupkan kembali pengamanan swakarsa atau yang lebih populer dengan sebutan Pam Swakarsa. Kegiatan Pam Swakarsa ini bakal dihubungkan dengan teknologi informasi.
Rencana menghidupkan kembali pam swakarsa sempat menjadi kontroversi. Namun, masalah itu reda setelah Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto menjelaskan mengenai hal ini.
Menurut Benny, pam swakarsa itu inisiatif masyarakat. Keinginan dan kebutuhan masyarakat. ”Polri-lah yang kemudian membina dan mengarahkan,” ucap Benny. Ia mengakui, penolakan terhadap pam swakarsa karena munculnya trauma masa lalu.
Kepemimpinan dan kemampuan anggota
Bukan hal mudah membangun kepolmasan berbasis teknologi informasi. Sebab, hal ini menyangkut perubahan perilaku dan keterampilan anggota Polri. Perubahan perilaku anggota Polri dari sekadar ”pemadam kebakaran” yaitu menunggu kasus terjadi dulu, baru disusul penindakan yang umumnya lamban, menjadi, upaya pencegahan, serta kegiatan ”jemput bola”.
Sigit tampaknya lebih menginginkan tindakan preemtif dan preventif ketimbang tindakan represif. Tindakan represif menjadi jalan terakhir apabila langkah preemtif dan preventif dinilai gagal. Membiasakan anggota Polri melakukan tindakan preemtif dan preventif bukan hal mudah. Sebab, kedua pilihan ini mengandaikan kerja-kerja jangka menengah dan jangka panjang yang berkelanjutan. Berbeda dengan tindakan represif yang sekali pukul, selesai. Kasus kemudian dibawa ke meja hijau.
Kedua tindakan ini juga mengandaikan bermacam bekal ilmu pengetahuan sosial yang harus dimiliki anggota Polri. Mereka tak bisa lagi bekerja hanya semata berdasarkan pengalaman atau ”yang biasanya dilakukan” anggota Polri. Di sisi lain, para kepala kepolisian dari tingkat paling bawah hingga atas harus mampu membina dan mengantar anggotanya menuju paradigma baru, kepolmasan yang berbasis teknologi informasi.
Dalam pengamatan penulis, sejak akhir tahun 1990-an, di kalangan mahasiswa Akademi Kepolisian (Akpol) mulai tumbuh kesadaran bahwa seorang kepala Polri harus memiliki kemampuan akademik, kemampuan mengelola dan merawat anggota, serta kemampuan kerja dan terobosan di lapangan. Sebagian besar lulusan Akpol yang lulus di akhir tahun 1990-an ke atas mulai memiliki kecenderungan tersebut.
Sebagian besar mereka meraih gelar doktor. Kompetensi lapangan pun mereka buru. Kemampuan mengelola dan merawat anggota lewat pendekatan literatur maupun perbaikan komunikasi mereka lakukan.
Meski demikian, arus utama tersebut bukan tanpa celah. Masih ada sebagian di antara mereka yang memilih ikut ”gerbong” kelompok internal tertentu di tubuh Polri atau ”gerbong” tokoh atau kelompok elite tertentu, seperti diberitakan sejumlah media massa. Mereka yang menjadi bagian dari ”gerbong” tersebut umumnya memiliki prestasi dan kompetensi yang biasa-biasa saja.
Ketika Tito Karnavian menjadi Kapolri di era Presiden Joko Widodo, kecenderungan mengejar prestasi akademik, kerja-kerja lapangan, dan kemampuan mengelola anggota, seperti mendapatkan jalannya. Sigit tampaknya ingin melanjutkan semangat itu.
Keberanian
Aspek yang masih minim di antara para kepala polisi sampai hari ini adalah keberanian mereka bertindak tegas sebagai penegak hukum. Pengamat politik Hermawan Sulistyo yang juga peneliti di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian beberapa kali mengatakan, pemimpin tertinggi Polri adalah hukum. Sebagai penegak hukum, para pemimpin polisi hanya bertanggung jawab pada hukum.
Meski demikian, hukum juga mengatur, Kapolri dipilih dan diberhentikan oleh presiden. Oleh karena itu, keberanian institusi Polri dan para kepala polisi bergantung pada sepak terjang dan keberanian seorang presiden menghadapi rimba belantara politik di Indonesia.
Di tingkat Polda dan Polres, para kapolda dan kapolres masih harus ”berhitung” dengan para kepala daerah dalam penegakan hukum. Tak jarang terjadi, mereka menjadi pasif menegakkan hukum demi menghindari gesekan atau konflik dengan para kepala daerah.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Polri telah diberi ruang lebih luas mengembangkan kepemimpinan para kepala kepolisian dengan dasar kompetensi akademik, kinerja dan prestasi lapangan, serta pola mengelola para anggotanya. Hal ini kurang dirasakan di era kepemimpinan presiden RI lainnya. Bahkan di satu masa, Polri hanya dibiarkan menjadi ”penonton” merebaknya radikalisme, aksi intoleransi, serta aksi kekerasan kelompok kelompok yang bersandar pada elite tertentu.
Kini, Sigit sebagai Kapolri perlu cepat menyebarluaskan keberaniannya ke lingkungan jajarannya dan membuat keberanian para kepala kepolisian menjadi tradisi baru dalam membangun institusi Polri. Berani konsisten memprioritaskan kegiatan kepolmasan berbasis teknologi informasi. Keberanian mengantar institusi Polri menjadi institusi yang mandiri, berkompetensi tinggi, dan tanggap pada kebutuhan masyarakat akan rasa aman.